Indonesia masih bermasalah dengan keterbatasan tes molekuler untuk Covid-19. Pemerintah juga diminta menghentikan tes cepat antibodi untuk diagnosis karena memicu masalah baru.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hingga empat bulan sejak diumumkannya pasien pertama dan kedua, Indonesia masih bermasalah dengan keterbatasan tes molekuler untuk Covid-19. Pemerintah juga diminta menghentikan tes cepat antibodi untuk diagnosis karena memicu masalah baru.
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mencatat penambahan kasus terkonfirmasi positif pada Minggu (14/6/2020) menjadi 38.276 orang setelah ada penambahan 856 pasien. Kemudian untuk pasien sembuh menjadi 14.531 orang setelah ada penambahan 755 orang. Selanjutnya untuk kasus meninggal menjadi 2.134 jiwa dengan penambahan 43 orang.
Jumlah kasus tersebut diambil dari pemeriksaan terhadap 9.658 orang per hari dari 222 laboratorium. Sementara total orang diperiksa 322.933 orang.
Sekalipun sudah ada kemajuan, menurut epidemiolog dari Laporcovid19.org, Henry Surendra, jumlah pemeriksaan ini dinilai masih terlalu kecil. Selain itu, pemeriksaan juga belum merata.
Mengacu laporan situasi Indonesia oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 10 Juni 2020, jumlah tes dengan PCR mayoritas masih dilakuka di Jakarta. Selama periode 25 Mei hingg 7 Juni, jumlah tes di Jakarta 44.239 dengan positivity rate atau kasus positif rata-rata dari orang yang diperiksa 8,5.
Dalam kurun yang sama, jumlah yang diperiksa di Jawa Barat 12.846 dengan posivity rate 6,6 persen, di Jawa Tengah 3.146 tes dengan positivity rate 11,1 persen, Yogyakarta 869 yang dites dengan positivity rate 8,1 persen, Jawa Timur 6.755 tes dengan positivity rate 30,9 persen, dan Banten 3.796 tes dengan positivity rate 8,3 persen.
Angka positivity rate yang tinggi dengan pemeriksaan yang masih sangat sedikit ini menunjukkan kemungkinan tingginya kasus positif yang belum ditemukan di masyarakat. ”Di Jawa Timur, misalnya, hanya periksa sekitar 3 orang bisa ketemu 1 kasus positif,” kata Henry.
Sesuai standar WHO, jumlah test PCR paling sediki adalah 1 orang per 1.000 penduduk setiap minggu. Jumlah ini hanya bisa dipenuhi Jakarta.
Juru bicara pemerintah untuk Covid-19, Achmad Yurianto, dalam keterangan pers pada Sabtu (14/6/2020) mengakui, tes di Indonesia masih rendah, yakni 1.752 per 1 juta penduduk. Akan tetapi, hal itu bukan berarti pemerintah tidak serius menangani ini.
Dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara, jumlah tes dengan metode reaksi rantai polimerase (PCR) di Indonesia per jumlah populasi merupakan yang paling rendah. Indonesia juga saat ini tertinggal dalam pengendalian pandemi dengan jumlah korban jiwa juga yang tertinggi. Untuk jumlah kasus positif, Indonesia hanya kalah dari Singapura yang mencapai 40.604, tetapi jumlah korban jiwa hanya 26 orang.
Masalah tes cepat
Tri Maharani, Kepala Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Daha Husada Kediri, Jawa Timur, mengatakan, pemeriksaan tes PCR di Jawa Timur saat ini sangat sulit, bahkan juga untuk tenaga kesehatan. Di sisi lain, daerah saat ini mengandalkan tes cepat (rapid test)yang akurasinya rendah.
”Hasil rapid test saya negatif, tetapi dari swab dengan analisi PCR positif. Saat ini, tenaga kesehatan di rumah sakit saya banyak dirumahkan, tetapi mereka tidak bisa dites PCR. Alasannya, rapid tes negatif dan tes PCR terbatas,” katanya.
Menurut Tri, pedoman tentang tes yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan harus diubah. ”Jangan lagi pakai rapid test dulu untuk menentukan orang harus di swab atau tidak. Langsung saja pakai PCR. Kita menghamburkan uang kalau harus pakai rapid test dan kemudian dites lagi dengan PCR,” ungkapnya.
Jangan lagi pakai rapid test dulu untuk menentukan orang harus di swab atau tidak. Langsung saja pakai PCR. Kita menghamburkan uang kalau harus pakai rapid test lalu dites lagi dengan PCR.
Ahli epidemiologi dari Indonesia yang mengajar di University of South Australia Beben Benyamin mengatakan, sesuai standar WHO, tes Covid-19 harus memakai PCR, sedangkan tes cepat tidak bisa digunakan utnuk diagnosa ataupun penapisan.
”Rapid test hanya untuk studi guna melihat tingkat imunitas di masyarakat yang telah terinfeksi. Tidak akan akurat jika dipakai untuk diagnosis sekalipun itu diagnosis awal. Jadi membuang uang dan tenaga,” katanya.
Selain itu, menurut Beben, dengan keterbatasan kemampuan PCR, Indonesia harus berhemat dengan tidak melakukan tes ulang terhadap pasien Covid-19 sampai negatif dua kali untuk menyatakan seseorang telah sembuh.
Sebagai contoh, Pusat Pencegahan dan Pengendalian (European Centre for Disease Prevention and Control) mengeluarkan panduan, jika suatu negara memiliki kemampuan tes terbatas, bisa menentukan pasien yang sembuh berdasarkan kriteria klinis. Meski demikian, pasien itu tetap butuh melakukan karantina mandiri di rumah.
Henry, yang juga ahli serologi, mengatakan, tes cepat antibodi ditujukan untuk melacak apakah seseorang pernah terinfeksi virus. Artinya, seseorang bisa saja dalam fase infeksi aktif atau sembuh alias virus tidak terdeteksi. ”Kemunculan antibodi berjeda tujuh hari. Bisa jadi seseorang terinfeksi, tetapi antibodi tidak muncul sehingga hasil rapid test nonreaktif, tetapi dari PCR positif,” ungkapnya.
Di sisi lain, orang yang tes cepatnya positif dan PCR negatif sebenarnya pernah terinfeksi, tetapi sudah sembuh. Ini menyebabkan, PCR tidak lagi dapat mendeteksi keberadaan si virus.
”PCR hanya bisa mendeteksi virus selama orang masih dalam infeksi aktif. Sementara itu, rapid test akan terus bisa mendeteksi antibodi yang bisa bertahan di tubuh beberapa bulan atau tahun setelah seseorang sembuh dari infeksi,” katanya.
Dengan karakteristik ini, Henry mengingatkan, tes cepat tak bisa dipakai sebagai diagnosis. Pemerintah harusnya menghentikan penggunaannya untuk diagnosis dengan alasan keterbatasan PCR karena hal itu memboroskan anggaran, selain juga bisa membingungkan masyarakat.