Penularan penyakit Covid-19 terus terjadi di segala usia, termasuk anak-anak. Karena itu, asupan gizi dan protokol kesehatan juga mesti diterapkan terhadap anak-anak agar terhindar dari penyakit infeksi tersebut.
Oleh
Deonisia Arlinta
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lebih dari 800 anak di Indonesia tertular Covid-19 atau penyakit yang disebabkan oleh virus korona baru, SARS-CoV-2. Penularan virus yang mewabah itu terjadi melalui kontak dari orangtua ataupun keluarga terdekat.
Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan, 4 persen kasus yang terkonfirmasi positif Covid-19 di Indonesia dialami kelompok usia 0-14 tahun. Itu berarti ada 831 anak pada usia tersebut yang tertular Covid-19 dari akumulasi total kasus per 22 Mei 2020 yang mencapai 20.796 orang.
Kepala Subdirektorat Kesehatan Usia Sekolah dan Remaja Direktorat Kesehatan Keluarga Kemenkes Wara Pertiwi menyampaikan, penularan Covid-19 pada usia anak disebabkan, antara lain, kontak dengan orangtua ataupun keluarga yang terinfeksi. Untuk itu, upaya pencegahan di rumah harus dipatuhi setelah orangtua atau orang terdekat bepergian.
”Kementerian Kesehatan membuat panduan pencegahan Covid-19 pada anak. Kami sudah menyampaikan panduan itu kepada pengelola program dan dinas kesehatan di daerah. Panduan ini akan disesuaikan dengan kondisi pandemi dan kebijakan pemerintah,” ujarnya, saat dihubungi di Jakarta, Jumat (22/5/2020).
Wara menambahkan, panduan itu mengimbau agar anak-anak tetap berada di rumah selama masa pandemi berlangsung. Setidaknya, pencegahan penularan dari orangtua ke anak bisa dilakukan melalui beberapa cara, yakni tidak boleh bermain ataupun menyentuk anak jika belum membersihkan diri dengan mandi dan berganti baju. Pakaian kotor bekas digunakan juga harus segera dicuci agar tak menjadi sumber penularan virus.
Selain itu, orangtua perlu memperhatikan asupan nutrisi bagi anak. Asupan gizi ini penting untuk menjaga daya tahan tubuh agar terhindar dari penularan berbagai penyakit. Pemantauan tumbuh kembang anak harus tetap dilakukan sesuai dengan panduan yang tertulis dalam buku kesehatan ibu dan anak (KIA).
Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) yang juga Presiden Asosiasi Dokter Anak Asia Pasifik (APPA) Aman Bhakti Pulungan menilai, jumlah penularan Covid-19 pada anak bisa jauh lebih besar daripada yang dilaporkan secara resmi oleh pemerintah. Itu menyangkut minimnya pemeriksaan, pelacakan, isolasi, dan karantina serta pembatasan sosial pada kelompok usia anak.
”Selama ini pemeriksaan terbatas dilakukan di tempat umum, padahal risiko penularan pada anak juga tinggi. Selain itu, pemeriksaan dengan pengambilan swab pada anak ini tidak mudah dilakukan sehingga potensi tidak tercatatnya kasus Covid-19 pada anak bisa terjadi,” ujarnya.
Pemeriksaan dengan pengambilan swab pada anak tidak mudah dilakukan sehingga potensi tidak tercatatnya kasus Covid-19 pada anak bisa terjadi.
Aman menuturkan, berdasarkan pendataan yang dilakukan oleh IDAI yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, setidaknya tercatat ada 129 anak yang meninggal dengan status pasien dalam pengawasan (PDP) Covid-19 dan 14 anak meninggal dengan status terkonfirmasi positif Covid-19.
Jumlah tersebut cukup tinggi jika dibandingkan dengan negara lain. Menurut dia, sejumlah negara di Asia Tenggara bahkan tidak mencatat adanya kasus kematian pada anak akibat Covid-19. Deteksi dan penanganan yang cepat menjadi kunci untuk mencegah kematian pada anak akibat penyakit tersebut.
Penyakit penyerta
”Anak-anak juga memiliki potensi penyakit penyerta, seperti pneumonia (radang paru), diabetes, asma, dan autoimun. Daya tahan tubuh anak yang tidak baik bisa menjadi risiko penularan berbagai penyakit, termasuk Covid-19,” ujarnya.
Untuk itu, pemerintah dan masyarakat luas diminta lebih memperhatikan kesehatan anak selama masa pandemi ini. Anak menjadi salah satu kelompok yang rentan tertular. Adanya aturan untuk kembali dimulainya proses pembelajaran di sekolah juga perlu dipertimbangkan secara matang.
”Ketika mulai masuk sekolah, risiko anak menularkan ke lingkungannya bisa lebih dari 10 persen. Besar risiko ini sama dengan potensi penularan pada orang dewasa. Belum lagi, anak akan sulit untuk menjalankan pembatasan sosial. Tidak mungkin anak diminta berjarak dengan temannya ataupun berlama-lama menggunakan masker,” kata Aman.
Berbagai ancaman kesehatan anak ini juga bisa terjadi karena terbatasnya pelayanan kesehatan anak pada masa pandemi. Banyak puskesmas dan posyandu yang tidak beroperasi maksimal. Akibatnya, pemantauan tumbuh kembang anak jadi terganggu. Sementara sebagian orangtua memiliki keterbatasan keterampilan dan pengetahuan untuk memantau tumbuh kembang anaknya.
”Jika pandemi ini tidak segera berakhir dan tidak mendapatkan perhatian serius dari pemerintah, kita bisa mengalami lost generation. Penyebabnya karena target penurunan stunting (tengkes) tidak lagi diperhatikan, target cakupan imunisasi tidak tercapai, dan target lainnya yang tidak tercapai dalam SDGs (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan),” tutur Aman.