JAKARTA, KOMPAS — Industri properti terkena dampak pandemi Covid-19 yang menimbulkan ketidakpastian ekonomi. Kendati kebutuhan rumah tetap ada, transaksi pembelian tertunda dan akad kredit tertahan.
Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Daniel Djumali mengemukakan, pasar properti yang turun menyebabkan banyak rumah tapak yang sudah selesai dibangun pengembang tidak terserap. Salah satu penyebabnya, akad kredit pemilikan rumah (KPR) yang tertahan.
Berdasarkan data uang beredar yang dirilis Bank Indonesia yang dikutip Rabu (13/5/2020), kredit properti yang disalurkan perbankan per Maret 2020 sebesar Rp 1.204 triliun atau tumbuh 7,4 persen secara tahunan. Pertumbuhan ini lebih rendah dibandingkan dengan Februari 2020 yang sebesar 8,4 persen secara tahunan.
Jumlah rumah yang sudah selesai dibangun pengembang anggota Apersi pada Februari-Mei 2020 sebanyak 20.000 unit yang hingga kini belum seluruhnya bisa terjual karena terkendala realisasi akad kredit. Sebagian besar rumah yang dibangun Apersi merupakan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
Daniel menambahkan, permintaan rumah tinggal untuk segmen menengah bawah tetap ada, namun transaksi akad kredit tertunda. Pasalnya, konsumen kesulitan datang ke lokasi rumah, kesulitan memecah sertifikat, dan kesulitan mengajukan izin mendirikan bangunan.
”Permintaan selalu ada, sedangkan banyak rumah sudah selesai terbangun. Akan tetapi, transaksi (pembelian) tertunda,” katanya, di Jakarta, Rabu (13/5/2020).
Tahun ini, Apersi menargetkan pembangunan 220.000 unit rumah. Akibat kondisi pandemi Covid-19, diperkirakan pasar turun sekitar 20-25 persen, sehingga realisasi pembangunan rumah sekitar 160.000-170.000 unit.
Penurunan pasar turut memengaruhi arus kas pengembang. Dari sisi pengembang, restrukturisasi kredit konstruksi sudah mulai diterapkan. Akan tetapi, belum semua bank bersedia melakukan restrukturisasi kredit.
Perbankan
Secara terpisah, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Realestat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida, mengemukakan, kelangsungan bisnis realestat saat ini sangat bergantung pada kebijakan perbankan. Karena itu, REI meminta penangguhan pembayaran bunga dan angsuran pokok selama 12 bulan hingga pandemi Covid-19 berakhir. REI juga berharap restrukturisasi kredit untuk pengembang properti tidak mengurangi peringkat kolektabilitas.
”Penundaan pembayaran (kredit) sedang dinegosiasi, tetapi mayoritas bank belum bersedia memberikan kelonggaran,” katanya.
Baca juga: Bisnis Properti Lesu, Kelonggaran Jadi Solusi
Untuk menggerakkan pasar, pengembang menerapkan sejumlah keringanan, antara lain memberikan keringanan pembayaran uang muka rumah hingga 1 tahun dan penundaan angsuran KPR. Selain itu, membidik aparatur sipil negara (ASN) yang cenderung tidak terdampak dari segi penghasilan.
Pengamat dari Panangian School of Property, Panangian Simanungkalit, memprediksi, properti akan menghadapi tantangan berat pada triwulan II-2020, dan baru kembali menggeliat paling cepat mulai triwulan IV-2020. Namun, sektor properti akan memasuki fase keseimbangan baru sehingga pengembang harus lebih jeli membaca kebutuhan pasar.
Panangian menambahkan, semakin banyak pengembang besar menggarap proyek dengan target pasar pengguna. Namun, produk rumah yang siap huni juga banyak dicari konsumen yang membutuhkan tempat tinggal.
Keseimbangan baru ditandai, antara lain permintaan hunian segmen menengah bawah dengan harga di bawah Rp 1 miliar per unit yang didominasi untuk kebutuhan pengguna. Sebaliknya, investor hunian segmen menengah atas sejak 2017 sudah cenderung menahan investasi. Kondisi ini menjadi momentum pengembang untuk melakukan restrukturisasi dan instrospeksi pasar.
”Ini saatnya pengembang jeli untuk membidik konsumen potensial dan menggarap produk yang segmennya pengguna. Pemasaran juga dioptimalkan memanfaatkan teknologi dalam jaringan,” kata Panangian.
Saatnya pengembang jeli untuk membidik konsumen potensial.