Menjaga Pikiran Positif Selama Pandemi
Di tengah situasi pandemi Covid-19 sekarang, pikiran positif, hati yang bersyukur dan selalu gembira adalah kunci untuk bisa melalui masa-masa sulit ini.
Korona mengancam siapa saja, tak pandang usia, tempat tinggal, jenis kelamin, maupun status sosialnya. Obat dan vaksin untuk membendungnya pun belum tersedia. Hal yang bisa dilakukan setiap orang untuk mengatasinya adalah menjaga daya tahan tubuh dan mengikuti protokol kesehatan yang dianjurkan.
Sejak Desember 2019 hingga Senin (25/5/2020), Covid-19 telah menjangkiti 5,5 juta orang di 215 negara dan menyebabkan 347.249 orang meninggal (https://www.worldometers.info/coronavirus/). Cepatnya penyebaran, banyaknya korban, ketidakpastian kapan wabah ini akan berakhir, hingga dampak ikutan yang ditimbulkannya membuat warga dunia cemas dan stres.
Dalam situasi itu, menjaga diri agar tidak stres dan hati tetap gembira menjadi hal penting karena bisa membuat daya tahan tubuh turun hingga mudah terinfeksi penyakit apa pun, termasuk korona serta memperlambat penyembuhan penderita. Membangun imunitas tubuh dengan pikiran yang positif itu juga menjadi kunci kesembuhan penyintas positif Covid-19, Nina Susilowati.
”Aku menghindari bacaan yang membuatku tambah sedih,” kata Nina dalam Webinar: Kesehatan Mental di tengah Pandemi Covid-19 Melanda, Sabtu (16/5/2020). Nina yang sempat diisolasi 21 hari di sebuah rumah sakit umum di Jakarta bersama dua pasien lain yang berganti-ganti dalam satu ruangan memilih novel Agatha Cristie, cerita Mahabharata hingga cerita silat Kho Ping Ho untuk mengalihkan pikiran dari ancaman kematian Covid-19.
Sejak harus diisolasi, Nina menyadari banyak hal dalam diri yang harus ditata. Rasa tak berdaya, tak mampu menyelesaikan masalah, hingga harus menjalani perawatan akibat sejumlah penyakit penyerta yang dideritanya, justru menguatkannya untuk terus berjuang.
”Aku harus sembuh,” ungkapnya. Semangat itu makin besar karena Nina masih memiliki sejumlah keinginan, termasuk melihat anak-anaknya tumbuh besar dan berhasil. Karena itu, ia berusaha menerima apa pun yang dialami selama di rumah sakit, termasuk memaksakan diri untuk tetap makan tiga kali sehari dan mengonsumsi vitamin demi membangun daya tahan tubuh.
Saat dia berhasil menguasai dirinya, termasuk mengatasi trauma saat dua rekan isolasinya meninggal hampir bersamaan, dia pun menularkan semangat dan pikiran positifnya itu kepada teman-teman isolasinya. Tak hanya sekadar berbagi cerita dan tawa, Nina juga berusaha membantu menyelesaikan sejumlah persoalan rumit yang dihadapi sesama teman isolasi lainnya.
Bisa memberi manfaat pada orang lain walau sedikit bisa menimbulkan perasaan yang membuat makin positif
”Bisa memberi manfaat pada orang lain walau sedikit bisa menimbulkan perasaan yang membuat makin positif,” katanya.
Pikiran positif itu pula yang dibangun pelukis dan perajin wayang uwuh (sampah) Iskandar Hardjodimulyo. Berhentinya semua pekerjaan kesenian akibat pandemi membuat pria yang tinggal di Jakarta dan hidup terpisah dengan keluarganya di Yogyakarta membuat dia harus berpikir keras untuk menyambung hidup.
Ia pun akhirnya bisa menjual dua buah lukisan dan sejumlah wayang uwuh miliknya melalui media sosial. Pendapatan yang ia peroleh cukup untuk hidup satu bulan ke depan dan masih tersisa Rp 150.000. Uang sisa itu justru ia belikan mi instan dan kopi yang dimasukkan dalam 25 kantong plastik dan digantung di sebuah papan bergambar wayang di depan tempat tinggalnya.
Hanya kurang dari satu jam, bantuan itu sudah habis diambil masyarakat yang membutuhkan. Saat Iskandar mengunggah respons masyarakat yang mengambil sedekah itu ke media sosial, warganet merespons positif upaya tersebut dan terdorong untuk ikut bersedekah, menitipkan sedekah, atau membeli wayang miliknya yang sebagian hasilnya juga digunakan untuk sedekah.
Kepedulian banyak pihak itu membuat isian kantong sedekah itu makin banyak dan beragam. Dari semula hanya mi instan dan kopi, selanjutnya bertambah ada sabun mandi, minyak goreng, deterjen, hingga masker. Bantuan itu diberikan ke masyarakat sekitar tanpa memandang agama maupun latar belakang mereka. Sepanjang mereka membutuhkan, silakan mengambil.
”Prinsip yang saya pegang, urip kuwi urup (hidup itu bernyala, artinya hidup itu harus bisa memberi manfaat ke orang lain),” katanya.
Makanan pikiran
Di tengah situasi pandemi sekarang, pikiran positif, hati yang bersyukur dan selalu gembira adalah kunci untuk bisa melalui masa-masa sulit ini. Semua hal itu sangat diperlukan untuk menjaga daya tahan tubuh dan kesejahteraan mental, selain tentu mengonsumi makanan yang bergizi seimbang maupun suplemen kesehatan.
Untuk menjaga pikiran positif yang sangat memengaruhi suasana hati itu, Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Kwartarini Wahyu Yuniarti mengingatkan pentingnya menyeleksi informasi apa pun informasi dari seluruh pancaindera yang bisa masuk dalam pikiran. Informasi itu akan menjadi makanan bagi pikiran kita.
”Apa yang kita baca, dengar, rasa, cium dan lihat bisa memengaruhi kehidupan dan sistem kekebalan tubuh kita,” katanya.
Proses seleksi informasi yang masuk ke otak itu sebenarnya memiliki mekanisme yang sama seperti saat kita memilih makanan yang baik untuk tubuh kita. Selama ini, masyarakat cenderung memperhatikan kualitas makanan yang akan masuk ke perut, tetapi kurang menyadari pentingnya kualitas asupan informasi yang masuk ke otak.
Informasi yang positif bisa mendorong suasana hati yang positif hingga bisa memicu semangat dan bisa menjalani hari-hari dengan penuh kegembiraan. Sebaliknya, informasi negatif bisa membuat dunia sekitar menjadi suram, lesu dan tak bergairah.
Selama pandemi Covid-19, salah satu langkah menyeleksi informasi yang masuk ke pikiran itu adalah dengan memilih informasi apa yang kita butuhkan. Kita tentu membutuhkan informasi tentang penyakit Covid-19 agar kita bisa menghindarinya. Namun, tidak semua orang memerlukan informasi terkait keganasan virus, kecemasan seseorang saat panik dengan korona, atau visual kematian para korban yang memilukan.
Informasi negatif yang sering kali tidak kita butuhkan itu justru bisa memicu kecemasan dan distres (stres negatif). Dampak kecemasan itu akan lebih parah dan mudah terjadi pada seseorang yang memiliki gangguan kecemasan. Karena itu, sejumlah lembaga kesehatan dan organisasi profesi sudah mengingatkan pentingnya diet digital selama pandemi dengan mengecek gawai dua kali sehari saja dan mengonsumsi informasi terkait Covid-19 dari sumber tepercaya saja. (Kompas, 28 Maret 2020)
”Cerita yang menimbulkan kecemasan dan ketakutan akan diproses sistem saraf hingga mengurangi kadar serotonin dalam darah hingga bisa menurunkan daya tahan tubuh,” kata Kwartarini. Sebaliknya, informasi yang membuat gembira akan meningkatkan kadar serotonin dalam darah yang membuat rasa nyaman dan suasana hati positif.
Saat seseorang bisa menjaga diri untuk tetap positif, dia bisa menjadi berkah bagi orang lain, menciptakan sikap positif di sekitar mereka. Sama seperti kecemasan atau panik, sikap positif juga bisa menular. Kesejahteraan jiwa yang terbentuk itu akan sangat memengaruhi kesehatan fisik kita.
Sementara itu, psikolog dan konselor yang banyak berinteraksi dengan pasien dan penyintas kanker Yohana Domicus mengatakan orang yang memiliki tujuan dan harapan hidup, seperti ingin sehat, ingin melihat anak-anak bertumbuh dan berhasil, maka mereka akan memiliki harapan untuk bisa terus melanjutkan hidup.
Tujuan dan harapan hidup akan membuat seseorang lebih bersemangat menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, termasuk menerima penyakit yang diderita dan dengan ikhlas menjalani setiap proses pengobatan yang diperlukan.
Penerimaan adalah kunci untuk bisa menjalani fase kehidupan berikutnya. Pasien yang bisa menerima penyakitnya akan lebih mudah menjalani pengobatan yang harus dilakukan hingga peluang untuk sembuh menjadi lebih besar.
”Bagi banyak penyintas, kegembiraan adalah obat,” katanya. Karena itu, menyanyi, menari, tertawa bersama teman-teman, baik menertawakan diri sendiri, dari membaca atau menonton yang lucu bisa membuat seseorang untuk terus berpikir positif dan terjaga semangatnya.
Setelah menerima, para penyintas umumnya juga akan lebih pasrah. Kepasrahan itu akan menimbulkan kelegaan dan emosi bisa makin lebih positif. Tak hanya meningkatkan imunitas atau daya tahan tubuh, emosi yang lebih positif juga akan membuat seseorang tidak mudah cemas, tidak mudah sensitif dan tidak gampang tersinggung atau marah.
Pada masa pandemi ini, lanjut Yohana, kemampuan melihat yang baik dari segala sesuatu yang seolah tidak menyenangkan serta mensyukurinya akan membuat seseorang lebih nyaman, sehat, santai, dan optimistis. ”Sama seperti kegembiraan, rasa syukur juga bisa menjadi obat,” kata Yohana.
Karena itu, selama masa sulit ini wabah korona dan pembatasan sosial yang menyertainya, seharusnya tetap bisa membuat seseorang hidup secara positif dan penuh kesyukuran. Tentu tanpa mengurangi kewaspadaan terhadap penyakit Covid-19 yang mengancam. Masa sulit ini seharusnya bisa menjadi pembelajaran untuk memperbaiki diri demi masa depan yang lebih baik.
Guru Besar Psikologi UGM lainnya yang juga Ketua Dewan Guru Besar UGM Koentjoro Soeparno menambahkan pandemi seharusnya bisa dijadikan kesempatan bagi semua orang untuk melakukan olah pikir, sekaligus olah rasa.
”Selama ini, hanya olah pikir yang dilakukan, tapi kita mengalami ketumpulan dalam olah rasa,” katanya. Situasi itu terjadi karena di era digital dan Industri 4.0, rasa itu banyak yang dimatikan sehingga perlu dimunculkan kembali.
Baca juga: Jaga Jiwa Selama Masa Bahaya Korona
Pandemi Covid-19 adalah kenyataan yang harus dihadapi. Semua orang di dunia mengalaminya dan sama-sama merasakan penderitaan akibat dampak yang ditimbulkannya. Karena itu, selain berpikir mencari solusi secara terukur untuk mengakhiri persoalan ini, masyarakat juga perlu merenung bahwa wabah ini hanya bisa diakhiri dengan sikap dan tanggung jawab bersama.