Nelayan tradisional mulai terancam dengan dibukanya kembali izin delapan alat tangkap yang sebelumnya dilarang. Pemerintah dinilai tidak berpihak kepada nelayan tradisional.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pemerintah melegalkan kembali sejumlah alat penangkapan ikan yang sebelumnya dilarang, termasuk cantrang, menuai keresahan nelayan tradisional. Kapal-kapal dengan alat tangkap cantrang dan sejenisnya semakin marak dan memukul pendapatan nelayan kecil.
Jamhuri, nelayan rajungan di Desa Gebang Kulon, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, mengemukakan, sejak pemerintah memberikan sinyal penghapusan larangan cantrang, penggunaan alat tangkap cantrang dan sejenisnya, seperti dogol dan arad, mulai kembali marak.
Pemakaian dogol merusak terumbu karang yang menjadi tempat hidup rajungan. Akibatnya, nelayan bubu (rajungan) kehilangan pendapatan, bahkan bubu ikut hilang terseret dogol.
Bulan Mei 2020, Jamhuri kehilangan 150 bubu akibat tergerus kapal cantrang. Ia kesulitan modal untuk membeli lagi bubu yang harganya Rp 20.000 per unit atau total Rp 3 juta untuk 150 bubu. Nelayan rajungan terpaksa menyingkir jika tidak ingin bubu terseret kapal dogol dan arad yang biasanya berkelompok.
Ia menuturkan, nelayan rajungan sempat merasa lega ketika pemerintah melarang izin cantrang pada 2015. Kini, dengan dibukanya kembali izin cantrang, pendapatan nelayan rajungan terancam hancur. Pembukaan izin cantrang berlangsung di tengah pendapatan nelayan rajungan yang merosot. Harga rajungan saat ini hanya Rp 20.000 per kg atau anjlok hingga 60 persen dari yang biasanya Rp 50.000 per kg.
”Kalau (cantrang) dibebaskan, dipastikan nelayan (cantrang) keluar semua. Kami (nelayan rajungan) babak belur,” kata Jamhuri saat dihubungi di Jakarta, Kamis (11/6/2020).
Pemerintah segera menerbitkan revisi peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang usaha penangkapan ikan untuk mendorong investasi. Dalam revisi itu, beberapa alat tangkap ikan yang sebelumnya dilarang akan diizinkan untuk digunakan lagi.
Alat tangkap yang diperbolehkan itu berupa pukat hela dasar (trawl) udang, payang, serta cantrang dan sejenisnya yang tergolong pukat tarik (seine nets). Ada juga pancing berjoran, pancing cumi mekanis, huhate mekanis, pukat cincin pelagis kecil, dan pukat cincin pelagis besar dengan dua kapal.
Larangan sejumlah alat tangkap itu diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI. Selain itu, larangan cantrang juga diatur dalam Permen KP No 2/2015 tentang larangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela dan pukat tarik di WPP RI.
Secara terpisah, Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Riza Damanik mengatakan, pihaknya telah melayangkan surat ke Presiden Joko Widodo pada Februari 2020 untuk meminta pelarangan pukat hela dan pukat tarik di seluruh wilayah Indonesia. Cara operasional alat tangkap tersebut dinilai menyebabkan kerusakan lingkungan dan memperlebar ketimpangan pengelolaan perikanan di Tanah Air.
Riza mengemukakan, pemerintah seharusnya mendorong transformasi model pengelolaan perikanan yang sebelumnya eksploitatif dan hanya fokus pada komoditas menuju arah perikanan berkelanjutan dengan fokus pada kesejahteraan pelaku. Oleh karena itu, penggunaan trawl dan jenis alat tangkap merusak lainnya harus dipastikan tidak lagi beroperasi.
Inkonsisten
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Mohammad Abdi Suhufan mengemukakan, kebijakan mengizinkan kembali alat-alat tangkap yang dilarang menunjukkan inkonsistensi Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam tata kelola sumber daya ikan.
Pelarangan pukat hela dan pukat tarik sejak tahun 2015 tidak berjalan dan sebaliknya penggunaan alat tangkap yang merusak tersebut tetap berlangsung. Selain itu, terjadi pula pelanggaran zona tangkap kapal cantrang dari Laut Natuna ke wilayah Selat Malaka.
Di tengah minimnya tata kelola dan pengawasan, KKP kini justru berencana mengizinkan kembali penggunaan alat tangkap tersebut. ”Kewibawaan pemerintah menjadi tidak ada. Ini meruntuhkan kepercayaan nelayan tradisional non-cantrang,” katanya.
Ia menambahkan, KKP seharusnya melakukan kajian atau uji publik secara komprehensif tentang dampak lingkungan, ekonomi dan sosial dari penggunaan alat tangkap yang dilarang. Indikator lingkungan, seperti stok ikan, pendapatan anak buah kapal (ABK) cantrang, perlindungan ABK, kepatuhan kapal cantrang melaporkan hasil tangkapan, serta konflik nelayan yang terjadi selama ini antara nelayan cantrang dan noncantrang, sepatutnya menjadi pertimbangan.
Sementara itu, Ketua Umum Aliansi Nelayan Indonesia (ANNI) Riyono mengucapkan terima kasih kepada pemerintah atas rencana diizinkannya delapan alat tangkap yang sebelumnya dilarang. Nelayan cantrang mengikuti perkembangan regulasi yang diatur oleh pemerintah.