Evaluasi Dulu Penegakan Protokol, Baru Bikin Aturan Pelonggaran
Sebelum menerbitkan aturan baru, pemerintah dinilai perlu lebih dulu mengevaluasi kemampuan menegakkan protokol kesehatan di transportasi umum selama ini. Pelonggaran aturan tanpa pengawasan ketat justru kontraproduktif.
Oleh
C Anto Saptowalyono
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebelum menerbitkan aturan baru, pemerintah dinilai perlu lebih dulu mengevaluasi kemampuan menegakkan protokol kesehatan di transportasi umum selama ini. Pelonggaran aturan tanpa pengawasan ketat dan penerapan protokol kesehatan justru kontraproduktif bagi upaya mencegah penyebaran Covid-19.
”Pemerintah harus mengevaluasi kemampuannya dalam menegakkan aturan sebelum membikin aturan baru,” kata Sekretaris Jenderal Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Harya Setyaka Dillon, ketika dihubungi di Jakarta, Kamis (11/6/2020).
Apabila penegakan aturan atau protokol kesehatan tiga bulan terakhir terbukti sulit, seharusnya masalah ini yang lebih dahulu diperbaiki sebelum membuat peraturan baru. Kemampuan meningkatkan kapasitas atau fasilitas kesehatan juga harus menjadi pertimbangan pemerintah.
Juru Bicara Kementerian Perhubungan Adita Irawati menyatakan, regulasi transportasi di masa pandemi Covid-19 disesuaikan dari waktu ke waktu. Sesuai arahan Presiden Joko Widodo, selama vaksin Covid-19 belum ditemukan, masyarakat harus bisa beraktivitas dengan lebih produktif, tetapi tetap aman dari Covid-19.
Pemerintah pada 8 Juni 2020 menetapkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 41 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Permenhub 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19. Surat edaran dari setiap direktorat jenderal di Kementerian Perhubungan menyusul terbit, antara lain, berisi pelonggaran kapasitas angkut, protokol kesehatan, pengendalian, hingga sanksi bagi pelanggar.
Sebelumnya, Permenhub No 18/2020 menyamaratakan kapasitas penumpang 50 persen karena saat itu pemerintah belum mempunyai rujukan (benchmark) besaran paling pas untuk tiap moda. Kementerian lalu melihat dinamika situasi dalam menetapkan batasan maksimal penumpang.
Adita mencontohkan, di zona yang masih merah atau oranye, batasan kapasitas angkut mobil pribadi maksimal tetap 50 persen. ”Ketika zona sudah kuning atau hijau, di fase-fase awal ini, masih maksimal 50 persen, tetapi nantinya di fase ketiga bisa menjadi 75 persen,” katanya.
Kapasitas maksimal transportasi umum, kata Aditia, harus direvisi karena aktivitas kegiatan masyarakat mulai dibuka. ”Kami harus menangkap pergerakan orang yang aktivitasnya makin meningkat dan menyesuaikannya dengan karakteristik tiap moda transportasi,” ujar Adita.
Kapasitas angkut kereta api perkotaan, seperti KRL, sebelumnya dibatasi maksimal 35 persen. Pada fase pertama, kapasitasnya akan ditingkatkan menjadi 45 persen. Sementara kapasitas angkut kereta api antarkota akan ditingkatkan menjadi 70 persen.
Kapasitas angkut pesawat yang sebelumnya maksimal 50 persen juga akan disesuaikan dengan tipe pesawat. Pesawat berbadan besar, misalnya, maksimal 70 persen.
”Dengan 70 persen itu, sebenarnya jaga jarak masih bisa dijaga, contohnya dengan mengosongkan kursi tengah. Kami mengacu asosiasi internasional. Semuanya memperlihatkan bahwa jaga jarak adalah satu hal. Tetapi hal terpenting adalah implementasi protokol kesehatan, baik oleh awak kabin maupun penumpang,” ujar Adita.
Penambahan kapasitas penumpang yang diatur dalam Permenhub No 41/2020 dan Surat Edaran Ditjen Perhubungan Udara mengacu ketentuan organisasi penerbangan internasional, seperti ICAO, EASA, CASA, CAA, dan otoritas penerbangan lainnya.
”Jadi, bukan sesuatu yang kami putuskan sendiri. Kami juga melakukan kajian. (Aturan) Ini adalah sesuatu yang akan kami evaluasi dari waktu ke waktu. Kami tentu tak ingin transportasi jadi bagian yang menambah mata rantai penularan,” kata Adita.
Terkait KRL, pada saat pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), tidak semua sektor usaha tutup. Akibatnya, ada pergerakan orang, terutama dari daerah penyangga yang kebanyakan menuju DKI Jakarta.
”Penumpang KRL bukan hanya pekerja. Ada juga orang-orang dari sektor informal yang harus mencari nafkah harian. Mereka tidak punya pilihan lain untuk pergi ke DKI Jakarta kecuali menggunakan KRL yang harganya memang sangat terjangkau,” kata Adita.
Ada sekitar 1 juta orang yang menggunakan KRL di Jabodetabek dalam kondisi normal setiap hari. Pada kondisi PSBB, rata-rata 120.000-150.000 penumpang per hari. Selama belum ada opsi lain, KRL tidak dapat diberhentikan. Hal yang bisa dilakukan adalah membatasi. Pembatasan juga harus seimbang antara hulu dan hilir.
Pada kondisi transisi seperti sekarang, kata Aditia, hal yang terjadi adalah kesamaan jam kerja. Akibat jam kerja sama, waktu keberangkatan para penumpang KRL pun sama, yakni antara jam 05.00-07.00. Demikian pula saat jam pulang kerja di sore harinya.
Kementerian Perhubungan mengusulkan salah satu solusi, tetapi membutuhkan kerja sama dengan semua pihak, yakni mengurai jam kerja. Pembedaan jam kerja diharapkan menghindarkan terjadinya penumpukan, terutama di hari Senin dan pada pagi saat berangkat dan sore waktu pulang.
Anggota Komisi V DPR, Irwan Fecho, mengatakan, di sektor transportasi, Kementerian Perhubungan berperan strategis untuk memutus penyebaran Covid-19. Semakin panjang pandemi akan semakin panjang pula tekanannya, termasuk di industri transportasi.
”Seharusnya pemerintah fokus bagaimana bisa menekan laju pandemi Covid-19, baru memikirkan relaksasi transportasi,” ujarnya.