Kewajiban reklamasi pascatambang pada perusahaan tambang batubara pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara mesti dievaluasi. Hal itu bertujuan memastikan kewajiban itu telah dipenuhi.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diminta tetap mengevaluasi kewajiban reklamasi pascatambang pada perusahaan tambang batubara pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara atau PKP2B. Kewajiban itu agar dipenuhi sebelum pemegang konsesi itu mengantongi izin usaha pertambangan khusus sesuai aturan perundangan yang baru.
Undang-Undang Mineral dan Batubara yang baru disahkan Dewan Perwakilan Rakyat memberi ruang perpanjangan konsesi menjadi izin usaha pertambangan khusus atau IUPK tanpa lelang. Saat ini terdapat delapan konsesi PKP2B yang berakhir pada tahun 2019 dan hingga tahun 2025.
Beberapa pemegang konsesi PKP2B tersebut meliputi Adaro Indonesia (1 Oktober 2022), Arutmin Indonesia (1 November 2020), Berau Coal (26/4/2025), Kideco Jaya Agung (13 Maret 2023), Kaltim Prima Coal (31 Desember 2021), Multi Harapan Utama (1 April 2022), Kendilo Coal Indonesia (13 September 2021), dan Tanito Harum (14 Januari 2019).
Menurut analisis citra satelit yang dilakukan Yayasan Auriga Nusantara, luas izin pemegang PKP2B mencapai total 422.696,58 hektar (ha) dengan tutupan hutan seluas 59.791 ha. Analisis pun menjumpai 87.307 ha lubang tambang belum direklamasi yang 5.901 ha luas lubang berada di kawasan hutan, tetapi tidak memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan.
”Delapan PKP2B masih memiliki kewajiban melaksanakan reklamasi dan pascatambang,” kata M Dedi P Sukmara, Yayasan Auriga Nusantara, Kamis (14/5/2020), dalam diskusi virtual ”Ngopini: Legislasi Pertambangan Batubara Berkaca pada Realitas Pertambangan Saat ini”.
Menurut Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 1.827 Tahun 2018, pemegang izin atau kontrak wajib melaksanakan reklamasi paling lambat 30 hari kalender setelah tidak ada kegiatan pada lahan terganggu. Sama halnya dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 27 Tahun 2018 yang menyebut reklamasi dan revegetasi di area hutan dilakukan tanpa menanti selesainya jangka waktu Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).
Merujuk pada dua peraturan ini, lanjut Dedi, reklamasi dapat dan wajib dilakukan tanpa menunggu berakhirnya masa izin atau kontrak. Dengan begitu, berdasarkan temuan analisis spasial yang dilakukan Auriga, terdapat potensi pelanggaran kewajiban yang dilakukan oleh pemegang PKP2B.
”Kementerian ESDM harus melakukan evaluasi terlebih dahulu, ketimbang memberikan perpanjangan secara otomatis,” ungkapnya.
Selain itu, temuan lubang tambang seluas 5.901 ha dalam kawasan hutan tanpa IPPKH. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, mewajibkan pelaku usaha mendapatkan IPPKH terlebih dahulu sebelum melakukan kegiatan, termasuk kegiatan pertambangan.
Kementerian ESDM harus melakukan evaluasi terlebih dahulu, ketimbang memberikan perpanjangan secara otomatis.
Auriga pun menganalisis detail tiap pemegang PKP2B terkait keberadaan lubang tambang dan penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan tanpa IPPKH.
Menanggapi hal ini, Hendra Sinadia Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia APBI-ICMA menyatakan belum bisa menanggapi temuan ini. ”Bila temuan ini bisa dibagikan kepada kami, akan kami sampaikan ke pelaku usaha,” katanya.
Namun, secara umum, ia mengatakan peraturan pertambangan di Indonesia sangat ketat dan berat, termasuk pengaturan lingkungan. Ia pun mengatakan kewajiban pemegang PKP2B pun dipantau oleh pemerintah.
Lubang bekas tambang bisa jadi merupakan void dari aktivitas pertambangan yang tak bisa dikembalikan seperti semula. Fungsinya pada masa mendatang sebagai embung air maupun budidaya perikanan sesuai dengan kajian yang dilakukan bersama dengan pemerintah.
Terkait kritik terhadap UU Minerba yang baru ditetapkan DPR, ia mengatakan dari sisi perusahaan pun terdapat berbagai masukan yang belum diwadahi dalam perundangan tersebut. Ia enggan merinci masukan-masukan tersebut.
Yang jelas, kata dia, UU Minerba ini telah memberikan kepastian hukum dan kepastian ekonomi yang sangata penting bagi perusahaan. Hal itu dinilai penting bagi pengusaha agar bisa tetap menjalankan kegiatan ekonomi dan berinvestasi.
Ia pun menyatakan secara tak langsung bahwa ”otomatisasi” pemegang PKP2B diperpanjang menjadi IUPK karena pemerintah melihat urgensi kelangsungan perusahaan yang menguasai 60-70 persen produksi batubara bagi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Indonesia. Bila suplai ini terganggu, Indonesia yang masih mengandalkan keandalan listrik dari PLTU akan mengalami gangguan produksi listrik.
Yogi Setya Permana, peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mengatakan UU Minerba baru tersebut muncul tanpa diskusi publik secara masif. ”Covid-19 memang situasi darurat yang menyita perhatian publik. Tapi itu tak jadi apologi pada saya saat ada UU terkait common goods (barang publik) tidak didiskusikan secara deliberatif dan ekstensif,” tuturnya.
Ia pun menunjukan Indonesia yang dinilai memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi, di antaranya karena mengandalkan eksploitasi sumber daya alam, termasuk batubara, memiliki ketimpangan sosial dan ekonomi tinggi. Hal ini, menurut dia, menjadi pertanyaan ketika rezeki dari sumber daya alam tidak bisa mengatasi situasi ketimpangan. Padahal, pasal 33 konstitusi mengamanatkan kekayaan alam digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat.
Joko Tri Haryanto, peneliti Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, memaparkan, industri tambang tidak bisa memberikan efek domino secara langsung bagi kesejahteraan masyarakat atau daerahnya. ”Tidak ada daerah dengan dana bagi hasil (DBH) besar akan kaya tanpa ngapa-ngapain,” katanya.
Daerah-daerah kaya sumber daya alam perlu berinovasi dan mempersiapkan diri pada kondisi normal baru saat hasil tambang daerah tersebut pada suatu saat habis. Ia menyebut aktivitas tambang hanya merupakan pemicu perekonomian lainnya.
Ia mencontohkan Bojonegoro di Jawa Timur yang menggunakan DBH minyak dan gas sebagai dana abadi. Disebutkan DBH tersebut ”hanya” sekitar Rp 500 miliar. Ini bisa digunakan untuk menambal APBD kabupaten ketika besaran DBH migas yang diterima daerah tersebut turun.