Mendikbud: Empat Syarat Pembukaan Sekolah di Zona Hijau Tak Bisa Ditawar
Di tengah pandemi Covid-19 yang belum jelas kapan akan berakhir, pemerintah akhirnya memutuskan hanya akan membuka sekolah di kawasan zona hijau Covid-19 terlebih dulu.
Oleh
Mediana/Yovita Arika
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS-Pemerintah memutuskan membuka kembali sekolah yang terletak di kabupaten/kota zona hijau Covid-19. Sekolah yang diperbolehkan menggelar pembelajaran tatap muka dimulai secara bertahap dari pendidikan tingkat atas dan sederajat, lalu pendidikan menengah dan sederajat, serta terakhir pendidikan tingkat dasar dan sederajat.
"Kami tidak mengubah kalender pendidikan. Tahun ajaran baru 2020/2021 akan dimulai sekitar pertengahan Juli 2020," ujar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim dalam konferensi pers virtual "Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Pada Tahun Ajaran dan Tahun Akademik Baru di Masa Pandemi Covid-19" yang merupakan keputusan bersama empat kementerian, yaitu Kemdikbud, Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Dalam Negeri, Senin (15/6/2020) sore di Jakarta.
Per 15 Juni 2020, sebanyak 94 persen peserta didik tinggal di 429 kabupaten/kota yang masuk zona kuning, oranye, dan merah Covid-19. Mereka tetap wajib mengikuti pembelajaran jarak jauh (PJJ). Sementara itu, 6 persen peserta didik yang tinggal di 85 kabupaten/kota zona hijau Covid-19 bisa mengikuti pembelajaran tatap muka.
Ada empat syarat yang tidak bisa ditawar bagi sekolah di zona hijau yang mau menggelar pembelajaran tatap muka
Meski demikian, Nadiem menegaskan ada empat syarat yang tidak bisa ditawar bagi sekolah di zona hijau yang mau menggelar pembelajaran tatap muka. Syarat pertama adalah sekolah berada di zona hijau. Kedua, pemerintah daerah dan kantor wilayah/ kantor kementerian agama memberikan izin.
Ketiga, satuan pendidikan sudah memenuhi semua daftar protokol kesehatan dan siap melakukan pembelajaran tatap muka. Syarat keempat, orang tua/wali murid menyetujui anaknya melakukan pembelajaran tatap muka di sekolah. Apabila salah satu dari empat syarat itu tidak terpenuhi, maka peserta didik melanjutkan belajar dari rumah secara penuh.
Mengikuti status zona
Pembukaan kembali sekolah diawali dari tahap I yaitu SMA, SMK, MAK, SMTK, SMAK, Paket C, SMP, MTs, dan Paket B. Kemudian, tahap II meliputi SD, MI, Paket A, dan sekolah luar biasa. Adapun, tahap III baru Pendidikan Anak Usia Dini formal dan nonformal. "Bahkan, di zona hijau Covid-19 sekalipun kami membuat rentang pembukaan kembali sekolah per jenjang. Pada saat suatu kabupaten/kota zona hijau Covid-19 berubah status zonanya, misalnya menjadi kuning, maka pembelajaran langsung kembali ke PJJ," kata Nadiem.
Dari sisi waktu, waktu paling cepat untuk memenuhi kesiapan di jenjang SMA, SMP, dan sederajat untuk fase transisi adalah Juli 2020 dan fase normal baru September 2020. Sedangkan, kesiapan fase transisi SD, MI, Paket A, dan sekolah luar biasa September 2020 dan fase normal baru November 2020. Sementara itu, fase transisi jenjang Pendidikan Anak Usia Dini formal dan nonformal November 2020 serta fase normal baru Januari 2020.
Sebelum membuka sekolah, kepala dan manajemen sekolah wajib melakukan pengisian daftar periksa kesiapan sesuai protokol kesehatan dari Kementerian Kesehatan. Petunjuk teknis persiapan disediakan oleh Kemdikbud.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Doni Monardo menekankan, status zona hijau Covid-19 akan sangat dinamis. Praktik baik protokol kesehatan amat menentukan.
Dia mengakui, pemerintah tidak bisa menyediakan tes Covid-19, seperti PCR ataupun Rapid Test bagi seluruh peserta didik didik warga sekolah karena memakan biaya besar. Pemerintah hanya bisa memfasilitasi sampel tes.
Kurikulum belum dibenahi
Ketua Komisi X Syaiful Huda mengapresiasi adanya panduan tersebut. Hanya saja, panduan belum memuat bagaimana kurikulum pendidikan beradaptasi dengan pandemi Covid-19.
"Guru mengalami kerumitan menggelar PJJ sehingga pemerintah seharusnya membuat panduan belajar-mengajar. Kurikulum harus diperbaiki menjadi kurikulum yang adaptif terhadap situasi bencana," kata dia.
Kalangan guru juga menilai keputusan bersama empat kementerian itu tidak menjawab masalah utama yang terjadi selama tiga bulan pelaksanaan PJJ. Guru berharap ada solusi konkret dari pemerintah untuk memperbaiki proses PJJ mengingat 94 persen siswa masih akan menjalaninya.
“Mengapa tidak memperbaiki proses pembelajaran di rumah dulu? Guru membutuhkan panduan kurikulum di era pandemi, bukan kurikulum baru tetapi penyederhanaan kurikulum, yang praktis dan aplikatif,” kata Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia Unifah Rosyidi.
Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia Satriwan Salim menambahkan, perlu ada format panduan untuk untuk melaksanakan kurikulum. "Panduan penyelenggaraan pembelajaran belum menyentuh materi (pembelajaran),” ucapnya.
Demikian pula, Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia M Ramli Rahim menyayangkan tidak adanya agenda khusus bagaimana menyiapkan guru agar mampu menyelenggarakan PJJ secara menyenangkan dan berkualitas.