Pelayanan kesehatan di masa pandemi saat ini perlu menyentuh sisi kesehatan jiwa. Gangguan kesehatan jiwa bisa menurunkan kondisi fisik seseorang.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
Berbagai tekanan yang dihadapi manusia di tengah pandemi Covid-19 menyebabkan kerentanan pada kesehatan jiwa. Sayangnya, hingga kini risiko kesehatan jiwa belum menjadi prioritas dalam upaya penanggulangan Covid-19 di masyarakat.
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Negeri Semarang Rini Sugiarti, Rabu (10/6/2020), menyatakan, pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat di tengah pandemi Covid-19 sebaiknya jangan hanya terfokus pada layanan kesehatan fisik. Kesehatan jiwa masyarakat saat ini juga rentan terganggu. Kondisi ini justru bisa berdampak buruk bagi kelangsungan hidup seseorang.
”Covid-19 menimbulkan bencana bagi masyarakat. Dengan ketidakpastian akan berbagai hal, termasuk soal berapa lama lagi pandemi ini akan berakhir, bisa menyebabkan gangguan kesehatan fisik dan mental bagi seseorang. Untuk itu, intervensi dari berbagai pihak sangat dibutuhkan,” tuturnya di Jakarta.
Ia mengatakan, suatu bencana, termasuk bencana non-alam seperti penularan Covid-19, dapat menyebabkan gangguan biologis, psikologis, dan sosiologis. Kondisi tersebut biasanya ditandai dengan kecemasan, kekhawatiran, dan emosi negatif yang dirasakan.
Dengan ketidakpastian akan berbagai hal, termasuk soal berapa lama lagi pandemi ini akan berakhir, bisa menyebabkan gangguan kesehatan fisik dan mental bagi seseorang.
Jika kondisi ini tidak segera diatasi, seseorang akan rentan mengalami depresi, frustrasi, insomnia, letih dan lesu, serta demotivasi. Bahkan, pada kondisi yang paling buruk dapat menimbulkan keinginan untuk bunuh diri.
Menurut Rini, intervensi yang paling tepat untuk dilakukan adalah mengatasi penyebab dari kecemasan ataupun kekhawatiran yang dirasakan. Misalnya, bagi seseorang yang cemas akan masa depan atau ketidakpastian akan kondisi saat ini, intervensi yang bisa dilakukan adalah memberikan informasi yang tepat secara terus-menerus.
”Lingkungan di sekitarnya harus bisa memberikan informasi progres terkait penanganan Covid-19. Pemerintah bersama pemangku kepentingan lain juga berkewajiban untuk bisa memberikan edukasi kepada publik secara berkala, terutama terkait cara untuk menghadapi pandemi ini. Harapan yang pasti sangat dibutuhkan,” katanya.
Sementara bagi seseorang yang sudah mengalami kecenderungan gangguan kesehatan mental, intervensi terkait layanan psikologis perlu diberikan. Penanganan yang dilakukan biasanya mulai dari layanan konseling psikologis, layanan psikologis klinis, psikiater, hingga layanan dokter medis. Penanganan tersebut disesuaikan dengan gangguan yang dialami.
Dampak sosial
Puji Pujiono, anggota Sejajar—sebuah jejaring organisasi masyarakat sipil di Indonesia—menambahkan antisipasi lain yang harus disiapkan adalah dampak sosial yang dihadapi masyarakat akibat pandemi Covid-19. Antisipasi ini terutama diperlukan bagi masyarakat pada kelompok rentan, seperti masyarakat dengan status ekonomi menengah ke bawah, penyandang disabilitas, lanjut usia, dan masyarakat di daerah terpencil.
”Kelompok rentan ini biasanya sangat bergantung pada sektor ekonomi informal. Jika terjadi krisis, segmen masyarakat ini yang paling rawan mengalami guncangan. Mereka juga biasanya (yang) tidak memiliki akses yang memadai pada layanan sosial juga memiliki keterbatasan untuk beradaptasi,” tuturnya.
Menurut Puji, intervensi untuk mengatasi dampak sosial bagi masyarakat rentan ini tidak cukup hanya dengan pemberian bantuan sosial. Keberlanjutan sistem ekonomi bagi mereka perlu dipastikan seperti pengadaan lapangan kerja baru ataupun peningkatan kapasitas.
Terkait dengan penerapan tatanan baru di tengah pandemi, ia menilai, kebijakan yang disampaikan pemerintah kurang tepat. Akibatnya, informasi yang diberikan tidak ditangkap secara benar oleh masyarakat. Normal baru yang disampaikan oleh pemerintah membuat masyarakat berpikir kondisi saat ini sudah terkendali sehingga sudah bisa menjalankan kehidupan normal seperti biasanya.
Edukasi yang diberikan terkait upaya pencegahan dan perubahan perilaku belum terbentuk. ”Penerapan protokol kesehatan dalam normal baru pun tidak bisa dilakukan oleh semua masyarakat. Kondisi masyarakat yang hidup di rumah bedeng yang diisi oleh enam orang atau lebih tentu tidak mungkin menerapkan jaga jarak. Persoalan masyarakat yang beragam ini yang belum diperhatikan,” kata Puji.