Rapat Virtual, Jurus Efektif, tetapi Melelahkan
Rapat virtual membuat orang tetap bisa bekerja dan terkoneksi. Namun, rapat virtual juga menguras energi. Rasa lelah bisa segera berubah jadi frustrasi ketika jaringan internet terganggu.
Sejak pandemi Covid-19 melanda dunia, pertemuan-pertemuan fisik berpindah ke ruang virtual. Teknologi internet membuat orang-orang yang dipisahkan jarak oleh pandemi tetap bisa terkoneksi dan melanjutkan pekerjaan. Namun, agenda pertemuan virtual yang menumpuk membuat kita lelah dan suntuk.
Pekan lalu, seusai kesibukan berbuka puasa dan shalat Tarawih, Riana Setiasari (44) segera membuka laptop dan bergabung dalam rapat virtual dengan rekan-rekan sekantornya. Malam itu, rapat membahas persiapan seleksi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di enam daerah. Tidak terasa, rapat mengalir hingga sekitar tiga jam.
Itu adalah rapat kedua sekaligus rapat terpanjang Riana dalam sehari. Sejak pembatasan sosial berskala besar (PSBB) diterapkan, lokasi bekerja berpindah dari kantor ke rumah. Riana pun mesti akrab dengan rapat-rapat virtual.
”Rekor saya sehari rapat (virtual) empat kali. Untuk setiap rapat, persiapannya beda-beda. Aku mesti menyusun agenda, menyiapkan bahan, dan aneka catatan. Lumayan repot, tapi rapat virtual cukup efektif,” ujar aparatur sipil negara di Direktorat Pengembangan Produk Ekspor Kementerian Perdagangan ini.
Di awal-awal, aku harus ngajarin dulu satu-satu. Wah, lelah hayati (lelah sekali) deh.
Pekerjaannya membuat Riana juga mesti sering menggelar rapat virtual dengan pengusaha kecil dan menengah binaannya. ”Mereka tidak semuanya akrab dengan software Zoom atau Google Meet. Di awal-awal, aku harus ngajarin dulu satu-satu. Wah, lelah hayati (lelah sekali) deh,” ujar Riana.
Rasa lelah bisa segera berubah jadi frustrasi ketika jaringan internet terganggu. ”Udah capek-capek nyiapin rapat, tapi rapatnya bubar di tengah jalan,” keluh Riana.
Keseharian penuh agenda rapat virtual juga dihadapi Senior Consultant Inke Maris & Associates, Lawrence Tjandra, sejak PSBB diterapkan. Sehari ia bisa mengikuti 7-8 kali rapat virtual untuk urusan kantor.
Di luar itu, ia masih mengikuti rapat atau pertemuan virtual lainnya untuk kegiatan kerelawanan dan agama. Meski ia tidak menghadapi kendala berarti, rapat virtual yang padat membuat dia kehabisan energi juga.
”Aku merasa rapat dengan Zoom itu bikin capek karena aku harus melihat layar terus. Sekali rapat bisa 2-3 jam mata melihat layar,” katanya, Senin (25/5/2020), saat dihubungi dari Jakarta.
Account Coordinator Praxis Public Relations Nadya Ayuningtyas mengaku tidak merasakan kelelahan dengan padatnya rapat virtual. ”Aku enggak ada kendala berarti dalam berkomunikasi dengan klien. Tetapi, sekarang lebih aware untuk memastikan masing-masing saling mengerti karena bisa miskomunikasi kalau (rapat) lewat online. Sebenarnya, aku memang lebih suka rapat offline karena bisa follow up,” tutur Nadya yang dalam sehari setidaknya mengikuti dua rapat virtual dengan durasi 45 menit hingga 2 jam.
Semua lelah
Wajar jika sebagian orang merasa lelah dengan serentetan rapat virtual. Pasalnya, rapat virtual memang lebih menguras energi dariapada rapat fisik. Gianpiero Petriglieri, associate professor di Insead, dan Marissa Shuffler, associate professor di Clemson University, seperti dikutip BBC edisi 22 Mei 2020, mengatakan, pertemuan dengan perantara video menuntut konsentrasi lebih daripada pertemuan biasa.
Ketika berbicara melalui video, kita perlu bekerja lebih keras untuk memproses simbol-simbol nonverbal, seperti ekspresi wajah, bunyi, nada suara, dan bahasa tubuh.
”Ketika berbicara melalui video, kita perlu bekerja lebih keras untuk memproses simbol-simbol nonverbal, seperti ekspresi wajah, bunyi, nada suara, dan bahasa tubuh,” ujar Petriglieri, yang lama berkutat dengan isu pengembangan berkelanjutan di tempat kerja.
Selain itu, dalam percakapan yang diperantarai medium seperti internet, lanjut Petriglieri, selalu ada keheningan sesaat. Ketika pertemuan berlangsung secara tatap muka, keheningan menciptakan irama alamiah dalam percakapan. Namun, keheningan yang terjadi dalam percakapan virtual memicu prasangka negatif pada lawan bicara.
Studi yang dilakukan akademisi Jerman pada 2014, tulis BBC, menunjukkan, keheningan yang terjadi pada percakapan telepon membuat kita berpandangan negatif pada orang lain bahkan jika keheningan itu hanya berlangsung 1,2 detik. Orang akan memersepsikan lawan bicaranya tidak fokus atau tidak bersahabat.
Shuffler melihat faktor lain yang membuat orang lelah dengan pertemuan-pertemuan virtual, yakni kesadaran bahwa kita sedang ditonton orang lain. ”Ketika Anda berada dalam rapat virtual, Anda tahu bahwa setiap orang melihat Anda. Anda ada di atas panggung. Jadi, ada tekanan sosial dan perasaan bahwa Anda harus tampil (secara patut). Perasaan itu membuat urat saraf tegang dan bikin stres.”
Tingkat stres menjadi lebih tinggi karena di masa pandemi, pertemuan-pertemuan virtual menjadi keharusan. Padahal, pertemuan virtual mengingatkan kita bahwa kita telah kehilangan pertemuan fisik meski sementara.
”Menyedihkan. Setiap saat Anda melihat orang online… padahal seharusnya kita berada di tempat kerja yang sama. Yang saya temukan, kita semua lelah. Tidak peduli apakah mereka itu introver atau ekstrover. Kita mengalami disrupsi yang sama selama pandemi,” lanjut Petriglieri.
Mengurangi kelelahan
Bagaimana agar kelelahan akibat pertemuan virtual bisa dikurangi? Petriglieri dan Shuffler menyarankan agar pertemuan virtual dibatasi. Selain itu, sadari bahwa menyalakan video dalam pertemuan virtual sifatnya opsional. Jika tidak nyaman, matikan saja.
Cara itu akan membuat Anda merasa berada di sebuah ruangan yang berdampingan.
Layar gawai bisa diletakkan menyamping alih-alih menghadap langsung. Hal itu bisa membantu konsentrasi khususnya dalam pertemuan kelompok. ”Cara itu akan membuat Anda merasa berada di sebuah ruangan yang berdampingan sehingga mengurangi rasa lelah,” ujar Shuffler, yang yang lama mengkaji isu tempat kerja dan efektivitas tim.
Ia juga menyarankan agar peserta pertemuan virtual menyediakan waktu untuk obrolan ringan sebelum memulai rapat. ”Itu cara untuk menghubungkan kembali kita dengan dunia dan menjaga kepercayaan serta mengurangi rasa lelah,” lanjut Shuffler, seperti dikutip BBC.
Riana, Lawrence, dan Nadya punya cara sendiri untuk mengurangi rasa lelah akibat rapat-rapat virtual. Lawrence membatasi rapat virtual untuk urusan kantor pada pukul 09.00-17.00. Sementara Riana mengatur rapat dengan mitra binaan hanya pada jam kantor. ”Untuk rapat dengan rekan sekantor bisa sampai malam,” kata Riana.
Lawrence juga membatasi aktivitas kerja di ruang kerja saja agar urusan kantor tidak dibawa ke ruangan lain. Jika sudah lelah, ia akan mencari kesegaran di ruang duduk atau taman.
Nadya berusaha mengefisienkan rapat virtual dengan cara menyiapkan materi rapat, catatan, atau pertanyaan untuk klien. Ia juga berusaha menciptakan suasana selama rapat. Caranya, dengan mengabarkan kepada semua anggota keluarga untuk menjaga ketenangan sebelum ia memulai rapat.
Meski aneka pembatasan pertemuan virtual dilakukan, toh jurus itu tidak selalu berhasil. Pada hari raya Lebaran tahun ini, misalnya, aneka rapat virtual memang mereda, tetapi agenda pertemuan silaturahmi virtual justru menumpuk. Ada silaturahmi virtual dengan keluarga, dengan tetangga satu RT, alumni kampus, hingga dengan teman satu SMA.
Ketika kita menghindar, pertemuan-pertemuan virtual akan tetap mengejar kita. Jadi, nikmati sajalah.