Hentikan ”Kawin Tangkap” yang Merendahkan Martabat Perempuan
Tradisi Yappa Maradda atau ”Kawin Tangkap” masih terjadi di Sumba, Nusa Tenggara Timur. Perempuan muda diculik untuk dijadikan istri.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
Tangisan pilu terdengar dari seorang perempuan muda saat tubuhnya diangkat dengan paksa dan dibawa oleh lima laki-laki yang bertelanjang dada. Dia terus meronta dan menangis. Namun, usahanya sia-sia. Tangan-tangan para lelaki tersebut dengan kasar terus mencengkeram erat seluruh bagian tubuhnya mulai dari kaki, tangan, badan, hingga kepala.
Di tengah ratap tangisnya, sang perempuan muda tersebut dibawa ke sebuah rumah yang terbuat dari papan dan bambu. Saat akan masuk dalam rumah, seorang perempuan lain terlihat membawa baskom berisi air dan memercikkan air ke wajah sang perempuan.
Kekerasan yang merendahkan harkat dan martabat perempuan tersebut terjadi di sebuah desa di Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur, pekan lalu, Selasa (16/6/2020). Aksi itu direkam dalam video berdurasi sekitar 30 detik yang kemudian diunggah ke media sosial. Masyarakat setempat menyebutnya sebagai ”kawin tangkap” yang dianggap bagian dari adat yang sudah hidup di masyarakat sejak zaman dahulu.
Unggahan video tersebut, dalam sekejap mengundang reaksi dan kemarahan publik, terutama kalangan gereja dan organisasi perempuan dan organisasi pembela hak asasi manusia. Perbuatan yang sangat merendahkan harkat dan martabat perempuan tersebut sangat dikecam. Negara diminta turun tangan menghentikan perbuatan yang mengatasnamakan kearifan lokal tersebut.
Sesaat setelah mendengar kabar tersebut, Badan Pengurus Daerah, Persekutuan Perempuan Berpendidikan Theologi di Indonesia (Peruati) Sumba, bersama Women Crisis Center Pandulangu Angu GKS dan Komisi Perempuan Sinode GKS langsung menurunkan tim ke lapangan.
Dari informasi yang dikumpulkan, akhirnya diketahui sang perempuan dalam video tersebut adalah R (21), warga Desa Dameka, Kecamatan Katikutana Selatan, Anakalang, Sumba Tengah. Pada Selasa sekitar pukul 10.00 Wita, R dibawa paksa dan disekap ke rumah orangtua N (28) yang akan menikahinya. Semua perbuatan tersebut tanpa persetujuan R dan keluarganya.
Anak ketiga dari lima bersaudara tersebut ditangkap oleh sekelompok laki-laki saat berada di rumah pamannya. Tubuhnya diangkat dan diusung beramai-ramai oleh para laki-laki menuju ke rumah orangtua N yang jaraknya sekitar 1 kilometer dari tempat kejadian.
R adalah anak dari keluarga petani, sementara N adalah anak pertama dari 6 bersaudara dari keluarga dari ekonomi menengah yang memiliki sejumlah hewan. R selama ini bekerja di Bali. Dia pulang ke Sumba untuk mengambil ijazahnya karena ingin melanjutkan studi sambil bekerja.
Perbuatan tersebut tidak bisa lagi ditoleransi. Ini kejahatan kemanusiaan, pelanggaran HAM, dan teror yang menakutkan bagi perempuan-perempuan di Sumba.
”Perbuatan tersebut tidak bisa lagi ditoleransi. Ini kejahatan kemanusiaan, pelanggaran HAM, dan teror yang menakutkan bagi perempuan-perempuan di Sumba. Suara dan pengalaman perempuan diabaikan, perempuan tidak memiliki kuasa atas tubuhnya. Ini jahat sekali,” ujar Pendeta Herlina Ratu Kenya, Sekretaris BPD Peruati Sumba, dengan suara terbata-bata dalam percakapan telepon dengan Kompas, Minggu (21/6/2020).
Pascaperistiwa tersebut, menurut Herlina, pihak Peruati langsung mendatangi keluarga korban dan pelaku. Namun, informasi yang diperoleh justru mengejutkan. Beberapa hari setelah R ditangkap, keluarga pelaku membawa seekor kerbau, seekor kuda, dan sebilah parang ke rumah orangtua R sebagai mahar untuk pernikahan R dan N. Keluarga R menerima pemberian keluarga pelaku dan mereka sepakat menggelar perkawinan adat pada Juli mendatang.
Herlina menilai ada kejanggalan dalam kasus tersebut. R, yang sejak ditangkap berusaha melarikan diri, diduga mengalami intimidasi dan dipaksa supaya mau menerima perkawinan tersebut meskipun dia tidak mencintai N. ”Korban semacam diindoktrinasi oleh mama-mama pihak laki-laki bahwa jika dia keluar dari rumah N, nanti enggak ada yang mau dengannya, R enggak akan punya anak, dan hidupnya akan sial,” katanya.
Negara harus hadir
Sebelumnya, akhir pekan lalu, Jumat (19/6/2020) malam, Herlina juga berbicara dalam diskusi daring Antara Tradisi dan Perlindungan HAM Perempuan: Menyoal Praktik Kawin Tangkap di Sumba dengan Perspektif HAM yang digelar Peruati Jabodetabek. Dalam diskusi tersebut, semua peserta diskusi mengecam praktik kawin tangkap di Sumba. Negara harus hadir, pemerintah harus turun tangan menyelamatkan perempuan-perempuan korban kawin tangkap, menghentikan praktik-praktik kawin tangkap di Sumba.
Diskusi yang dipandu Sylvana Apituley (Peruati Jabodetabek, yang juga Tenaga Ahli Utama di Kantor Staf Kepresidenan) juga menampilkan pembicara Yustina Rostiawati (dosen Universitas Indonesia dan Ketua Presidium Wanita Katolik Republik Indonesia), dan Yuniyanti Chuzaifah (mantan Ketua Komnas Perempuan).
Yustina, yang juga mantan Komisioner Komnas Perempuan, pernah melakukan kajian tentang kekerasan perempuan berbasis budaya di Indonesia (2010-2011). Hasil kajian menemukan, perempuan mengalami kekerasan di seluruh perjalanan hidupnya, terkait praktik adat dalam perkawinan, yang umumnya menggunakan cara paksa, tidak berpihak pada perempuan, dan terjadi pelanggaran HAM.
”Untuk memasuki proses perkawinan, perempuan sama sekali tidak dilibatkan. Ini bisa ditemui hampir di seluruh Indonesia. Perempuan tidak dianggap. Bahkan, tahap lamaran, anak perempuan direndahkan oleh orangtuanya ketika menerima lamaran, tidak ada harga, tidak diajak diskusi, dan lain-lain,” katanya.
Adapun Yuniyanti menilai kawin tangkap serupa kawin paksa. Sebab, dalam definisi kawin paksa adalah perkawinan yang salah satu atau kedua pihak secara personal tidak bisa mengekspresikan persetujuan secara utuh dan bebas untuk mengikatkan diri dalam perkawinan. Kawin tangkap juga melanggar hak dasar dalam perkawinan karena perempuan tidak punya otoritas dalam menentukan nasib sendiri untuk berkeluarga atau tidak termasuk dengan siapa.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati menyatakan prihatin karena masih ada praktik kawin tangkap yang masih terjadi di Sumba. Saat ini, Kementerian PPPA sudah menurunkan tim ke lapangan untuk mengetahui situasi yang dihadapi korban.
Ketua DPRD Sumba Tengah Umbu Tagela membenarkan adanya peristiwa kawin tangkap pada 16 Juni lalu. Dia menegaskan, menangkap perempuan untuk diperistri bukanlah budaya kawin adat. ”Karena itulah, kami sudah selalu mengangkat hal ini hampir setiap momen pertemuan,” katanya.
Peristiwa 16 Juni lalu seharusnya menjadi pelajaran masyarakat dan pemerintah di Sumba. Apa pun alasannya, atas nama adat atau tradisi praktik kawin tangkap tidak bisa dibenarkan jika cara-caranya melanggar HAM dan merendahkan martabat manusia, yakni martabat perempuan. Maka, mari hentikan dan jangan ada lagi perempuan yang menjadi korban.