Orkestrasikan Jaring Pengaman Sosial
Pemerintah sudah memiliki banyak instrumen jaring pengaman sosial, tetapi belum dikomando dalam satu orkestrasi yang padu. Di sisi lain, Presiden meminta stimulus ekonomi yang lebih bersifat sektoral.
JAKARTA, KOMPAS Merosotnya daya beli masyarakat yang berdampak pada penurunan pertumbuhan ekonomi di triwulan I-2020 menunjukkan kegagalan pemerintah mengorkestrasi berbagai skema program jaring pengaman sosial. Di tengah situasi darurat ini, perlu satu komando tegas untuk memadukan program jaring pengaman sosial dalam melawan dampak pandemi Covid-19.
Program perlindungan sosial yang efektif dan padu itu menjadi kunci untuk menekan angka penyebaran Covid-19 serta menggerakkan lagi roda perekonomian. Selama kebutuhan dasar masyarakat belum terpenuhi dan terlindungi, penyebaran virus akan sulit ditekan, demikian pula berbagai upaya untuk mendongkrak lagi kondisi ekonomi yang terpuruk.
Pada triwulan I-2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh 2,97 persen. Pada tahun ini, pemerintah yang semula memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh pada kisaran 4,5-4,6 persen merivisinya dalam dua skenario. Dalam skenario berat, ekonomi RI pada 2020 diperkirakan tumbuh 2,3 persen dan dalam skenario sangat berat bisa minus 0,4 persen.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati, Kamis (7/5/2020), mengatakan, konsumsi rumah tangga yang merosot 43 persen itu menggambarkan tidak efektifnya berbagai program perlindungan sosial dari pemerintah untuk memitigasi penurunan daya beli masyarakat, khususnya bagi 40 persen masyarakat miskin yang menjadi sasaran bantuan sosial (bansos).
”Jika data konsumsi rumah tangga menurun sedemikian tajam, berarti lebih banyak masyarakat yang belum menerima bantuan daripada yang sudah," ujarnya.
Jika data konsumsi rumah tangga menurun sedemikian tajam, berarti lebih banyak masyarakat yang belum menerima bantuan daripada yang sudah.
Dampak pertumbuhan ekonomi yang terus menurun itu adalah meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan. Proyeksi pemerintah dalam skenario berat atau jika pertumbuhan ekonomi menurun ke angka 2,3 persen, angka kemiskinan bisa bertambah 1,16 juta orang dan pengangguran bertambah 2,92 juta orang.
Sementara, jika pertumbuhan ekonomi menurun ke skenario sangat berat atau minus 0,4 persen, angka kemiskinan bisa bertambah 3,78 juta orang dan pengangguran bertambah sampai 5,23 juta orang.
Enny mengatakan, skenario terburuk itu bisa terjadi jika pemerintah tidak mengelola secara serius skema jaring pengaman sosial untuk melindungi masyarakat terbawah yang rentan terdampak pandemi. Tanpa skema jaring pengaman sosial yang terpadu dan terintegrasi, konsumsi rumah tangga akan semakin merosot. Demikian pula pertumbuhan ekonomi untuk triwulan II-2020 dan triwulan III-2020.
”Kalau pemerintah masih meremehkan situasi saat ini, dampaknya akan sangat luas biasa. Bukan tidak mungkin, ke depan, konsumsi rumah tangga akan menurun terus sampai minus,” ujarnya.
Saat ini, skema jaring pengaman sosial pemerintah tersebar dalam tujuh program yang dikelola lebih dari lima kementerian/lembaga. Program itu terdiri atas empat program nonreguler (bantuan langsung tunai dana desa, bantuan subsidi listrik, Padat Karya Tunai, dan bansos untuk warga di Jabodetabek) serta tiga program regular (Program Keluarga Harapan, Kartu Sembako, dan Kartu Prakerja).
Pemerintah sudah mengeluarkan Rp 110 triliun untuk program jaring pengaman sosial tersebut dari total Rp 405 triliun anggaran penanganan Covid-19. Setiap program memiliki nilai manfaat dan sasaran yang berbeda. Sebagai contoh, Program Keluarga Harapan menyasar 10 juta keluarga penerima manfaat yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Sementara, program seperti Padat Karya Tunai menyasar pekerja informal dan sektor UMKM yang pekerjaan dan usahanya terdampak Covid-19. Ada pula subsidi listrik gratis bagi 24 juta pelanggan dengan daya listrik 450 VA dan diskon sebesar 50 persen untuk 7 juta pelanggan 900 VA selama tiga bulan.
Pemerintah juga menyulap dana desa menjadi Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang besarannya mencapai Rp 600.000 per bulan bagi keluarga miskin selama tiga bulan. Program ini khusus menyasar keluarga miskin baru yang kehilangan mata pencarian akibat Covid-19 yang sebelumnya belum terdata dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kementerian Sosial.
Bantalan sosial
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan, tambahan anggaran jaring pengaman sosial sebesar Rp 110 triliun tentu tidak mampu menyubstitusi penurunan konsumsi. Namun, tambahan anggaran itu setidaknya dapat menahan konsumsi rumah tangga masyarakat kelas menengah bawah agar tidak semakin merosot.
”Stimulus yang diberikan pemerintah adalah bantalan sosial, bukan menyubstitusi angka konsumsi, tetapi untuk mengurangi dampak pemutusan hubungan kerja dan kehilangan pekerjaan,” kata Sri Mulyani.
Stimulus yang diberikan pemerintah adalah bantalan sosial, bukan menyubstitusi angka konsumsi, tetapi untuk mengurangi dampak pemutusan hubungan kerja dan kehilangan pekerjaan.
Baca juga: Konsumsi Merosot, Pertumbuhan Ekonomi Bisa Melorot
Enny menilai pemerintah sudah memiliki banyak instrumen jaring pengaman sosial, tetapi belum dikomando dalam satu orkestrasi yang padu. Akhirnya, anggaran terbuang sia-sia tanpa ada dampak bantuan yang signifikan ke masyarakat terbawah yang saat ini masih sulit memenuhi kebutuhan hidup di tengah pandemi.
Selama program perlindungan sosial belum maksimal, kebijakan lain, seperti pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk menekan angka kasus Covid-19, tidak mungkin efektif. Sementara, roda ekonomi akan terus macet selama kasus penularan Covid-19 terus bertambah.
“Dalam melawan pandemi ini, hal paling dasar itu, kebutuhan dasar masyarakat harus terpenuhi. Tanpa jaring pengaman sosial yang padu dan efektif, semua kebijakan PSBB dan stimulus ekonomi akan sia-sia,” ujar Enny.
Implementasi bansos tidak akan mudah karena persoalan klasik pendataan yang membuat penyaluran tidak tepat sasaran. Hal itu dipersulit dengan banyaknya kementerian yang saat ini mengelola ketujuh program jaring pengaman sosial itu.
Enny mengatakan perlu ada penyederhanaan dan pengaturan ulang terkait fokus skema jaring pengaman sosial. Tidak perlu terlalu banyak program jaring pengaman sosial dan yang terpenting adalah implementasi yang tidak tumpang tindih.
”Bila perlu, cukup satu atau dua skema saja, tetapi betul-betul terpadu dan pendataannya dikoordinasikan lintas institusi. Tidak perlu ada ego sektoral dan politisasi antarkementerian atau pemerintah pusat dan daerah, yang rakyat tahu, bantuan ini sama-sama dari pemerintah,” katanya.
Baca juga: Kucing-kucingan dengan Aparat demi Menyambung Hidup
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, penanganan Covid-19 berupa PSBB, termasuk bekerja dari rumah, berdampak besar terhadap kegiatan ekonomi, baik konsumsi, produksi, investasi, maupun ekspor dan impor. Dampak Covid-19 diperkirakan mencapai puncaknya pada April, Mei, dan awal Juni 2020.
BI memperkirakan, pertumbuhan ekonomi triwulan II-2020 sebesar 0,4 persen, triwulan III-2020 sebesar 1,2 persen, dan triwulan IV-2020 sebesar 3,1 persen. Proyeksi pertumbuhan ekonomi dihitung berdasarkan perkiraan pertumbuhan ekonomi global minus 2 persen serta puncak dampak Covid-19.
”Pertumbuhan ekonomi pada paruh kedua akan lebih baik,” kata Perry.
Stimulus sektoral
Presiden Joko Widodo menginstruksikan para menteri bidang ekonomi merancang stimulus ekonomi yang bersifat sektoral. Sasarannya antara lain subsektor tanaman pangan dan sektor energi yang mencatatkan pertumbuhan negatif di triwulan I-2020.
”Saya minta menteri-menteri di bidang ekonomi memperhatikan angka-angka yang saya sampaikan secara detail. Mana saja sektor dan subsektor yang mengalami kontraksi paling dalam dan dicarikan stimulusnya. Dengan demikian, program stimulus ekonomi betul-betul harus kita buat dan harus tepat sasaran, dan bisa mulai merancang skenario pemulihan di setiap sektor dan subsektor,” kata Presiden Jokowi pada pengantar Sidang Kabinet Paripurna di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), Presiden Jokowi mengatakan, sejumlah subsektor tumbuh negatif pada triwulan I-2020, di antaranya subsektor tanaman pangan, yakni -0,31 persen.
”Hati-hati dengan angka ini. Sekali lagi hati-hati dengan angka-angka ini. FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian) memperingatkan terjadinya krisis pangan. Artinya, sektor pangan harus digenjot agar berproduksi, tetapi dengan protokol kesehatan yang baik,” ujar Presiden.
Baca juga: Pemerintah Rancang Stimulus Sektoral
Sektor lain yang tumbuh negatif adalah energi. Sektor yang mencakup pertambangan, minyak, gas, dan panas bumi tersebut tumbuh -0,08 persen. Situasi sama dialami subsektor angkutan udara sebesar -0,08 persen, industri barang logam dan komputer sebesar -0,07 persen, subsektor penyediaan akomodasi sebesar -0,03 persen, dan industri mesin dan peralatan sebesar -0,03 persen.
Dari sisi pengeluaran, Presiden menambahkan, konsumsi rumah tangga dan belanja pemerintah menjadi basis pertumbuhan ekonomi Indonesia di triwulan. Masing-masing tumbuh 2,84 persen dan 3,74 persen.
Oleh karena itu, Presiden Jokowi menekankan agar penyaluran bantuan sosial dan program padat karya tunai dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus dipastikan sudah berjalan pekan-pekan ini.