Nafsu Serakah
Geger mengenai warisan mendiang Amih Dinah yang diperebutkan adik-adiknya. Hambali merasa gerah takut istrinya mendapat bagian yang tak sesuai harapan.
Hambali berkeyakinan akan mendapat warisan yang tak sedikit. Tentu kekayaan yang melimpah akan dibagikan pada ahli waris yang salah seorangnya itu Rahmi, istrinya. Perempuan sederhana itu anak angkat Amih Dinah, orang terkaya di kampung. Kekayaannya sangat banyak. Tanah, sawah, kebun di beberapa tempat. Usahanya berpusat dalam pertanian. Hasil padinya ratusan ton, selain itu hasil kebun tak kalah melimpah. Pekerjanya banyak.
Amih Dinah tak memiliki anak. Rahmi, anak adiknya yang dirawat sejak bayi. Kasih sayangnya pada Rahmi ditumpahkan. Seperti pada anak kandung. Ketika dua putra Rahmi disunat, diadakan pesta tujuh hari tujuh malam. Mendatangkan wayang golek, mengundang ajengan sohor, dangdut, film layar lebar juga hiburan lainnya. Demi menyenangkan cucu yang semua tahu bukan cucu asli. Sebatas cucu angkat. Kasih sayang dan perhatian Amih Dinah yang berlebihan terkadang mengundang iri adik-adiknya.
Adapun Hambali, jejaka dari kampung lain yang memperistri Rahmi. Suami istri itu sangat berhemat dalam mengeluarkan uang karena semua kebutuhannya sudah ditangkas sang mertua. Kebutuhan keempat anaknya, malah yang sulung dan kedua kuliah di kota besar, tak kurang suatu apa pun. Serba cukup, terjamin karena sumbangan mengalir tiada henti.
Pasangan suami istri itu menempati rumah yang cukup besar yang telah diikrarkan Amih Dinah kalau rumah itu untuk Rahmi. Malah beberapa sawah dan kebun diatasnamakan anak-anaknya. Mulai yang sulung hingga yang bungsu masing-masing memiliki pengakuan sah. Hambali terkadang lupa pada ibu kandungnya. Ia tenang memiliki mertua kaya hingga ibu kandung meninggal dunia pun, dia tak menghadiri. Ia memiliki harapan masa depan dengan banyak harta seumpama mertua angkatnya meninggal.
Namun menghadapi sikap Amih Dinah setelah suaminya meninggal, mendadak pikiran Hambali menjadi terusik. Konon janda kaya suka dimanfaatkan para lelaki. Sesaat mencoba menenangkan pikir dan menganggap mustahil ada lelaki iseng yang menculik perempuan tua yang sama sekali tak menarik. Usia hampir enam puluh. Terkadang orang-orang mencibir atau sekadar menjadi guyonan.
Kampung geger mendengar Amih Dinah dinikahi bujangan usia dua puluh dua tahun. Tampan. Mustahil alasan cinta, tentu harta yang dilihat si bujangan, sebab rumah tangganya hanya berselang tiga bulan. Simpanan deposito sekian puluh juta dalam rekening dibawa si lelaki. Malah kebun yang ada di suatu tempat pun ikut terjual.
”Ke mana Amih?” tanya Hambali ketika melongok ke rumah paling besar. Pagi-pagi perempuan tua itu sudah pergi. Padahal Hambali ingin mertua angkatnya segera membagikan warisan. Ini malah sibuk dengan lelaki lagi.
Baca juga: Roh Cinta Ibu
Tak berapa lama, Amih Dinah menikah lagi dengan lelaki yang lumayan tampan. Menurut gadis-gadis yang suka berkumpul depan warung Mang Jai, katanya mirip bintang layar lebar. Karakternya terpuji di hadapan keluarga juga khalayak, malah terkesan ramah. Amih Dinah kian merasa dicinta. Namun tak jauh dengan yang pertama. Perempuan tua itu hanya tersenyum tahu sawah yang menghampar luas habis dijual dan uangnya dibawa kabur. Bukannya dijadikan pelajaran, namun tak jera ketika didekati lelaki yang lagi-lagi bujangan usia dua puluh delapan tahun. Akhirnya Amih Dinah jadi trending topic doyan ’berondong’. Ia malah senyum-senyum senang merasa bangga banyak lelaki muda yang mencintai. Padahal buktinya lagi-lagi kekayaannya berkurang. Hingga mereka bercerai.
”Akang bingung menghadapi Amih, Nyi,” Hambali mengeluh pada istrinya. ”Coba kau saja yang menasihatinya!”
”Ah, Akang kayak tak kenal adat Amih saja! Dia tak akan masuk kita omongin!” jelas Rahmi. Bahkan adik-adiknya Amih Dinah juga mencoba menasihati namun seorang pun omongannya tak ada yang didengar. Ia menganggap tak butuh nasihat orang lain meskipun itu saudara sendiri. Rahmi sebenarnya sudah malu pada tetangga. Penampilan Amih Dinah kian menor lupa usia. Namun bukannya pantas tambah parah.
Sekarang ia membawa lelaki empat puluh tahunan, duda cerai. Kalau melihat usianya, sudah tak muda, selisih tujuh belas tahun. Awalnya disangka tak ada niat jelek. Enam bulan mengarungi rumah tangga tanpa pertikaian malah terkesan rukun. Suatu hari membeli mobil, lalu mereka kerap pelesiran. Tak berapa lama, lelaki itu tak pulang-pulang. Pergi membawa mobil yang sudah diatasnamakan dirinya. Rumah kontrakan yang banyak sudah digadaikan ke bank. Penagihnya minta pertanggungjawaban Rahmi karena rumah kontrakan itu atas nama anak Rahmi yang sulung. Hingga akhirnya tak terselamatkan karena tak diuruskan lagi.
Penampilan Amih Dinah kian menor lupa usia. Namun bukannya pantas tambah parah. Sekarang ia membawa lelaki empat puluh tahunan, duda cerai.
Selama dua tahun Amih Dinah menyendiri. Rahmi cukup tenang walaupun Amih Dinah tak menyoal warisan yang berkurang karena tertipu lelaki-lelaki yang pernah menjadi suaminya. Perempuan tua itu tampak berubah niat, sesekali pergi ke masjid ikut pengajian. Semua tahu Amih Dinah jarang bahkan nyaris tak mau sholat. Sesekali ada yang menyuruhnya berwudlu, alasannya sangat sayang dengan bedak yang tebal.
”Nyi, coba kau tengok ke rumahnya, Amih Dinah ada?” Hambali gelisah usai mendengar kabar mertuanya akan mengadakan pesta besar. Tak salah, tak bisa dihalang-halangi. Adik lelakinya yang menjadi wali nikah. Amih Dinah menikah dengan bujangan hanya berusia tiga puluh tahun. Namanya Permana. Semenjak menjadi istri Permana, ada perubahan pada mantan janda itu. Bersedia belajar mengaji. Permana mendampingi di jalan yang benar. Ketika selama sebulan Amih Dinah terbaring sakit parah di rumah sakit, Permanalah yang merawatnya.
Barangkali seperti pada ibu, begitu bisik-bisik orang. Tak terdengar Permana memanfaatkan harta hingga perempuan tua yang dinikahinya itu pun meninggal dunia. Permana pergi tanpa membawa apa pun.
Geger mengenai warisan mendiang Amih Dinah yang diperebutkan adik-adiknya. Hambali merasa gerah takut istrinya mendapat bagian yang tak sesuai harapan. Sementara adik-adik mendiang ada tujuh termasuk Sumarni, ibu kandung Rahmi. Semua ribut ingin dibagi rata. Namun kebahagiaan tertumpah pada Rahmi. Sebelum meninggal, mendiang sudah membuat surat wasiat, semua harta kekayaan jadi milik Rahmi yang sudah sejak kecil diakui sebagai anak kandung dan ada dokumen yang menyatakannya. Tak bisa apa-apa, wasiat lebih kuat. Semua adik mendiang menolaknya. Semua minta bagian. Perselisihan mulai terjadi. Pertengkaran nyaris saban hari. Sekitar rumah terdengar ribut.
Walaupun mereka mendatangkan aparat, kekuatan wasiat yang menang. Rahmi jadi ahli waris tunggal apalagi kekayaan sudah atas nama keempat anaknya.
Hambali puas menjadi orang terkaya. Menempati rumah paling besar yang dulu ditempati mertua angkatnya. Dihargai khalayak namun dimusuhi semua adik mendiang. Termasuk ibu kandung Rahmi, tak berani membela anak kandung lantaran takut saudara-saudaranya.
Keluarga Hambali menjadi tak betah tanpa ada ketenteraman walaupun harta warisan melimpah kalau tinggal di sekitar orang-orang yang memusuhinya. Akhirnya mereka sekeluarga pindah ke kampung lain. Berusaha merasakan kedamaian, dengan kekayaan yang tak habis-habisnya. Terlebih dibarengi hidup hemat dan pelit. Menjadi orang terkaya walau sesekali dalam jiwanya menyelusup kesepian yang dalam jika teringat semua saudara istrinya yang balik membenci karena keserakahannya.
Lama-lama Hambali acap kali terlihat merenung sendiri. Anak-anaknya kurang memerhatikan. Sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Suatu ketika ada yang mengajaknya berbincang hingga larut malam. Seminggu kemudian dibelinya mobil baru lalu pergi dengan tamu yang baru dikenalnya itu. Hingga berbulan-bulan. Sekali pulang, Hambali menjual kekayaan, sedikit demi-sedikit hingga nyaris habis. Teman yang dikenalnya itu sering mengajak jarah dan konon punya kesaktian. Saban kekayaan Hambali dijual dan digunakan pelesiran ke tempat jarah, ada keyakinan kekayaannya akan bertambah dalam waktu yang sudah dijanjikan oleh penguasa gunung setelah melewati beberapa kali ritual malam Jumat.
Selama lima tahun menjalani seperti itu hingga kekayaannya benar-benar habis. Yang tersisa hanya rumah yang ditempatinya yang tak lama lagi akan disegel pegawai bank lantaran tak mampu mengangsur tunggakan. Rahmi kerap berjualan makanan basah mengelilingi kampung. Keempat anaknya yang sudah berumah tangga dan entah tinggal dimana, tak peduli dengan kekayaan orangtuanya yang kian melarat.
Hambali kerap melamun berkepanjangan. Sendirian di beranda rumah. Terperanjat jika teringat ibu kandungnya yang pernah dilukai hatinya. Kaget jika terbayang wajah-wajah adik mendiang Amih Dinah yang keruh merasa tak mendapat keadilan. Terlintas masa sebelumnya, menjalani hidup yang anti berbagi pada sesama. Kepala Hambali pusing lalu berputar-putar. Bibirnya perlahan bergerak-gerak. Tersenyum. Lalu tertawa terbahak-bahak melihat dua cicak yang tengah bercengkrama di langit-langit atap beranda. Ia seolah-olah diajak bercanda. Lalu beranjak, melompat dan hendak menungkup cicak yang jatuh di lantai. Dahinya terbentur ubin yang keras. Ia meraung sakit. Lalu menangis sekeras-kerasnya seperti anak kecil yang tak diberi jajan oleh ibunya.***
Bandung Barat, 19 Desember 2019
Komala Sutha, yang lahir di Bandung, 12 Juli 1974, menulis dalam bahasa Sunda dan Indonesia. Tulisannya dimuat dalam koran dan majalah, di antaranya Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, Kedaulatan Rakyat, Solopos, Merapi, Denpasar Post, Lampung Post, Padang Ekspres, Malang Post, Bangka Post, Analisa, Medan Post, Tribun Kaltim, Radar Tasik, Kabar Priangan, Galura, Femina, Hadila, Potret, majalah Anak Cerdas, Mayara, Sunda Urang, Wartsa Sunda, Beat Chord Music, Manglé, Sunda Midang, Kandaga, Metrans, Buletin Selasa, dan Redaksi Jabar Publisher. Tulisan lainnya tergabung dalam beberapa buku solo dan puluhan buku antologi cerpen serta puisi.