Penambahan kasus harian Covid-19 terus melonjak. Upaya penanggulangan penyakit itu harus terus dilakukan agar tidak terjadi gelombang kedua pandemi penyakit itu.
Oleh
Anita Yossihara/Ahmad Arif/Deonisia Arlinta
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo mengingatkan agar semua pihak mewaspadai gelombang kedua pandemi Covid-19 yang ditandai lonjakan kasus penyakit itu. Penyiapan protokol normal baru oleh pemerintah bukan berarti kerja melawan Covid-19 berakhir.
Saat meninjau kantor Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, di Jakarta, Rabu (10/6/2020), Presiden Joko Widodo menegaskan, ancaman Covid-19 masih ada. Hingga tiga bulan setelah kasus positif pertama ditemukan di Tanah Air pada awal Maret lalu, penyebaran virus SARS-CoV-2 cukup dinamis.
Temuan kasus di daerah juga fluktuatif, ada yang naik dan turun. Karena itu, Presiden mengingatkan, kerja melawan Covid-19, termasuk mencegah gelombang kedua penularan Covid-19, belum usai.
”Tugas besar kita belum berakhir. Ancaman Covid-19 masih ada, kondisi dinamis. Jangan sampai ada gelombang kedua. Jangan sampai ada lonjakan kasus,” tuturnya saat memberikan sambutan yang disiarkan secara virtual.
Juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, mengatakan, pada 10 Juni ada penambahan kasus harian 1.241 orang atau tertinggi sejak Covid-19 terdeteksi di Indonesia. Penambahan kasus baru tertinggi terjadi di Jawa Timur (273 kasus), Sulawesi Selatan (189 kasus), dan DKI Jakarta (157 kasus).
Tugas besar kita belum berakhir. Ancaman Covid-19 masih ada, kondisi dinamis. Jangan sampai ada gelombang kedua. Jangan sampai ada lonjakan kasus.
Temuan kasus itu diambil dari hasil uji 446.918 spesimen di 204 laboratorium. Dengan data ini, jumlah orang yang diperiksa per hari 5.825 orang, rata-rata kasus positif 21,29 persen. Angka ini amat tinggi, yang menunjukkan kurangnya jumlah dan jangkauan tes.
Sesuai pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), salah satu kriteria epidemiologi menuju normal baru adalah jika rata-rata penambahan kasus positif kurang dari 5 persen selama dua minggu berturut-turut dengan catatan tesnya 1 per 1.000 penduduk per minggu.
”Peningkatan kasus Covid-19 harian ini bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, ada peningkatan tes meski masih di bawah standar dan lebih rendah dibandingkan dengan negara lain,” kata Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Ede S Darmawan.
Di sisi lain, peningkatan kasus harian menunjukkan peredaran kasus Covid-19 di Indonesia tinggi. ”Dengan kondisi ini, seharusnya tak membuat kita lengah dengan melonggarkan pembatasan sosial,” ujar Ede.
Presiden menyampaikan, situasi tak menentu akan terjadi hingga vaksin untuk mencegah Covid-19 ditemukan. Padahal, penyiapan vaksin tak mudah dan membutuhkan waktu lama karena harus melalui uji klinis, uji lapangan, dan produksi. Jadi, kebiasaan baru mesti dilakukan sesuai protokol kesehatan agar aman Covid-19.
Prosedur ketat
Perihal kasus penularan Covid-19 yang fluktuatif, Presiden mengingatkan, pembukaan sejumlah sektor kehidupan dengan menerapkan tatanan normal baru di tiap daerah harus melalui prosedur ketat. Keputusan pembukaan daerah menuju normal baru masyarakat yang produktif dan aman Covid-19 harus dilakukan secara tepat agar tak mengakibatkan kenaikan kasus.
Persiapan yang perlu dilakukan sebelum melonggarkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) adalah prakondisi secara ketat. Pemerintah daerah dituntut melakukan sosialisasi masif terhadap warga terkait protokol kesehatan pada fase normal baru, antara lain memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, dan menghindari kerumunan.
Aparat Kepolisian Negara RI dan TNI diperintahkan berjaga-jaga di pusat keramaian untuk menjaga kedisiplinan warga menerapkan protokol kesehatan. Presiden juga mengingatkan pentingnya penentuan waktu yang tepat pelonggaran PSBB.
Perhitungan cermat berdasarkan data dan fakta, terutama terkait epidemiologi dan tingkat kepatuhan warga, harus menjadi pertimbangan penerapan normal baru. Kesiapan daerah melakukan uji Covid-19 secara masif, pelacakan agresif, serta penyediaan fasilitas kesehatan juga harus dipertimbangkan.
Presiden meminta pula jajarannya melakukan evaluasi rutin karena penyebaran Covid-19 fluktuatif. Jika terjadi kenaikan jumlah kasus di daerah yang menerapkan tatanan normal baru, pemerintah akan melakukan pengetatan lagi.
Sementara itu, Persyarikatan Muhammadiyah mengingatkan, risiko penularan Covid-19 tinggi. Ketua Muhammadiyah Covid-19 Command Center Agus Samsudin mengimbau warga agar waspada dengan mematuhi protokol kesehatan. Pemerintah juga mesti konsisten memberlakukan protokol kesehatan yang ketat di berbagai sektor kehidupan.
Meski pemerintah mengajak masyarakat menjaga protokol kesehatan, menurut Ede, kebijakan yang dikeluarkan belum mendukung. Salah satunya, pembukaan kantor secara serentak tanpa mempertimbangkan kapasitas transportasi publik. Hal itu mengakibatkan penumpang sulit menjaga jarak.
Situasi saat ini seperti mengulang kejadian pengabaian risiko sejak Januari hingga Maret lalu. ”Kita sudah empat bulan menghadapi wabah ini, tetapi masih terjadi tarik ulur. Pelaksanaan PSBB sudah lumayan meski tidak sepenuhnya menghapus penularan. Namun, belum selesai, kini diajak normal baru sebelum kita menyiapkan norma baru,” ungkap Ede.
Dengan situasi sekarang, menurut Ede, Indonesia harus bersiap menuai peningkatan kasus baru, terutama di daerah. ”Apalagi, penerbangan dan transportasi umum lain dibuka dengan syarat diperlonggar,” ujarnya.
Menurut epidemiolog dan peneliti serologi dari Laporcovid-19.org, Henry Surendra, kebijakan Menteri Perhubungan bisa meningkatkan risiko penyebaran Covid-19. Salah satunya, pelonggaran aturan bagi penumpang pesawat dan pelonggaran pembatasan jumlah penumpang di kendaraan.
Sebelumnya, penumpang pesawat harus melengkapi diri dengan tes PCR, tetapi kini untuk penerbangan domestik, mereka cukup menunjukkan bukti negatif berdasarkan tes cepat berbasis antibodi. ”Tes cepat yang didasarkan pada antibodi tidak tepat untuk diagnosis. Kemunculan antibodi berjeda 0-7 hari,” ujarnya.
Menurut Henry, transportasi bisa mempercepat penyebaran kasus Covid-19 ke sejumlah daerah. Maka, syarat penerbangan perlu diperketat.