Orangtua Tak Setuju Sekolah Dibuka Selama Covid-19 Belum Mereda
Wacana pembukaan sekolah saat pandemi Covid-19 belum mereda ditentang banyak orangtua murid. Mereka khawatir, saat penanganan Covid-19 di Indonesia belum maksimal, pembukaan sekolah malah bisa menciptakan kluster baru.
Oleh
sekar gandhawangi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah orangtua murid tidak setuju dengan wacana pembukaan sekolah saat pandemi Covid-19. Kondisi nasional dinilai belum aman sehingga dapat membahayakan murid.
Warga Ciracas, Jakarta Timur, Rini (35), adalah salah satu yang tidak setuju. Menurut dia, anak-anak dapat abai mengenakan masker dan berkontak fisik jika tidak ada pengawasan ketat. Di sisi lain, tidak semua sekolah dapat mengawasi muridnya satu per satu.
”Hingga vaksin Covid-19 ditemukan, saya mau mengajukan sistem belajar dari rumah. Jika sekolah pada akhirnya tetap dibuka, saya mungkin akan ajukan cuti untuk anak saya yang duduk di kelas II SD. Jika tidak memungkinkan, saya berencana mendaftarkan anak ke homeschooling (sekolah rumah),” kata Rini saat dihubungi, Kamis (28/5/2020).
Ia mengatakan, para orangtua murid yang tergabung dalam grup percakapan daring punya opini serupa. Mereka berpendapat bawa anak-anak rentan terpapar virus korona tipe baru jika tidak terlindungi dengan baik. Sementara itu, kurva Covid-19 di Indonesia belum menurun.
Jujur saja saya waswas. Anak saya tidak betah pakai masker terlalu lama karena sesak. Selain risi terhadap masker, anak-anak bisa saja melupakan protokol kesehatan kalau terlalu asyik main.
Hingga Kamis petang ada 24.538 kasus positif Covid-19 di Indonesia atau naik 687 kasus dibandingkan Rabu. Adapun 16.802 orang dirawat, 1.496 orang meninggal, dan 6.240 orang sembuh.
Warga Kota Bekasi, Eka Mega (34), mengatakan, pihak sekolah anaknya masih mendiskusikan wacana pembukaan sekolah. Kendati tidak setuju, ia berharap sekolah konsisten menerapkan protokol kesehatan jika sekolah kembali dibuka. Ia juga berharap ada pengawasan yang ketat di sekolah.
”Jujur saja saya waswas. Anak saya tidak betah pakai masker terlalu lama karena sesak. Selain risi terhadap masker, anak-anak bisa saja melupakan protokol kesehatan kalau terlalu asyik main,” kata Eka.
Warga Cinere, Depok, Saki Abdulrahim (48), juga tidak setuju dengan wacana pembukaan sekolah. Menurut dia, pembukaan kembali sekolah saat kasus baru Covid-19 masih tinggi sama dengan mempertaruhkan keselamatan anak-anak.
Jangan sampai seperti kejadian di Perancis dan Finlandia. Sekolah mereka kembali dibuka, tetapi malah menjadi kluster baru pasien Covid-19. Padahal, fasilitas dan sistem kesiapan mereka lebih baik dari Indonesia.
”Andai kata pemerintah mengizinkan pembukaan sekolah, saya secara pribadi masih keberatan. Jika sekolah dibuka, kami para orangtua murid akan sampaikan saran agar sekolah menyediakan cairan pembersih tangan, wastafel dan sabun, dan memperpendek jam sekolah,” kata Saki yang juga ketua komite orangtua murid di salah satu SD di Depok.
Suara berbeda datang dari warga Cinere, Depok, Citra (34). Ia setuju dengan pembukaan kembali sekolah saat pandemi. Ia berpendapat, hal itu bisa dilakukan apabila sekolah menerapkan protokol kesehatan, seperti cek suhu tubuh sebelum masuk sekolah; menyediakan wastafel, sabun, dan cairan pembersih tangan; serta menerapkan prinsip jaga jarak.
”Saya cukup tenang melepas anak ke sekolah jika nanti sekolah kembali dibuka. Sebab, anak saya punya pengetahuan dan kesadaran yang cukup untuk melindungi dirinya,” kata Citra.
Mayoritas tidak setuju
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti, mengatakan, sekitar 80 persen orangtua tidak setuju dengan wacana pembukaan sekolah. Angka ini dihimpun dari survei yang disebar di Facebook pada 26 Mei 2020 hingga 28 Mei pagi. Ada 196.559 orangtua murid yang berpartisipasi.
Dalam survei yang menyasar murid, sekitar 80 persen murid setuju dengan wacana pemerintah. Ada 9.643 murid yang terlibat dalam survei. Sementara itu, sekitar 60 persen dari 18.112 guru setuju dengan pembukaan sekolah.
”Data ini belum dianalisis sehingga belum bisa saya jelaskan lebih jauh. Menurut saya, Kemendikbud harus punya inisiatif dan berkoordinasi dengan dinas pendidikan daerah. Dinas pendidikan kemudian berkoordinasi dengan sekolah-sekolah untuk memetakan kesiapan infrastruktur jika sekolah dibuka,” ujar Retno.
Ia mengatakan, sekolah hanya dapat kembali dibuka jika catatan kasus baru Covid-19 di suatu daerah nihil. Pemerintah daerah juga perlu berdiskusi dengan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) daerah dan Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) untuk mengkaji wacana ini. Pemerintah juga perlu meminta pendapat ahli penyakit menular yang ada di universitas setempat.
”Jangan sampai seperti kejadian di Perancis dan Finlandia. Sekolah mereka kembali dibuka, tetapi malah menjadi kluster baru pasien Covid-19. Padahal, fasilitas dan sistem kesiapan mereka lebih baik dari Indonesia,” kata Retno.