Penambahan Pemeriksaan Covid-19 Perlu Disertai Peningkatan Layanan Kesehatan
Kesiapan kapasitas dan kualitas layanan kesehatan diperlukan agar temuan kasus baru dari penambahan pemeriksaan Covid-19 terlayani dengan baik.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah telah meningkatkan target pemeriksaan kasus Covid-19 menjadi 20.000 spesimen per hari. Hal ini perlu diiringi peningkatan kapasitas layanan kesehatan yang memadai untuk mengantisipasi lonjakan kasus.
Ahli epidemiologi dan informatika penyakit menular dari Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Dewi Nur Aisyah, Senin (15/6/2020), di Jakarta, menyampaikan, peningkatan jumlah kasus yang dilaporkan setiap hari oleh Gugus Tugas perlu diamati secara cermat. Dengan jumlah pemeriksaan yang semakin banyak dilakukan, peningkatan jumlah kasus yang terkonfirmasi positif pun cenderung juga akan meningkat.
”Akan membutuhkan kewaspadaan lebih jika pemeriksaannya berkurang, tetapi angka positifnya tinggi. Pemeriksaan yang semakin banyak dan masif dilakukan dapat menggambarkan kondisi penyebaran kasus Covid-19 yang sebenarnya di masyarakat,” ujarnya.
Pemeriksaan yang semakin banyak dan masif dilakukan dapat menggambarkan kondisi penyebaran kasus Covid-19 yang sebenarnya di masyarakat.
Dewi menuturkan, pemerintah telah meningkatkan target pemeriksaan spesimen dari sebelumnya 10.000 spesimen per hari menjadi 20.000 spesimen per hari. Pemerintah daerah melalui dinas kesehatan juga kini semakin gencar melakukan pelacakan kasus dan pemeriksaan terkait Covid-19.
Dengan meningkatkan jumlah kasus yang diperiksa, potensi lonjakan kasus positif pun harus diwaspadai. Untuk itu, peningkatan kapasitas pelayanan kesehatan yang memadai juga harus ditingkatkan.
”Peningkatan testing (pemeriksaan) ini harus diimbangi dengan peningkatan kapasitas layanan kesehatan. Hal itu mulai dari penyediaan tempat tidur, sumber daya manusia, hingga alat pendukung, seperti ventilator. Selain itu, ketersediaan ruang isolasi dengan tekanan negatif juga perlu dipersiapkan, terutama untuk kasus dengan risiko berat,” kata Dewi.
Ia menambahkan, Tim Pakar Gugus Tugas juga berupaya menganalisis seluruh data terkait dengan penyebaran kasus Covid-19 di seluruh wilayah Indonesia. Salah satu tujuannya untuk menentukan status penyebaran kasus di setiap wilayah, baik untuk daerah dengan zona hijau, zona kuning, zona oranye, maupun zona merah.
Indikator yang digunakan untuk menetapkan status tersebut cukup kompleks. Beberapa di antaranya penambahan jumlah kasus positif, jumlah kasus meninggal yang sudah terkonfirmasi positif Covid-19, jumlah kasus meninggal dengan status pasien dalam pengawasan (PDP), dan jumlah kasus meninggal dengan status orang dalam pemantauan (ODP).
Selain itu, indikator lain adalah jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit dengan status ODP dan PDP, jumlah kasus sembuh, serta jumlah spesimen yang diperiksa di setiap daerah. Ini termasuk pada ketersediaan kapasitas layanan kesehatan yang dimiliki di setiap daerah.
”Saat ini datanya sudah mulai terkumpul. Ini, kan, juga perlu bantuan dari rumah sakit yang benar-benar mencatat kondisi pasien yang dirawat. Pencatatan ini juga termasuk penyakit komorbit (komorbiditas atau penyakit penyerta) yang dimiliki oleh pasien. Saat ini dilaporkan, gangguan ginjal dan jantung menjadi komorbit yang paling banyak ditemukan pada pasien Covid-19 di Indonesia dengan perburukan kondisi,” kata Dewi.
Laporan kasus
Secara terpisah, ahli epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Syahrizal Syarif, berpendapat, pelaporan angka kasus konfirmasi dan angka kematian akibat Covid-19 sudah cukup baik. Namun, pelaporan kematian pada kelompok PDP yang selama ini tidak pernah dilaporkan menjadi evaluasi yang seharusnya segera diperbaiki. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menganjurkan agar kematian pada kelompok PDP yang hasil pemeriksaan spesimennya belum diketahui bisa dimasukkan dalam laporan jumlah kematian akibat Covid-19.
Kemudian, ia menuturkan, penggunaan istilah orang tanpa gejala dan kasus tanpa gejala sering salah dipersepsikan. Orang tanpa gejala perlu dimaknai sebagai orang yang berisiko tertular Covid-19, seperti orang yang baru datang dari wilayah episentrum penularan Covid-19. Istilah orang tanpa gejala ini diadopsi dari istilah person under investigation (PUI) yang dikeluarkan oleh WHO.
Sementara itu, kasus asimtomatik atau kasus tanpa gejala adalah orang yang sudah terkonfirmasi positif Covid-19, tetapi tidak menunjukkan gejala atau tanda klinis. Kasus tanpa gejala ini sangat berpotensi menularkan virus pada orang lain, sementara orang tanpa gejala (OTG) belum tentu.
”Jelas OTG adalah sasaran yang tepat untuk mendapat rapid test atau swab PCR untuk menemukan kasus secara dini dan kemudian disertai penelusuran kontak,” kata Syahrizal.
Karena itu, ia mempertanyakan pernyataan juru bicara pemerintah yang sering mengatakan sebagian besar penularan terjadi dari OTG. Di sisi lain, tidak ada angka yang jelas berapa besaran tersebut karena pemeriksaan spesimen lebih banyak dilakukan pada orang yang bergejala.