Benahi Pembelajaran Jarak Jauh, Pemerintah Perlu Gratiskan Internet
Kendala pembelajaran jarak jauh perlu dibenahi menjelang tahun ajaran baru pada Juli 2020. Kendala yang dimaksud, antara lain, akses internet dan keterampilan digital guru.
Oleh
Sekar Gandhawangi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keterampilan digital dan akses internet merupakan kunci suksesnya pembelajaran jarak jauh atau PJJ. Hingga kini, kedua aspek itu belum terdistribusi merata. Pembenahan diharapkan karena PJJ kemungkinan berlangsung pada tahun ajaran baru, Juli 2020.
Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo mengatakan, hanya sekitar 47 persen sekolah di Indonesia yang punya akses internet. Adapun sebagian murid terkendala biaya paket internet.
”Kami dan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) sudah meminta kepada pemerintah untuk menggratiskan internet. Namun, pertanyaan lain muncul, yakni bagaimana dengan daerah-daerah yang belum dialiri internet? Ini kendala buat PJJ berbasis daring,” ucap Heru saat dihubungi, Kamis (11/6/2020).
Ia mengatakan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mengizinkan untuk menggunakan dana bantuan operasional sekolah (BOS) untuk belanja paket internet bagi siswa. Dana yang digunakan berasal dari anggaran pengadaan barang dan jasa.
Sejumlah sekolah telah mengalihkan dana BOS untuk paket internet. Misalnya, SMP Negeri 52 Jakarta mengalokasikan Rp 60 juta untuk kebutuhan internet 249 siswa dan 10 guru honorer selama PJJ. Setiap siswa akan diberi Rp 200.000 secara bertahap.
Berdasarkan data Pokok Pendidikan (Dapodik) Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ada 40.779 sekolah dasar dan menengah atau sekitar 18 persen tidak memiliki akses internet. Selain itu, 7.552 sekolah atau sekitar 3 persen belum terpasang listrik (Kompas.id, 9/6/2020).
PJJ tidak menjamin proses pembelajaran berjalan optimal. Hal itu karena ikatan emosional antara guru dan murid sulit terbangun melalui komunikasi di ruang digital. Padahal, hal itu penting untuk efektivitas pembelajaran.
”Pembelajaran bisa dikatakan efektif jika bisa menumbuhkan keterampilan pengetahuan dan sikap anak didik. PJJ bukan pembelajaran efektif karena sulit menumbuhkan keterampilan siswa dengan cara ini. Namun, PJJ harus dilakukan demi melindungi siswa dari Covid-19,” kata Heru.
Untuk mengatasinya, kemampuan digital guru perlu ditingkatkan. Guru musti belajar menggunakan media digital yang memungkinkan interaksi dua arah.
Heru mengatakan, FSGI mendapati kebanyakan guru menggunakan grup percakapan Whatsapp untuk mengajar. Padahal, komunikasi yang terjadi di platform itu sifatnya instruksional. Interaksi dengan murid tidak berjalan dua arah.
”Kendala PJJ masih banyak, baik dari segi sarana dan prasarana, fasilitas siswa, maupun keterampilan guru. Jika tidak diantisipasi, PJJ di tahun ajaran baru nanti tidak akan berubah. Kendala perlu diselesaikan secara menyeluruh,” ucap Heru.
Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Muhammad Ramli Rahim mengatakan, guru perlu dilatih agar punya keterampilan teknologi. Guru juga perlu belajar cara mengajar yang menyenangkan selama PJJ (Kompas.id, 4/6/2020).
”Butuh ruang untuk mengembangkan kompetensi guru di masa ini. PJJ tidak efektif karena masih ada guru yang tidak punya kemampuan di bidang teknologi. Menurut survei IGI, ada 74 persen responden yang setuju bahwa PJJ membuat siswa stres,” kata Ramli.
Siswa tidak bahagia
Menurut survei KPAI pada 13-20 April 2020 kepada 1.700 siswa di berbagai jenjang pendidikan, ada 76,7 persen siswa yang tidak senang mengikuti PJJ. Sebanyak 23,3 persen lainnya menilai PJJ mengesankan.
Sebanyak 77,8 persen responden menyatakan bahwa kesulitan utama PJJ adalah tugas yang menumpuk. Ada 37,1 persen responden kesulitan beristirahat karena waktu pengerjaan tugas yang pendek. Sebanyak 42,2 persen lain menyatakan kesulitan kuota internet.
Kami tidak langsung belajar di kelas. Guru diberi kebebasan untuk mengisi waktu sebelum belajar. Misalnya, saya mengisi waktu bebas itu untuk mengajak anak-anak bercerita di depan kelas.
KPAI turut mencatat ada 73,2 persen responden merasa mendapat tugas berat dari guru. Hal ini karena waktu yang diberikan untuk siswa mengerjakan tugas terbilang pendek. Sekitar 44,1 persen responden memiliki 1-3 jam sehari untuk mengerjakan tugas, sedangkan 342 persen responden 3-6 jam sehari.
Iin (43), guru SD Lazuardi Global Compassionate School, Depok, Jawa Barat, mengatakan, sekolahnya menerapkan kebijakan one day, one assignment. Artinya, murid hanya boleh diberi satu tugas per hari. Guru-guru perlu berkoordinasi satu sama lain jika ingin memberi tugas agar tidak menumpuk di satu hari.
”Kami tidak langsung belajar di kelas. Guru diberi kebebasan untuk mengisi waktu sebelum belajar. Misalnya, saya mengisi waktu bebas itu untuk mengajak anak-anak bercerita di depan kelas. Nanti teman-temannya bisa mengajukan tanya-jawab sehingga semua orang di kelas terlibat,” kata Iin.
Ia juga menyesuaikan kurikulum dengan konteks kehidupan saat ini. Sebagai contoh, ia mengajar pelajaran Bahasa Indonesia dengan mengajak anak didik membuat komik tentang virus korona baru. Anak-anak juga diajak berdiskusi soal pandemi Covid-19.