Mereka yang pulang kampung karena terdampak Covid-19 tetap menaruh harapan untuk kembali ke kota besar. Agar tak kembali ke kota, pemerintah didorong mengembangkan teknologi perdesaan agar tercipta kesejahteraan desa.
Oleh
SHARON PATRICIA
·5 menit baca
Entah kapan pandemi coronavirus disease atau Covid-19 berakhir, tetapi kota besar masih menjadi magnet bagi masyarakat untuk mengais rezeki. Mereka yang kehilangan pekerjaan dan penghasilan di kota besar sementara ini memilih menunggu di kampung halaman sebelum kembali berjuang di kota besar.
Berdasarkan catatan Kompas, pada 2019, jumlah pemudik dari wilayah Jabodetabek mencapai 18,34 juta orang. Sementara tahun 2020, meski sudah ada larangan mudik untuk Idul Fitri 1 Syawal 1441 Hijriah, ada sekitar 1 juta orang telanjur mudik sebelum larangan mudik diberlakukan pada 24 April lalu.
Pengamat transportasi Universitas Katolik Soegijapranata, Djoko Setijowarno, Selasa (26/5/2020), menjelaskan, menurut informasi dari Dinas Perhubungan Jawa Tengah, sebanyak 897.713 pemudik telah memasuki Jawa Tengah. Mayoritas pemudik datang menggunakan moda angkutan jalan raya.
Sejak 26 Maret 2020 hingga 23 Mei 2020, sebanyak 643.243 pemudik diperkirakan telah memasuki wilayah Provinsi Jawa Tengah. Dari total pemudik, ada sebanyak 406.920 orang (63 persen) tiba dengan menggunakan moda angkutan jalan. Kemudian kereta api 176.749 orang (28 persen), pesawat udara 52.275 orang (8 persen), dan kapal laut 7.299 orang (1 persen).
Puncaknya terjadi terjadi pada 21 Mei 2020, yakni dengan jumlah 2.206 pemudik masuk ke Jawa Tengah. Jika dibandingkan dengan data pemudik ke Jawa Tengah tahun lalu yang sebanyak 5,6 juta orang, maka ada sekitar 14 persen yang mudik ke Jawa Tengah hingga 23 Mei 2020.
”Penurunan jumlah pemudik terjadi sejak ada penetapan larangan mudik pada 24 April 2020. Penghentian operasional moda pesawat terbang, kereta, dan kapal laut membuat jumlah pemudik menurun drastis,” kata Djoko.
Untung Wimbo Handoko (56) menjadi salah satu warga di Jakarta yang masih sempat pulang kampung ke Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, sebelum adanya larangan mudik. Sudah dua bulan lebih, ia berada di kampung halaman bersama keluarga.
Sebagai pengemudi transportasi daring, kata Wimbo, sejak diberlakukan kebijakan untuk kerja, belajar, dan ibadah dari rumah pada pertengahan Maret 2020, pendapatannya pun terdampak. Pendapatan turun dari Rp 370.000 per hari menjadi Rp 27.000 per hari, bahkan terkadang tidak ada sama sekali.
Selama di rumah, Wimbo mengatakan, belum ada usaha sampingan yang dijalankan. Ia pun berharap keadaan segera pulih sehingga dapat kembali ke Jakarta untuk mencari nafkah bagi keluarga.
”Jujur, sih, ingin cepat balik (ke Jakarta) untuk mencari nafkah, tetapi menyikapi sesuai kondisi juga. Kalau keadaan belum kondusif, ya, di sini (di Tegal) dahulu. Namun, kalau (Covid-19) di Jakarta sudah berkurang dan layanan transportasi daring sudah bagus, saya ke sana (ke Jakarta),” ujar Wimbo.
Pengalaman serupa dialami oleh Gilang Pamungkas (22), editor video di daerah Bandung, Jawa Barat, yang sudah pulang kampung ke Garut, Jawa Barat, sejak Maret 2020. Ia memilih pulang kampung karena terkena pemutusan hubungan kerja, penghasilan pun menjadi tidak ada.
”Rencananya, kalau situasi sudah normal, saya mau kembali kerja lagi di Bandung untuk ngumpulin modal usaha. Kalau sudah terkumpul, saya mau buka usaha di Garut,” kata Gilang.
Salah satu jenis usaha yang sudah terpikirkan olehnya adalah menjual ikan laut ke daerah-daerah pelosok. Sebab, meski hasil laut di Garut Selatan melimpah, distribusi ke daerah-daerah pelosok belum terjangkau.
”Penjual ikan laut jarang ada yang mau masuk ke pelosok, kadang malah mereka yang rela beli jauh ke tempat yang ada jual ikan laut. Jadi, kenapa enggak saya saja yang nyamperin daripada mereka yang harus jalan jauh untuk dapetin ikan laut,” tutur Gilang.
Ekonomi perdesaan
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa menyampaikan, pulang kampung bagi mereka yang sudah kehilangan pekerjaan sehingga tidak mampu lagi bertahan hidup memang diperbolehkan. Mereka yang sudah berada di kampung halaman pun diminta tidak kembali ke kota-kota besar sampai keadaan ekonomi kembali pulih.
Bagi mereka yang sudah pulang kampung dan berada di desa, kata Suharso, bantuan yang diberikan mengacu pada bantuan dana desa. Selain itu, ada pula program padat karya tunai yang akan diberikan hingga akhir tahun.
Pemerintah mengalokasikan dana desa pada APBN Perubahan 2020 sebesar Rp 71,2 triliun untuk 74.953 desa di seluruh Indonesia. Bantuan diperpanjang dari tiga bulan menjadi enam bulan hingga September 2020 (Kompas, 26 Mei 2020).
Sementara itu, dalam konferensi pers Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno menilai mayarakat yang pulang kampung sebelum adanya larangan mudik mayoritas merupakan pekerja informal yang kehilangan pekerjaan di kota besar. Untuk itu, ada peluang bagi mereka melakukan aktivitas ekonomi di daerah perdesaan.
”Banyak peluang usaha di kampung halaman, antara lain beternak, bertani, dan berkebun. Karena di Sumatera Barat merupakan daerah agraris, kegiatan bisnis didominasi sektor pertanian, jadi saya mengimbau ke situ (pemberdayaan masyarakat di sektor pertanian),” tutur Irwan.
Dengan adanya peluang usaha di sektor pertanian, kata Irwan, diharapkan masyarakat yang sebelumnya mencari nafkah di kota besar tidak lagi kembali ke sana. Apabila arus balik tetap terjadi, penyebaran Covid-19 pun akan terus berlangsung.
Untuk itu, perlu konsistensi penerapan larangan sementara penggunaan transportasi selama masa mudik Idul Fitri tahun 1441 H yang diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2020. ”Tapi perlu diingat aturan itu berlaku hingga 31 Mei 2020. Jadi, kami memohon untuk diperpanjang karena biasanya sebulan setelah Lebaran arus balik masih terjadi,” kata Irwan.
Pemanfaatan teknologi
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menyampaikan, kondisi perkotaan yang masih terdampak pandemi Covid-19 menunjukkan kondisi ekonomi yang belum siap menerima arus urbanisasi. Daya tarik sementara ini melemah karena lapangan kerja pun belum tersedia.
Sementara perdesaan, kata Tauhid, memiliki peluang dengan memanfaatkan teknologi digital dalam menggerakkan ekonomi. Khususnya untuk produk bernilai tambah tinggi yang dapat dipasarkan melalui perdagangan elektronik (e-commerce).
”Contohnya, e-commerce pertanian, memang tidak semua daerah bisa menerapkan, tetapi daerah yang cukup dekat dengan wilayah perkotaan itu memungkinkan. Bagi daerah-daerah di luar Pulau Jawa memang akan sedikit sulit karena beban biaya logistik yang tinggi,” tutur Tauhid.
Untuk itu, dalam jangka pendek, ada juga peluang memenuhi kebutuhan pasar di tingkat lokal dengan produk olahan. Misalnya, makanan cepat saji yang dapat dijual di tingkat lokal untuk menggantikan kebutuhan makanan yang selama ini dikirim dari luar kota.
”Pemasaran ini salah satunya dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi digital. Misalnya melalui media sosial yang dapat digunakan untuk memasarkan produk di tingkat lokal,” kata Tauhid.