Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menilai, penerapan tatanan normal baru di tengah pandemi Covid-19 yang belum mereda tidak tepat. Kedua ormas Islam terbesar di Tanah Air ini meminta pemerintah mengkaji ulang rencana itu.
Oleh
ANITA YOSSIHARA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah melonggarkan pembatasan sosial berskala besar dan menerapkan tatanan normal baru perlu dikaji ulang. Jangan sampai kebijakan itu justru membahayakan keselamatan masyarakat karena hingga kini kasus Covid-19 belum menunjukkan penurunan yang signifikan.
Pesan agar pemerintah melakukan pengkajian secara mendalam salah satunya datang dari Persyarikatan Muhammadiyah yang sejak awal membantu pemerintah dalam penanganan kesehatan serta dampak Covid-19.
”Pemerintah perlu mengkaji dengan saksama pemberlakuan new normal agar masyarakat tidak menjadi korban,” kata Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir melalui keterangan tertulis yang disampaikan pada Kamis (28/5/2020).
Sejak pertengahan Mei lalu, Presiden Joko Widodo menyampaikan ajakan kepada masyarakat untuk berdamai, hidup berdampingan dengan Covid-19. Pemerintah pun mulai merencanakan pelonggaran PSBB dengan menyusun protokol masyarakat produktif dan aman Covid-19. Kendati belum ada keputusan pelonggaran PSBB, Presiden sudah melakukan peninjauan persiapan pemberlakuan tatanan normal baru di salah satu stasiun MRT di Jakarta serta pusat perbelanjaan di Bekasi, Jawa Barat.
Rencana pemerintah menerapkan tatanan normal baru itu, menurut Muhammadiyah, justru menimbulkan kebingungan di masyarakat. Sebab, di satu sisi pemerintah masih memberlakukan PSBB, sementara di sisi lain pemerintah menyampaikan pemberlakuan relaksasi dengan menerapkan tatanan normal baru.
Penyelamatan ekonomi memang penting, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah keselamatan jiwa masyarakat ketika wabah Covid-19 belum dapat dipastikan penurunannya.
Sampai saat ini pemerintah juga belum memberikan penjelasan secara rinci mengenai wacana pemberlakuan tatanan normal baru, termasuk pertimbangan atau masukan dari para pakar epidemiologi. Penambahan kasus Covid-19 pun masih tergolong tinggi sehingga wajar jika banyak kalangan masyarakat yang berpandangan bahwa pemerintah lebih mementingkan ekonomi dibandingkan dengan keselamatan masyarakat.
”Penyelamatan ekonomi memang penting, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah keselamatan jiwa masyarakat ketika wabah Covid-19 belum dapat dipastikan penurunannya,” kata Haedar.
Kesimpangsiuran itu tak hanya membingungkan masyarakat, tetapi juga kerap menjadi sumber ketegangan antara aparat pemerintah dan rakyat. Apalagi, sering kali aparat menggunakan cara-cara kekerasan dalam penegakan aturan terkait pencegahan Covid-19.
Begitu pula terkait rencana pemberlakuan normal baru, bisa menimbulkan banyak tafsir karena belum ada penjelasan dari pemerintah.
”Ketegangan berpotensi terjadi karena yang ditangkap masyarakat, new normal itu mal dan tempat perbelanjaan mulai dibuka, sementara masjid dan tempat ibadah masih harus ditutup,” ujar Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti.
Padahal, sejak awal, ormas keagamaan konsisten menyerukan umat untuk melaksanakan ibadah di rumah. Meski sulit, umat tetap diminta untuk beribadah di rumah demi mencegah penyebaran Covid-19.
Karena itulah, Muhammadiyah meminta pemerintah mengkaji dengan saksama pemberlakuan tatanan normal baru. Pemerintah perlu menjelaskan secara transparan mengenai dasar kebijakan ”new normal”, terutama terkait aspek utama, yakni kondisi penularan Covid-19 di Indonesia saat ini. Selain itu, pemerintah juga perlu menjelaskan tujuan pemberlakuan tatanan normal baru.
Konsekuensi terhadap peraturan yang sudah berlaku, khususnya PSBB dan berbagai layanan publik, juga harus dijelaskan. Begitu pula jaminan daerah yang sudah dinyatakan aman atau zona hijau serta persiapan-persiapan agar masyarakat tidak menjadi korban, termasuk menjaga kemungkinan masih luasnya penularan wabah Covid-19.
Pemerintah dengan segala otoritas dan sumber daya yang dimiliki tentu memiliki legalitas kuat untuk mengambil kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Dengan demikian, akan sepenuhnya bertanggung jawab atas segala konsekuensi dari kebijakan new normal yang akan diterapkan di negeri tercinta,” kata Mu’ti.
Ketua Bidang Kesehatan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Syahrizal Syarif juga berpendapat, rencana pemerintah menerapkan tatanan normal baru, jika dilihat dari sisi epidemiologi, tidak tepat. ”Tentu dari sisi epidemilogi tidak tepat,” tuturnya.
Pelonggaran, lanjut dia, harus memenuhi standar minimal, yakni protokol kesehatan yang ketat. Masyarakat harus disiplin mengenakan masker, menjaga jarak dan kebersihan diri, cuci tangan, dan tidak berkerumum menjadi keharusan.
Hal yang perlu digarisbawahi adalah pemberlakuan tatanan normal baru mengakibatkan penurunan kurva kasus Covid-19 menjadi lebih lambat dan membutuhkan waktu yang lebih lama. Penurunan kasus tidak bisa dilakukan secara drastis dengan waktu yang singkat.
”Jika lockdown adalah standar ideal, PSBB adalah standar esensial, maka pelonggaran harus memenuhi standar minimal kesehatan. Pakai masker, jaga jarak, kebersihan diri, cuci tangan, social-physical distancing tidak bisa ditawar,” ujar Syahrizal.
Tanpa penerapan protokol kesehatan yang ketat, dikhawatirkan akan muncul kluster baru, seperti di sekolah, pesantren, dan pasar tradisional. Sebab, di tempat-tempat itulah sulit diberlakukan protokol kesehatan yang ketat.
”Kalau MRT atau mal yang dikunjungi Pak Presiden, tidak ada masalah menerapkan protokol kesehatan. Tetapi, di tempat-tempat lain akan sulit diterapkan protokol kesehatan yang ketat,” ucapnya.