Membiarkan populasi Indonesia memiliki kekebalan komunitas menjadi salah satu langkah kebijakan yang dipertimbangkan pemerintah. Namun, strategi ini mengancam ratusan ribu hingga jutaan nyawa penduduk Indonesia.
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kekebalan komunitas atau herd immunity dinilai terlalu riskan untuk diterapkan sebagai langkah penanganan Covid-19. Strategi ini mengancam ratusan ribu hingga jutaan nyawa penduduk Indonesia.
Membiarkan populasi Indonesia memiliki kekebalan komunitas menjadi salah satu langkah kebijakan yang dipertimbangkan pemerintah. Rencana ini diungkap Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dalam acara perbincangan dengan pimpinan media massa secara virtual, akhir pekan lalu.
Disebutnya, pembatasan sosial berskala besar dapat disesuaikan dengan tren; dapat diperlonggar sehingga mendekati kekebalan komunitas atau diperketat mendekati lockdown (Kompas, 10/5/2020).
Padahal, banyak pakar dan akademisi yang telah menyampaikan kekhawatiran banyaknya angka kematian yang dapat muncul apabila menggunakan strategi kekebalan komunitas.
Kekebalan komunitas mengacu pada konsep epidemiologi, yakni sebuah penyakit menular akan melambat dan berhenti penyebarannya ketika sekian persen populasi tersebut sudah imun terdapat penyakit itu.
Kekebalan terhadap penyakit ini bisa didapat secara alami, yakni dengan sembuh dari penyakit tersebut. Kekebalan juga bisa didapat secara buatan dengan keberadaan vaksin.
Kekebalan komunitas mengacu pada konsep epidemiologi, yakni sebuah penyakit menular akan melambat dan berhenti penyebarannya ketika sekian persen populasi tersebut sudah imun terdapat penyakit itu.
Namun, pada kasus Covid-19, dipercaya orang yang pulih tidak memiliki kekebalan permanen. Hal ini disampaikan pengurus pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarat Indonesia (IAKMI) Syahrizal Syarif pada Senin (11/5/2020) saat dihubungi dari Jakarta.
”Mungkin pada pada anak-anak kekebalannya bertahan tiga bulan. Tetapi, pada orang dewasa itu tidak ada kekebalan permanen,” kata Syahrizal.
Kalau benar-benar menggunakan strategi kekebalan komunitas, berarti membiarkan sekitar 80 persen masyarakat Indonesia terinfeksi. Menurut Syahrizal, dengan asumsi jumlah penduduk Indonesia 260 juta, artinya akan ada 200 juta penduduk yang harus terinfeksi.
Dengan jumlah orang yang terinfeksi begitu besar, Syahrizal mengatakan, beban yang sangat besar akan harus ditanggung oleh fasilitas pelayanan kesehatan untuk menangani mereka yang memiliki gejala berat.
”Nah, kita tidak punya ventilator untuk mereka sebanyak itu. Akan banyak sekali yang meninggal,” kata Syahrizal.
Berdasarkan data yang tercatat dalam aplikasi sarana, prasarana, dan alat kesehatan (Aspak) per Maret 2020, jumlah ventilator yang tersedia di seluruh Indonesia sebanyak 8.413 alat. Ventilator itu tersebar di 2.867 rumah sakit di Indonesia (Kompas, 8 April 2020).
Hasil pemodelan matematis yang dilakukan oleh associate professor sosiologi bencana Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Sulfikar Amir, dan peneliti NTU Institute for Catastrophe Risk Management, Fredy Tantri, pada akhir Maret lalu menunjukkan untuk mencapai ambang batas kekebalan komunitas, paling tidak 81 persen populasi harus terinfeksi.
Apabila angka tersebut diterapkan untuk populasi Jakarta, artinya sekitar 8 juta orang terinfeksi dan 400.000 orang meninggal, dengan asumsi tingkat mortalitas 5 persen.
Saat itu, Sulfikar mengatakan, tindakan membiarkan masyarakat menghadapi pandemi sendirian dan berharap pada herd immunity bukanlah tindakan yang bijaksana.
”Kalau ini terjadi, ini sangat tidak bertanggung jawab, tidak etis. Sudah punya kekuasaan, anggaran, ratusan triliun, tetapi kalau tidak digunakan, itu sangat tidak bermoral,” ujar Sulfikar.
Dosen senior di Australian Centre for Precision Health, University of South Australia, Beben Benyamin pun menyatakan demikian dalam artikelnya yang berjudul ”Herd Immunity dan Penanggulangan Covid-19”.
”Tanpa adanya vaksin yang efektif untuk mencegah Covid-19, mengandalkan terbentuknya herd immunity secara alami layaknya seperti bermain Russian roulette. Jutaan nyawa menjadi taruhannya,” kata Beben (Kompas, 13 April 2020).
Swedia kerap diperbincangkan karena memilih strategi kekebalan imunitas. Duta Besar Swedia untuk AS Karin Ulrika mengatakan pada 27 April 2020 bahwa pada Mei ini akan mencapai kekebalan komunitas. Seperti dilaporkan Aljazeera, Ulrika mengatakan, pada akhir April ini, 30 persen populasi negara Skandinavia tersebut telah kebal terhadap Covid-19.
Namun, strategi ini tampaknya memberikan dampak pada jumlah kematian akibat Covid-19. Apabila melihat jumlah kematian akibat Covid-19, Swedia jauh lebih tinggi daripada negara-negara Skandinavia lainnya.
Berdasarkan Ourworldindata.org, per 11 Mei, jumlah kematian di Swedia akibat Covid-19 mencapai 3.225 orang, sedangkan Denmark 526 orang, Finlandia 267 orang, Norwegia 217 orang, dan Islandia 10 orang.
Karakteristik antibodi
Jalan menuju kekebalan komunitas juga semakin diperumit dengan karakteristik antibodi manusia terhadap Covid-19 yang belum benar-benar dipahami.
Kekebalan komunitas berpegang pada asumsi bahwa setiap orang yang sembuh tidak akan menjadi kebal. Padahal, meski jumlahnya sedikit, ada kasus reinfeksi pada pasien yang sudah pulih dari Covid-19.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jeffrey Shaman dan Marta Galanti dari Columbia University, manusia dapat terkena infeksi virus korona jenis yang sama secara berulang lebih dari satu kali pada tahun yang sama.
Shaman dan Galanti selama 1,5 tahun selama 2016 hingga 2018 mengambil sampel swab rongga hidung dari 191 partisipan di New York, AS, untuk mengetahui virus apa saja yang menginfeksi mereka dalam jangka waktu tersebut.
”Meski respons kekebalan dari SARS-CoV-2 masih belum diketahui, respons kekebalan dari virus korona HKU1, NL63, OC42, dan C229E dapat memberikan referensi untuk memahami risiko terjadinya infeksi berulang,” tulis Shaman dan Galanti dalam artikelnya yang dipublikasikan pada Februari 2020 lalu.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga menyatakan bahwa keberadaan antibodi Covid-19 pada tubuh manusia tidak menutup kemungkinan orang tersebut akan tertular kembali.
”Keberadaan antibodi pada orang yang sembuh dari Covid-19 tidak dapat digunakan untuk menentukan apakah orang tersebut imun terhadap reinfeksi,” tulis WHO dalam scienctific brief-nya tertanggal 24 April 2020.
Di sisi lain, SARS-CoV, salah satu strain virus korona yang merebak sebagai epidemi pada 2002–2003 lalu, diketahui akan menyebabkan kekebalan hingga tiga tahun pada penyintasnya.
Hal ini berdasar sebuah penelitian yang dipublikasikan jurnal milik Pusat Pengendalian Penyakit (CDC) AS pada 2007. Karakteristik ini baru dapat diketahui setelah mengamati partisipan penelitian selama tiga tahun.