Mayoritas daerah di Indonesia belum menunjukkan adanya pola grafik konsisten dalam pertumbuhan ataupun pengurangan kasus positif Covid-19. Karena itu, pemerintah belum bisa menentukan masa puncak pandemi.
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN MAHAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Fluktuasi jumlah penambahan kasus baru Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona (coronavirus) baru dalam satu pekan terakhir membuat pemerintah belum bisa menentukan masa puncak pandemi di Tanah Air. Itu disebabkan mayoritas daerah di Indonesia belum menunjukkan pola grafik konsisten pertumbuhan ataupun pengurangan kasus positif.
Juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, mengungkapkan, per Minggu (10/5/2020) terjadi penambahan 387 kasus positif sehingga secara akumulasi jumlah penderita Covid-19 di Indonesia mencapai 14.032 orang. Dari jumlah itu, 2.698 orang dinyatakan sembuh atau 19,2 persen dari kasus positif, serta 973 orang meninggal. Itu berarti masih ada 10.361 pasien Covid-19 yang mejalani perawatan di seluruh Indonesia.
Adapun sejak 2 Mei hingga 5 Mei lalu, jumlah kasus baru bertambah tiap harinya, yaitu 292 kasus, lalu 349 kasus, 395 kasus, dan 484 kasus. Kemudian, pada 6 Mei sampai dengan 8 Mei, jumlah kasus baru menurun. Dimulai dengan 367 kasus baru pada 6 Mei, selanjutnya 338 kasus, dan 336 kasus baru.
Penambahan kasus baru mengalami peningkatan pada 9 Mei dengan jumlah 533 kasus. Pada hari Minggu ini, penambahan kasus baru menurun kembali di angka 387 kasus.
Yurianto menyatakan, fluktuasi angka itu disebabkan ada sejumlah daerah yang jumlah penambahannya tidak konsisten. Dalam beberapa hari, penambahan di provinsi itu stagnan, tetapi pada hari lain jumlah penambahan kasus baru cukup signifikan.
”Di seluruh daerah belum terbentuk pola grafik penambahan kasus baru yang konsisten sehingga pertumbuhan kasus Covid-19 sulit ditebak. Kenyataan itu patut kita maknai bahwa proses penularan masih terjadi di masyarakat,” kata Yurianto, di Jakarta, Minggu (10/5/2020).
Apabila di satu provinsi penambahan kasus baru menurun, masyarakat di daerah itu telah melakukan gerakan bersama untuk menekan angka penambahan kasus baru. Namun, jika peningkatan jumlah pasien baru masih signifikan terjadi di suatu daerah, itu menunjukkan warga di daerah itu belum mematuhi aturan pemerintah untuk menekan jumlah penularan wabah di tengah masyarakat.
”Penanganan Covid-19 perlu tenggang rasa dan gotong royong kita bersama. Gerakan harus dimulai dari diri sendiri dengan menjaga kebersihan dan menjaga jarak agar kita bisa segera keluar dari pandemi ini,” ujarnya.
Daerah dengan jumlah pasien dalam perawatan terbanyak berada di DKI Jakarta dengan 3.877 pasien. Diikuti oleh Jawa Barat dengan 1.140 pasien, Jawa Timur dengan 1.051 pasien, Jawa Tengah 721 pasien, dan Sulawesi Selatan dengan 404 pasien.
Tidak ada data ilmiah
Sebagaimana diberitakan Kompas.id, akhir pandemi Covid-19 di Indonesia sulit ditentukan karena tidak adanya data ilmiah dan pengukuran kurva epidemi. Tanpa data itu, keberhasilan intervensi menjadi sulit diukur sehingga kebijakan untuk pelonggaran pembatasan sosial justru akan kembali memicu ledakan kasus.
”Ketika pemerintah mengklaim intervensi untuk menurunkan kasus penularan Covid-19 sudah efektif, ini harus didukung dengan studi ilmiah. Bisa kerja sama dengan universitas,” kata epidemiolog dari Grifftih University, Dicky Budiman, dalam webinar yang diselenggarakan Universitas Airlangga, Surabaya, Sabtu (9/5/2020).
Seperti diketahui, pemerintah saat ini mulai mengoperasikan penerbangan, mengizinkan kembali operasional sejumlah perusahaan di Jakarta guna memulihkan ekonomi, hingga membuka kembali sekolah, menyusul klaim mengenai penurunan laju penularan. Namun, menurut Dicky, keberhasilan intervensi di Indonesia masih dipertanyakan karena tidak ada ukuran yang jelas.
”Kalau dinyatakan intervensi PSBB (pembatasan sosial berskala besar) sudah berhasil, Ro (angka reproduksi kasus) kita sekarang berapa? Juga berapa doubling time (waktu penggandaan). Sampai sekarang data ini tidak ada,” katanya.
Menurut Dicky, intervensi dianggap berhasil jika nilai Ro semakin menurun hingga mendekati nol, yang artinya tidak lagi terjadi penularan. Perubahan nilai Ro ini harus diukur sebelum dan sesudah intervensi.
”Misalnya, di sejumlah negara bagian di Australia setelah dilakukan intervensi, nilai Ro yang semula di atas 2 menjadi 1,8. Dengan penurunan ini, mereka sekarang mulai bersiap melonggarkan lockdown. Jadi, ada ukurannya,” katanya.
Jika pelonggaran intervensi hanya berdasar klaim, hal itu bisa menyebabkan blunder. (Dicky Budiman)
Dicky menambahkan, jika pelonggaran intervensi hanya berdasar klaim, hal itu bisa menyebabkan blunder. ”Kita tahu Covid-19 ini penyakit baru yang bisa memicu masalah kesehatan yang serius,” katanya.
Menurut Dicky, keterbatasan data di Indonesia membuat skenario untuk memodelkan pengakhiran pandemi menjadi tidak mudah. Apalagi, pengakhiran wabah juga tidak bisa dilepaskan dengan dinamika kesehatan global.