Dalam menghadapi pandemi Covid-19, pengendalian virus dan penanganan krisis kesehatan tetap jadi hal utama.
Oleh
C ANTO SAPTOWALYONO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemampuan daerah untuk mengatur keseimbangan antara pendapatan dan belanja diperlukan untuk merespons dampak Covid-19. Pemerintah pusat mesti tegas, jelas, dan menggunakan bahasa yang lebih pasti dalam menyampaikan kebijakan nasional penanganan Covid-19.
”Untuk mengatasi dampak Covid-19, saya kira yang pertama kita harus mengendalikan penyebaran virus,” kata Guru Besar Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tanjungpura Eddy Suratman, Rabu (20/5/2020).
Eddy menyampaikan hal itu saat menjadi narasumber Seminar Daring Nasional ”Pengaruh Pandemi Covid-19, PSBB, dan Larangan Mudik terhadap Kondisi Ekonomi Daerah; Sampai Kapan Bisa Bertahan?”
Menurut Eddy, upaya pemfokusan kembali dan realokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menjadi keniscayaan dalam mengatasi dampak Covid-19. Namun, ia tidak menyarankan untuk memindahkan seluruh belanja modal menjadi belanja untuk penanganan Covid-19.
”Saya menyarankan, misalnya kalau belanja modal untuk membangun jalan dialokasikan Rp 100 miliar, boleh dipindahkan yang Rp 60 miliar untuk penanganan Covid-19. Akan tetapi Rp 40 miliar sisanya boleh tetap dipertahankan untuk pekerjaan (pembangunan jalan) itu supaya ada gerakan ekonomi. Supaya pekerjaan masih tercipta di sekitar lokasi pembangunan itu,” papar Eddy.
Relaksasi pajak yang menjadi kewenangan setiap daerah juga dapat dilakukan untuk menjaga perekonomian lokal tetap bergerak. APBD juga harus teralokasikan untuk stimulus permodalan bagi UMKM yang sangat terdampak Covid-19. Sementara, ketahanan pangan juga perlu dijaga untuk jangka panjang.
Indonesia juga harus memastikan produksi dalam negeri mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. ”Dengan demikian, stimulus untuk para petani, bibit, pupuk, mesti kita alokasikan anggarannya, baik dari APBN maupun APBD,” katanya.
Sementara itu, pemfokusan kembali dan realokasi APBD harus mempertimbangkan penurunan pendapatan di daerah. Penurunan pendapatan di daerah dapat terjadi karena dua faktor. Faktor pertama, penurunan pendapatan asli daerah karena ada relaksasi pajak daerah seperti pajak hotel, hiburan, dan restoran. Faktor kedua berupa penurunan dana transfer ke daerah tahun ini.
”Saya menduga dana alokasi umum (DAU) akan menurun mungkin rata-rata bisa sampai Rp 20 persen. Kenapa DAU menurun? Karena DAU itu rumusnya adalah minimal 26 persen dari pendapatan dalam negeri neto. Kalau pendapatan dalam negeri turun karena pajak-pajak juga direlaksasi, ekonomi tidak bergerak, penerimaan negara bukan pajak juga turun, maka DAU juga akan mengalami penurunan,” kata Eddy.
Selain DAU, dana alokasi khusus (DAK) juga diperkirakan akan mengalami masalah. Sebab, DAK tidak bisa dijalankan kecuali di bidang kesehatan dan pendidikan. Dana bagi hasil juga akan menurun, baik bagi hasil pajak maupun bagi hasil sumber daya alam.
Daerah akan mengalami tekanan dari sisi pendapatan. ”Oleh karena itu, daerah harus bermain di sisi belanja. Sementara di sisi belanja bebannya semakin besar saat ini. Poin terakhir ini yang membikin saya agak khawatir, yakni kemampuan daerah-daerah merespons dampak Covid-19, untuk mengatur keseimbangan antara pendapatan dan belanjanya,” ujar Eddy.
Eddy menuturkan pula perlunya ketegasan, kejelasan, dan bahasa yang lebih pasti dari pemerintah pusat sampai ke masyarakat di daerah tentang kebijakan nasional dalam menangani Covid-19.
”Dan di bagian itu, menurut saya, pemerintah agak mengkhawatirkan. Karena agak mengkhawatirkan, saya khawatir juga ekonomi kita terganggu untuk jangka waktu yang lebih lama. Sebetulnya sakit sebentar, 30 hari atau 40 hari atau 60 hari, tetapi pasti bisa kita selesaikan. Hal itu lebih menjanjikan dibandingkan sekarang ini yang tidak begitu tampak ada kejelasan,” katanya.
Transportasi dan pencegahan
Terkait pandemi Covid-19, Rektor Institut Teknologi Sumatera dan Guru Besar Transportasi ITB Ofyar Z Tamin mengatakan, transportasi merupakan salah satu jalur penyebaran virus paling efektif.
”Dia (virus korona jenis baru) berpindah antarnegara itu pasti melalui transportasi. Dia cepat menyebar di dalam satu daerah disebabkan oleh transportasi, pergerakan antarkita, dan lain-lain,” katanya.
Ofyar menuturkan, transportasi dapat meningkatkan penyebaran Covid-19 ke daerah-daerah. Namun, persoalannya terkait dengan orang atau penumpang di dalam alat transportasi tersebut, jadi harus diperhatikan. Jika tidak diperhatikan, orang atau penumpang yang bergerak dari satu tempat ke tempat lain menggunakan alat transportasi dapat menyebarkan virus korona tipe baru.
”Pandemi Covid-19 hingga saat ini belum jelas kapan akan berakhir. Apalagi kalau protokol kesehatan tidak kita lakukan,” katanya.
Transportasi dapat meningkatkan penyebaran Covid-19 ke daerah-daerah.
Terkait Covid-19, Deputi Bidang Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Bencana Lilik Kurniawan mengatakan, Indonesia memiliki beberapa keterbatasan, termasuk jumlah dokter. Keterbatasan juga dimiliki Indonesia di sisi rumah sakit atau rumah sakit darurat dan alat kesehatan.
”Sebagai informasi, dokter yang menangani Covid-19, khususnya dokter paru, di Indonesia hanya ada 1.936 orang. Kalau dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia, rasionya 1:1,2 juta. Artinya, satu dokter paru di Indonesia harus melayani 1,2 juta orang. Tentu ini tidak seimbang,” kata Lilik.
Lilik menuturkan, sampai sekarang belum ada vaksin Covid-19. ”Kalau toh suatu hari nanti ada, (vaksin) itu juga belum tentu cocok dengan orang Indonesia. Sehingga, bagi kita, upaya pencegahan menjadi kunci. Masyarakat harus menjadi garda terdepan. Tenaga medis sebagai benteng terakhir. Narasi ini yang kami kembangkan,” kata Lilik. (CAS)