Jakarta tetap menjadi primadona bagi perantau untuk mengais rezeki. Meski begitu, dalam masa pandemi Covid-19, pemerintah didorong memanfaatkan momentum meningkatkan industrialisasi di perdesaan agar ada nilai tambah.
Oleh
sharon patricia
·4 menit baca
Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi dinilai tetap menjadi magnet bagi para perantau untuk mengais rezeki. Meski masih berada di tengah pandemi coronavirus disease 2019 atau Covid-19, kota-kota besar tetap menjadi destinasi utama di benak mereka.
Lukman (28) menjadi salah satu pedagang nasi goreng di Jakarta yang terpaksa pulang kampung ke Tegal, Jawa Tengah, karena terdampak Covid-19. Sudah dua bulan ia berada di rumah tanpa usaha tetap, bayangan Ibu Kota pun seolah memanggilnya untuk kembali berjuang.
Biaya hidup di Jakarta memang tak semurah di kampung sendiri, tetapi pendapatan di kota besar dikatakan lebih menjanjikan. Sudah 13 tahun belakangan Lukman merantau ke Jakarta dan kota-kota lain dengan pekerjaan yang tidak tetap.
Namun, pada pertengahan Maret 2020, kondisi berbeda dirasakan olehnya. Apabila dalam keadaan normal ia mampu memperoleh omzet harian dari berjualan nasi goreng sekitar Rp 200.000, saat Covid-19 ini membuat penjualannya terus berkurang, bahkan sama sekali tidak ada pembeli.
”Jadi, waktu itu daripada tetap bertahan di Jakarta dengan tidak ada penghasilan, saya putuskan untuk pulang kampung saja. Tapi, sudah dua bulan ini saya menganggur, usaha di sini (Tegal) juga susah karena ada PSBB (pembatasan sosial berskala besar), paling kerja serabutan jadinya,” kata Lukman saat dihubungi Kompas, Rabu (27/5/2020).
Keinginan untuk kembali ke Ibu Kota, kata Lukman, sudah pasti ada. ”Tapi, saya masih nunggu informasi dari teman-teman. Kalau sudah banyak yang berangkat ke Jakarta dan memang keadaan membaik, saya akan menyusul,” ucapnya.
Apabila memang tidak dapat kembali ke Ibu Kota, Lukman sudah menyiapkan rencana lain, yakni mulai dari usaha kuliner hingga usaha beternak. Ia berharap pemerintah dapat turut membantu menyediakan program agar masyarakat yang terbiasa merantau dapat mengetahui peluang usaha di daerah.
Potret lain datang dari Nelly Mukaromah (22), tenaga kerja di sektor perdagangan di daerah Tangerang Selatan yang terkena pemutusan hubungan kerja dan tidak sempat pulang kampung ke Pekalongan. Sejak 15 April 2020, ia mengandalkan sisa tabungan dan bantuan dari teman untuk bertahan hidup.
Selain karena takut menjadi pembawa virus korona tipe baru bagi keluarga di rumah, Nelly juga memutuskan tidak pulang kampung karena berencana untuk tetap mencari kerja di Tangerang Selatan. ”Kalau di sini (Tangerang), kerja lumayan setidaknya dapat UMR (upah minimum regional). Berbeda kalau di kampung, enggak tahu mau kerja apa,” ucapnya.
Selama belum mendapatkan pekerjaan tetap, Nelly mencari peluang usaha dengan menjadi re-seller dari nastar yang dibuat tetangga. Ia menjual dan mempromosikannya secara dalam jaringan untuk mencari pangsa pasar baru.
Magnet
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada triwulan I-2020 sebesar 2,97 persen. Dari jumlah tersebut, Pulau Jawa memberikan kontribusi terbesar terhadap perekonomian nasional, yakni sebesar 59,14 persen dengan pertumbuhan 3,42 persen.
Sejalan dengan itu, Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik Provinsi DKI Jakarta mencatat, produk domestik regional bruto (PDRB) DKI Jakarta, pada 2018, merupakan yang tertinggi sepulau Jawa, yakni sebesar Rp 2.599,17 triliun. Kegiatan ekonomi didominasi oleh sektor perdagangan.
Sementara PDRB di daerah lain, yakni Jawa Timur (Rp 2.189,78 triliun), Jawa Barat (Rp 1.962,23 triliun), Jawa Tengah (Rp 1.268,7 triliun), Banten (Rp 614,91 triliun), dan Yogyakarta (Rp 129,88 triliun). PDRB merupakan nilai semua barang dan jasa yang dihasilkan dari kegiatan-kegiatan ekonomi yang beroperasi di suatu daerah.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra PG Talattov, menilai, selain dari kontribusi PDRB Jakarta yang besar bagi perekonomian secara nasional, sektor perbankan pun hampir seluruhnya berputar di wilayah ini. Artinya, pergerakan uang dan bisnis memang didominasi Ibu Kota negara.
”Otomatis sektor-sektor formal, terutama yang berpusat di Jakarta, itu menjadi penarik warga untuk melakukan urbanisasi ke Jakarta. Begitu pun dengan sektor informal yang melayani sektor formal sehingga pertumbuhannya akan beriringan,” ujar Abra.
Momentum
Dalam masa pandemi Covid-19, yang membuat sebagian masyarakat pulang kampung dan belum bisa kembali ke Jakarta, Abra menyoroti perlunya optimalisasi percepatan penggunaan dana desa sebagai bantuan sosial. Hal ini menjadi titik krusial untuk memastikan ketimpangan antara kota dan desa tidak terlampau lebar.
”Kalau berlarut-larut tidak dieksekusi, dikhawatirkan rumah tangga di perdesaan akan semakin tertekan. Ujung-ujungnya ekonomi nasional juga akan semakin dalam kontraksinya,” ujar Abra.
Hal lain yang perlu dicermati yaitu dana desa yang awalnya bertujuan membangun infrastruktur untuk meningkatkan produktivitas ekonomi sekarang beralih menjadi bantuan sosial. Untuk jangka pendek, hal itu memang akan membantu menjaga daya beli masyarakat. Namun, dalam jangka menengah panjang, keadaan ini akan menghambat pertumbuhan ekonomi di daerah.
Untuk itu, penting bagi pemerintah menangkap momentum, yakni dengan mendorong realokasi industri ke perdesaan yang dinilai masih aman dari pandemi Covid-19. Selain biaya produksi lebih rendah, keadaan ini juga akan mendorong ekonomi di perdesaan.
Sektor usaha yang penting saat ini, kata Abra, yaitu industrialisasi berbasis pertanian atau agrobisnis yang dapat dikaitkan dengan industri makanan-minuman agar memiliki nilai tambah. ”Itu, kan, dibutuhkan oleh masyarakat, apalagi FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian) juga sudah memperingatkan adanya ancaman krisis pangan di masa mendatang,” ucapnya.