Industri daur ulang di Indonesia dinilai potensial untuk berkembang. Adapun industri ini penting untuk memaksimalkan pengolahan sampah plastik agar tidak mencemari lingkungan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
KOMPAS, JAKARTA — Indonesia dinilai sebagai negara yang tepat untuk berinvestasi di industri daur ulang. Selain karena Indonesia adalah salah satu penghasil sampah plastik terbesar di dunia, industri daur ulang pun potensial untuk berkembang.
Menurut Stemming the Tide: Land-Based Strategies for A Plastic-Free Ocean oleh Ocean Conservancy dan McKinsey Center for Business and Environment yang rilis pada 2015, penanganan sampah plastik di laut dapat ditangani dengan industri daur ulang. Manajemen sampah yang baik diprediksi dapat mengurangi sampah di laut hingga 45 persen pada 2025. Untuk itu, dibutuhkan biaya 5 miliar dollar AS per tahun.
CEO perusahaan manajemen investasi Circulate Capital, Rob Kaplan, dalam pertemuan virtual, Jumat (8/5/2020), mengatakan, perusahaannya melakukan investasi perdana di Indonesia dan India dengan total nilai 6 juta dollar AS (Rp 89,7 miliar). Investasi di Indonesia dilakukan terhadap PT Tridi Oasis Group, perusahaan daur ulang botol plastik.
”Belum banyak industri daur ulang yang punya strategi khusus dan rekam jejak atas apa yang mereka kerjakan. Itu berimbas pada terbatasnya ketersediaan modal untuk berkembang. Perkembangan industri mereka bisa membawa dampak positif (untuk lingkungan),” kata Kaplan.
Industri daur ulang pun dapat menggenjot ekonomi sirkular. Ekonomi sirkular dimaknai sebagai kegiatan ekonomi yang menekan jumlah sampah yang dihasilkan. Material produk digunakan, lalu diperbarui agar dapat dimanfaatkan kembali.
”Perlu waktu sekitar 100 tahun bagi tingkat konsumsi masyarakat di Eropa untuk meningkat. Sementara itu, peningkatan yang sama terjadi di Asia Timur dan Asia Tenggara dalam waktu 10-15 tahun saja,” kata Kaplan.
Data Kementerian Perindustrian pada 2019 menyebut ada 7,2 juta ton konsumsi plastik di Indonesia per tahun. Dari angka itu, baru 13 persen plastik yang didaur ulang dan masuk dalam ekonomi sirkular dalam negeri. Salah satu penyebabnya adalah pemilahan plastik bekas yang belum optimal.
Hingga akhir 2019 ada 1.300 industri daur ulang di Indonesia, baik yang berskala besar maupun kecil. Jumlah itu belum termasuk industri daur ulang informal oleh pemulung atau pengepul (Kompas.id, 6/12/2019).
Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, jumlah timbulan sampah di Indonesia mencapai 65,8 juta ton per tahun. Sebanyak 44 persen merupakan sisa makanan, 13 persen ranting, daun, atau sampah organik.
Sementara itu, sebanyak 57 persen dari sampah itu merupakan sampah anorganik yang terdiri dari plastik (15 persen), kertas (11 persen), kain/tekstil (3 persen), logam (2 persen), karet/kulit (2 persen), dan lain-lain (8 persen). Sampah yang tidak didaur ulang kemudian ditimbun di tempat pemrosesan akhir (TPA) atau mencemari lingkungan, seperti laut.
CEO PT Tridi Oasis Group Dian Kurniawati mengatakan, perusahaannya berencana meningkatkan kapasitas produksi secara bertahap setelah menerima suntikan dana investasi. Mereka juga berencana belajar mengolah lebih banyak sampah plastik.
”Kami akan pindah lokasi ke fasilitas yang lebih besar sehingga kapasitas produksi bertambah. Pada 2018, kami mengolah 60 juta botol plastik. Ini akan kami kembangkan bertahap. Kami juga sedang mengupayakan diversifikasi plastik lain,” kata Dian.
Ia bekerja sama dengan pengepul-pengepul sampah lokal dan sejumlah komunitas yang mayoritas berada di Jabodetabek. Ia juga bekerja sama dengan sejumlah bank sampah di Tangerang. Adapun operasi industri daur ulang ini juga memberdayakan masyarakat setempat.
Hingga kini, Tridi Oasis bekerja sama dengan lebih dari 30 pemasok bahan baku. Untuk mendukung operasi industri ramah lingkungan, lokasi pemasok tidak boleh lebih dari 50 kilometer. ”Yang paling jauh jaraknya 35 kilometer,” kata Dian.
Kaplan menambahkan, ekonomi sirkular yang terbentuk dari industri daur ulang dapat membantu masyarakat, khususnya yang terdampak selama pandemi Covid-19. Pelaku ekonomi dalam negeri dapat memanfaatkan bahan baku daur ulang daripada harus mengimpor.