”Transportasi Higienis” Jadi Kebutuhan di Era Kenormalan Baru
Protokol kesehatan mutlak dilaksanakan oleh penyelenggara transportasi untuk menjamin keselamatan, kenyamanan, sekaligus kesehatan para pengguna. Regulasi pendukung mesti diterbitkan untuk memayungi pelaksanaannya.
Oleh
C Anto Saptowalyono
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyelenggaraan sistem transportasi higienis menjadi keharusan mengikuti arah perkembangan kenormalan baru. Pemenuhan protokol kesehatan menjadi keharusan.
”Transportasi higienis sudah merupakan sasaran berikutnya yang wajib diselenggarakan. Jadi, nantinya, slogan transportasi aman, nyaman, dan selamat itu harus ditambah dengan sehat,” kata akademisi Program Studi Teknik Sipil Unika Soegijapranata, Djoko Setijowarno, ketika dihubungi, Selasa (26/5/2020).
Saat ini sudah ada Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 44 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan dan Bandar Udara Sehat. ”Permenkes No 44/2014 harus direvisi mengikuti perkembangan era normal baru di sektor transportasi,” kata Djoko yang juga menjabat Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia Pusat.
Selain itu, pemerintah juga harus segera membuat regulasi terkait penyelenggaraan terminal, stasiun, dan pelabuhan penyeberangan sehat. Standar pelayanan minimal penyelenggaraan angkutan umum juga berubah, yakni dengan menambah kriteria sehat.
Keberadaan fasilitas jalur sepeda dan pejalan kaki untuk pergerakan jarak pendek dan pengumpan juga dibutuhkan untuk menunjang transportasi umum. ”Pada kenormalan baru, bersepeda dapat menjadi pilihan. Selain menghindari kerumunan dalam ruang tertutup dan antrean, bersepeda juga menjaga kesehatan tubuh,” kata Djoko.
Sementara itu, Ketua Institut Studi Transportasi Darmaningtyas berpendapat, operator transportasi akan mengikuti pergerakan permintaan. ”Artinya, ketika permintaan bertambah, pasokannya juga harus ditambah. Operasional KRL dan Transjakarta, misalnya, akan mengikuti perkembangan di masyarakat,” kata Darmaningtyas.
Menurut dia, operator transportasi harus menjalankan protokol kesehatan, seperti menjaga keterisian maksimal 50 persen dari kapasitas, menyediakan penyanitasi tangan, disinfektan, pengukur suhu, dan lainnya. ”(Hal) Itu tantangan baru untuk operator. Di satu sisi kapasitasnya dibatasi, tapi di sisi lain persyaratan kesehatan harus dipenuhi,” ujarnya.
Menurut dia, hal ini relatif tidak terlalu jadi masalah bagi operator transportasi yang disubsidi atau diselenggarakan pemerintah, semisal KRL Jabodetabek dan Transjakarta. Pemerintah dinilai juga harus hadir membantu operator transportasi umum swasta dalam menerapkan protokol kesehatan.
”Kalau pemerintah menerapkan dan memperketat pengawasan, termasuk penjagaan jarak fisik di angkutan umum reguler, konsekuensinya 50 persen layanan yang dikosongkan harusnya dibayarkan oleh pemerintah,” ujar Darmaningtyas.