Jika PSBB dilonggarkan tanpa ada dasar dan indikator yang kuat, yaitu penurunan kasus positif dan kematian karena Covid-19 secara signifikan, anggaran dan utang negara serta suntikan likuiditas BI akan sia-sia.
Oleh
hendriyo widi
·4 menit baca
Penanganan kasus Covid-19 masih belum tuntas. Namun, pemerintah sudah memberi sinyal melonggarkan pembatasan sosial berskala besar. Kendati pemerintah menyebut tidak ada pelonggaran PSBB, fakta di lapangan berkata lain.
Pergerakan orang di dalam kota, bahkan ke luar kota, makin masif. Berbagai moda transportasi umum mulai menggeliat. Pasar-pasar tradisional juga semakin padat. Sejumlah kementerian juga telah menyiapkan skenario tentang normal baru dengan pemahaman dan kebijakan masing-masing. Mungkin ini pertanda kalau hidup berdamai dengan Covid-19 semakin nyata, sesuai harapan pemerintah.
Menarik menyimak pendapat Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati serta Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki. Enny mengatakan, jangan sampai yang dimaksud dengan normal baru itu hanya kondisi normal seperti sebelum pandemi, tetapi sekadar ditambah protokol kesehatan, tanpa ada strategi besar. Itu bisa berujung fatal (Kompas, 19 Mei 2020).
Adapun Teten berpendapat, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tengah tertekan. Jika penanganan pandemi Covid-19 tak kunjung tuntas, APBN berpotensi semakin tertekan. Pemerintah mungkin sampai September 2020 masih punya uang dan sumber daya. Namun, kalau tidak bisa menuntaskan penanganan Covid-19 sampai September dan berlanjut sampai tahun depan, tekanan terhadap APBN akan sangat berat (Kompas, 20 Mei 2020).
Pemerintah mungkin sampai September 2020 masih punya uang dan sumber daya. Namun, kalau tidak bisa menuntaskan penanganan Covid-19 sampai September dan berlanjut sampai tahun depan, tekanan terhadap APBN akan sangat berat (Kompas, 20 Mei 2020).
Sebelumnya, Kementerian Keuangan menyebutkan, defisit APBN 2020 diperkirakan Rp 1.028,5 triliun atau 6,27 persen produk domestik bruto (PDB). Pelebaran defisit disebabkan oleh penurunan pendapatan dan peningkatan belanja yang lebih tinggi.
Kementerian Keuangan untuk kedua kalinya mengoreksi proyeksi defisit APBN 2020. Proyeksi defisit awal April lalu diperlebar dari 1,76 persen PDB dalam UU APBN 2020 menjadi 5,07 persen PDB dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN 2020.
Pelebaran defisit ini diperlukan untuk menangani dan mendorong ekonomi agar bisa bertahan menghadapi pandemi Covid-19. Karena itu, pemerintah menganggarkan dana program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) senilai total Rp 641,17 triliun. Anggaran pemulihan ekonomi ini diharapkan dapat menekan dampak Covid-19 di triwulan II hingga IV-2020.
Dana PEN itu akan digunakan antara lain untuk penyertaan modal negara dan penyaluran kredit modal kerja bagi perusahaan-perusahaan berpelat merah serta penempatan dana di bank yang terdampak restrukturisasi kredit.
Bahkan, Bank Indonesia (BI) telah bersiap membeli surat berharga negara (SBN) di pasar perdana. BI juga siap menyuntik likuiditas perbankan melalui transkasi repo di pasar sekunder dengan menggadaikan SBN yang dimiliki bank ke BI.
BI mencatat, saat ini perbankan masih minim memanfaatkan fasilitas term repo untuk memenuhi kebutuhan likuiditas. Transaksi term repo perbankan di sepanjang periode pandemi Covid-19 ini hanya sebesar Rp 43,9 triliun.
Angka ini terhitung kecil bila dibandingkan dengan data BI per Mei yang mencatat kepemilikan SBN di perbankan yang mencapai Rp 886 triliun. Dari total kepemilikan ini, potensi maksimal dari likuiditas hasil term repo BI yang bisa disuntikkan ke perbankan mencapai Rp 563,6 triliun. Nilai potensial tersebut merupakan hasil dari pengurangan nilai total kepemilikan SBN perbankan dengan kewajiban penyangga likuiditas sebesar Rp 330,2 triliun.
Jika PSBB dilonggarkan begitu saja tanpa ada dasar dan indikator yang kuat, yaitu penurunan kasus positif dan kematian karena Covid-19, secara signifikan anggaran dan utang negara serta suntikan likuiditas BI akan sia-sia. Niat hati ingin menggerakkan dan menggeliatkan ekonomi, tetapi bisa jadi berujung menenggelamkan ekonomi.
Jika PSBB dilonggarkan begitu saja tanpa ada dasar dan indikator yang kuat, yaitu penurunan kasus positif dan kematian karena Covid-19 secara signifikan, anggaran dan utang negara serta suntikan likuiditas BI akan sia-sia.
Ingat, di sektor kesehatan, tenaga kesehatan dan medis juga kewalahan dengan bertambahnya kasus positif Covid-19. Mereka yang berada di garda terdepan juga rawan tertular, bahkan sudah ada yang tertular dan meninggal. Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mencatat, per 6 Mei 2020, 55 tenaga kesehatan meninggal. Mereka terdiri dari 38 dokter dan 17 perawat.
Penyebab mereka tertular sangat bervariasi. Ada yang tertular karena daerah itu sudah menjadi wilayah transmisi lokal, apalagi banyak yang tanpa gejala. Ada pula yang tertular karena ketidakjujuran pasien yang telah terjangkit Covid-19 yang datang berobat.
Jika kasus positif Covid-19 semakin merebak karena pelonggaran PSBB, para tenaga kesehatan akan semakin kewalahan. Korban meninggal para penjaga garda depan ini berpotensi semakin bertambah.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, karantina wilayah yang terpapar virus korona baru bisa dilonggarkan jika memenuhi sejumlah persyaratan. Beberapa di antaranya adalah penurunan secara konsisten kasus penularan baru paling tidak 50 persen selama tiga minggu setelah periode puncak, kurang dari 5 persen kasus positif baru minimal selama dua minggu dengan syarat telah dilakukan survei menyeluruh hingga 1/1.000 populasi, serta penurunan jumlah kematian kasus positif dan terduga Covid-19 selama tiga minggu terakhir.
Sementara Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat jumlah kasus positif Covid-19 per 20 Mei 2020 sebanyak 19.189 kasus dengan tambahan kasus positif baru 693 kasus. Dari jumlah tersebut, 1.242 orang meninggal.
Sehari setelahnya, per 21 Mei 2020, jumlah kasus positif Covid-19 sebanyak 20.162 kasus dengan tambahan kasus positif baru 973 kasus. Dari jumlah tersebut, 1.278 orang meninggal.
Tetap mau melonggarkan PSBB? Monggo kemawon. Terserah. (CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO/KARINA ISNA IRAWAN/DIMAS WARADITYA NUGRAHA)