logo Kompas.id
Bebas AksesSuharso Monoarfa: Keputusan...
Iklan

Suharso Monoarfa: Keputusan Pemerintah Harus Berbasis Data Saintifik, Bukan Asumsi

Relaksasi PSBB akan diputuskan berdasarkan data dan perhitungan saintifik sesuai standar WHO, bukan berdasarkan asumsi. Indonesia perlu menyiapkan normal baru yang masyarakatnya tetap produktif, tapi aman dari Covid-19.

Oleh
SHARON PATRICIA
· 6 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/ouOv-2QptZgkfmWsndEkSbfRJHM=/1024x576/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F12%2F20191206_ENGLISH-WAWANCARA-BAPERNAS_A_web_1575631454.jpg
RIAN SEPTIANDI

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan, penyesuaian pembatasan sosial berskala besar atau PSBB akan diputuskan berdasarkan data dan perhitungan saintifik sesuai standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), bukan berdasarkan asumsi-asumsi.

Di sisi lain, Indonesia perlu menyiapkan kondisi normal baru di mana masyarakat tetap produktif, tetapi aman dari Covid-19.

Suharso mengakui, pengumpulan data yang bisa diandalkan masih menjadi tantangan. Sejak coronavirus disease 2019 atau Covid-19 menginfeksi masyarakat Indonesia, target 10.000 tes spesimen per hari masih belum bisa konstan dilaksanakan. Padahal, ini sangat penting untuk mengetahui pengendalian epidemi seperti yang disyaratkan WHO.

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana menunjukkan, selama periode 23-30 Mei 2020, tes spesimen Covid-19 secara berturut-turut adalah 10.617 spesimen, 11.013 spesimen, 4.741 spesimen, 7.152 spesimen, 14.313 spesimen, 11.495 spesimen, 10.639 spesimen, dan 11.361 spesimen.

Menurut Suharso, upaya pengumpulan data yang valid harus terus ditingkatkan sehingga nantinya bisa diandalkan untuk memutuskan kapan penyesuaian PSBB dan penerapan normal baru akan dilakukan.

Berikut petikan wawancara khusus Kompas denganSuharso pada Senin (25/5/2020).

Bagaimana evaluasi terhadap PSBB dan rencana ke depan? Daerah mana saja yang siap melakukan relaksasi PSBB?

Banyak berita atau informasi yang menurut saya misleading soal PSBB, terutama dengan kata-kata pelonggaran, kita harus hati-hati menggunakannya. Buat kami di Bappenas, yang penting itu, bagaimana Presiden bisa mengambil keputusan dengan dasar saintifik.

KOMPAS
Menjawab pro kontra normal baru, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa, menyampaikan kebijakan normal baru dilakukan secara hati-hati dan sudah sesuai dengan data ilmiah.

Maka, pengambilan kebijakan haruslah berdasarkan data. Lalu kita harus memastikan seberapa besar reliabilitas data tersebut untuk dijadikan dasar pengambilan kebijakan.

Kita juga harus mengikuti WHO terkait kriteria langkah-langkah kesehatan terhadap penyebaran Covid-19 untuk menentukan kebijakan penyesuaian pembatasan sosial. Kita mulai dari indikator pertama, yakni surveilans, jumlah orang yang dites.

WHO memberi ketentuan, jumlah orang yang harus dites adalah 1 orang per 1.000 penduduk dalam batas waktu satu minggu. Kalau ini kita pakai, maka untuk Jakarta dengan penduduk 10 juta, perlu 10.000 tes per minggu.

Sudah berapa minggu Covid-19  ada di Jakarta? Sudah 11 minggu, artinya yang dites harus 110.000. Terakhir 19 Mei lalu, itu sudah 120.000-an, artinya ketika seluruh Indonesia masih sekitar 220.000, Jakarta sudah 120.000, lebih dari 50 persen nasional dan memenuhi standar WHO.

Baca juga : ”Normal Baru”, Jejak dan Pesannya

Maka, kalau dari sisi surveilans, enggak ada yang bisa lolos kalau mau dibuat pelonggaran, kecuali Jakarta. Sebab, surveilans yang memenuhi standar hanya dimiliki oleh Jakarta.

Pertanyaannya, bagaimana dengan daerah lain? Itulah kemudian para ahli epidemiologi mengatakan, karena tidak punya data untuk surveilans, tidak ada data orang yang dites, maka mereka mulai dengan pendekatan lain, yakni dengan asumsi-asumsi, ini kan bahaya. Ini nanti membuat Indonesia akan terkucil dalam pergaulan internasional.

https://cdn-assetd.kompas.id/VT_Qe09DaUUQsZntRjziQ89BC80=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F05%2Fc598d2b1-c0f2-453e-9268-d58fe3d8e84f_jpg.jpg
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Warga mengikuti tes usap yang diadakan petugas Puskesmas Kecamatan Duren Sawit di Pasar Perumnas Klender, Jakarta Timur, Jumat (29/5/2020).

Indikator kedua, soal sistem kesehatan berdasarkan syarat WHO, yaitu jumlah tempat tidur yang tersedia harus lebih besar dari laju pertambahan jumlah pasien terinfeksi. Jakarta itu selisihnya lumayan ada sekitar 900 (tempat tidur yang tersedia).

Bandingkan kapasitas ini dengan daerah-daerah di luar Jakarta, itu timpang sekali. Jadi, kalau kita mau memenuhi syarat ini, mungkin sebagian besar di Jawa, Bali, dan kota-kota besar seperti Makassar dan Medan, selebihnya saya kira sulit.

Dari kedua indikator tersebut, semuanya akan terepresentasikan dalam indikator epidemiologi yang tecermin dalam effective reproductive number (Rt, potensi infeksi satu orang setelah dilakukan penanganan). Untuk mendapatkan Rt, harus ada data orang yang rentan tertular, sudah terinfeksi, dan orang yang recovery (pulih), siklus itu yang kita harus punya datanya.

Iklan

Kami kemudian melakukan pendekatan dengan algoritma model inferensi Bayesian untuk membuat data itu reliable (dapat dipercaya). Secara sederhana dapat dirumuskan Rt = (S(t)/N(t))xR0.

Baca juga : Gesekan Opini Sosial di Masa Covid -19

Dari hasil diskusi Bappenas dengan WHO dan ahli epidemiologi, R0 (potensi infeksi satu orang sebelum dilakukan penanganan), yaitu 2,5. Artinya, dari 1 orang yang terinfeksi, selama 5-7 hari dapat menular hingga ke 36 orang lainnya.

Sebagai contoh, untuk membuat angka Rt sebesar 1 dengan angka R0 2,5, diperlukan angka N(t) sebesar 2,5 (data orang sehat, terinfeksi, pulih, dan wafat) dan angka S(t) sebesar 1 (data yang dipengaruhi oleh efektivitas kebijakan Covid-19).

https://cdn-assetd.kompas.id/JAp4oKNK5Nef_VrN2uNf--Tr_H4=/1024x544/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F05%2Fspesimen1_1590829469.jpg

Tren Rt di semua wilayah saat ini masih di atas 1, tetapi untuk Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah sudah menunjukkan tren Rt kurang dari 1. Artinya, sudah menunjukkan adanya jumlah penurunan kasus.

Namun, penghitungan juga menggunakan estimasi batas atas Rt, mengingat jumlah tes yang masih relatif rendah. Khusus untuk wilayah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, pengendalian wabah, meski tren sudah mendekati 1 atau di bawah 1, credibility interval-nya masih tinggi.

Data kita enggak reliable, bagaimana angka Rt bisa menjadi acuan penyesuaian pembatasan?

Memang WHO tidak menuliskan syarat mutlak, tetapi dalam diskusi Bappenas, untuk kasus Indonesia, dikatakan, epidemiologi menjadi mutlak. Sebab, gambaran Rt merepresentasikan kita punya sistem kesehatan dan kapasitas surveilans.

Maka, surveilansnya dulu yang penting. Sebab, kalau sistem kesehatan dan kapasitas surveilans enggak bagus, pasti datanya enggak reliable.

Kalau untuk itu (kapan tes spesimen harian akan stabil), saya sulit menjawabnya.

https://cdn-assetd.kompas.id/E7oyRNZqFbyGmJB-3uhcQkLGWDc=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F05%2F20200529_ENGLISH-COVID-19_C_web_1590767946.jpg
KOMPAS/AGUS SUSANTO

Tenaga kesehatan mendata warga yang mengikuti tes reaksi rantai polimerase di Puskesmas Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur, Jumat (29/5/2020).

Bagaimana skenario ke depan yang akan dilakukan terkait dengan pemulihan ekonomi?

Untuk pemulihan ekonomi secara bertahap, efektivitas sistem kesehatan publik merupakan faktor kunci kecepatan pemulihan ekonomi. Dengan dibantu oleh McKinsey (”How to restart national economies during the coronavirus crisis”), ada empat kerangka transisi pemulihan.

Mulai dari tingkat kesiapan sistem rendah dan tingkat pertumbuhan virus tinggi hingga ke kondisi ideal, yaitu tingkat kesiapan sistem tinggi dan tingkat pertumbuhan virus rendah. Berdasarkan tingkat kesiapan, kelihatan yang siap itu Jakarta dengan tingkat kesiapan sistem sedang dan tingkat pertumbuhan virus sedang.

Jakarta bisa bersiap untuk melakukan pelonggaran, tetapi harus tetap menerapkan protokol Covid secara ketat. Beberapa contoh daerah lain yang sudah mulai bisa (memulihkan ekonomi) ialah Bali, Kalimantan Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta dengan kondisi tingkat kesiapan sistem rendah dan tingkat pertumbuhan virus sedang.

Sepertinya, ada kesan pemerintah ingin buru-buru melonggarkan PSBB?

Sebenarnya yang buru-buru itu siapa? Kesan terburu-buru sepertinya muncul hanya karena Presiden mengatakan, kita akan menyiapkan contoh untuk kehidupan kenormalan baru, new normal, yang akan datang.

Padahal, kita hanya ingin mempersiapkan new normal, bukan melonggarkan PSBB. Normal baru penting untuk menyiapkan masyarakat yang produktif dan aman Covid-19.

Pemerintah justru tidak ingin terburu-buru, tapi harus dihitung benar-benar. Jangan sampai keputusan pemerintah merugikan untuk berikutnya, lebih parah dari yang sudah kita lakukan.

https://cdn-assetd.kompas.id/JxXCCdlZThl_f3gYiCXeK_VCU_g=/1024x563/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F05%2Fspesimen_1590829510.jpg

Contoh, PSBB di Jakarta itu berhasil karena 60 persen orang di rumah. Kami di Bappenas menghitung secara statistik, waktu di bawah 40 persen, penambahan orang kena virus lebih banyak dibandingkan setelah 60 persen yang di rumah.

Kalau 60 persen ini kita longgarin, ya, jatuh lagi, itu kita enggak mau. Jadi, kita memberikan masukan kepada Presiden yang sifatnya bisa dipertanggungjawabkan secara akademis dan argumentatif.

Editor:
M Fajar Marta
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000