Tren Bersepeda, Hilangnya Jalur Lambat, dan Bus BTS
Jalur lambat di beberapa kota di Indonesia yang sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk bersepeda justru perlahan-lahan mulai hilang.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·4 menit baca
Di masa pandemi Covid-19, pemakaian kendaraan pribadi cenderung meningkat. Sepeda menjadi salah satu pilihannya. Pemerintah pun harus cepat mengakomodasi tren warga bertransportasi dengan sepeda tersebut.
Akademisi Program Studi Teknik Sipil Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, dan Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia, Pusat Djoko Setijowarno, pandemi turut menggeliatkan penggunaan sepeda sebagai alat transportasi. Ini bisa membuat industri sepeda meningkat.
”Pemerintah daerah perlu memanfaatkan peluang ini dengan membangun jalur sepeda yang disertai fasilitas parkir dan jalurnya. Sediakan juga layanan bus umum yang dapat membawa sepeda,” ujarnya ketika dihubungi dari Jakarta, Senin (22/6/2020).
Pemerintah daerah perlu memanfaatkan peluang ini dengan membangun jalur sepeda yang disertai fasilitas parkir dan jalurnya. Sediakan juga layanan bus umum yang dapat membawa sepeda.
Selama ini Presiden Joko Widodo kerap membagi-bagikan sepeda ketika berkunjung ke daerah-daerah. Hal itu berkaitan dengan membudayakan bersepeda.
Djoko berharap agar setiap kota di Indonesia pun diminta membangun jalur sepeda. Perjalanan jarak pendek harus mengistimewakan pejalan kaki, pengguna sepeda, dan transportasi umum.
Orang di luar negeri pun saat ini banyak yang gemar bersepeda. ”Namun, di sana, jalur sepedanya ditambah dengan cara menghilangkan parkir di tepi jalan,” kata Djoko.
Jalur lambat
Menurut Djoko, hal itu berbeda dengan Indonesia. Jalur lambat di beberapa kota di Indonesia yang sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk bersepeda justru perlahan-lahan mulai hilang.
Dulu, beberapa kota di Indonesia sudah memiliki jalur lambat bagi becak dan sepeda. Waktu itu sudah ada pemikiran, jumlah becak dan sepeda cukup banyak sehingga jalurnya harus terpisah dengan kendaraan bermotor.
”Di Semarang, misalnya, jalur lambat itu pernah ada. Sekarang sudah banyak yang hilang untuk pelebaran jalan bagi kendaraan bermotor. Hanya tersisa sepanjang 3 kilometer di Jalan MT Haryono,” katanya.
Sementara di Kota Solo, Jawa Tengah, kata Djoko, juga memiliki jaringan jalur lambat yang cukup lebar dan masih bertahan hingga sekarang. Ketika Joko Widodo menjadi Wali Kota Solo, satu sisi jalan Slamet Riyadi sepanjang 6 kilometer diubah menjadi kawasan pejalan kaki yang cukup lebar.
Hingga kini, jalan itu masih tetap untuk kendaraan tidak bermotor. Bahkan, sekarang diperpanjang lagi oleh Wali Kota Solo FX Hadi Rudyatmo.
Djoko menegaskan, ini membuktikan kalau Kota Solo dapat menata kembali jalur lambat kembali ke fungsi semula, yakni jalur bagi pesepeda dan pejalan kaki. Pemerintah Kota Solo bahkan melarang kendaraan bermotor parkir di sepanjang jalan itu.
Ini membuktikan kalau Kota Solo dapat menata kembali jalur lambat kembali ke fungsi semula, yakni jalur bagi pesepeda dan pejalan kaki.
Selain itu, Pemerintah Kota Solo akan meluncurkan program layanan transportasi umum Batik Solo Trans berskema pembelian layanan (buy the service/BTS) pada 4 Juli 2020. Keberadaan jalur lambat bagi pesepeda akan sangat mendukung perjalanan jarak pendek.
Layanan transportasi umum berskema BTS akan didukung dengan teknologi internet of things (IoT) untuk memonitor perilaku pengemudi dan awak kabin, serta penghitungan penumpang secara otomatis. Layanan itu dilengkapi pula dengan aplikasi untuk menyampaikan informasi posisi bus secara realtime kepada masyarakat. Pembayarannya akan memggunakan transaksi nontunai, uang elektronik.
Kementerian Perhubungan menjadikan lima kota sebagai percontohan program tersebut. Kelima kota itu adalah Medan dengan 8 koridor layanan, Palembang (9 koridor), Yogyakarta (3 koridor), Surakarta (5 koridor), dan Denpasar (5 koridor).
Antisipasi perubahan
Pekan lalu, Guru Besar Teknik Sipil dan Dekan Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Siti Malkhamah mengatakan, beberapa perubahan yang mungkin terjadi perlu diantisipasi di sektor transportasi menuju normal baru, misalnya kemacetan lalu lintas karena semakin banyak orang menggunakan kendaraan pribadi.
Selain itu, juga peningkatan penggunaan sepeda. Kecelakaan lalu lintas pun perlu diantisipasi.
”Oleh karena itu, pemerintah perlu merancang prasarana dan sarana yang memenuhi persyaratan keselamatan dan kesehatan berbasis riset dan kerja sama antarpihak terkait,” katanya.
Menurut Siti, beberapa hal yang perlu penyiapan dan pengawalan untuk keselamatan dan kesehatan antara lain manajemen dan protokol angkutan umum, seperti bus, kereta rel listrik, dan taksi (konvensional dan daring). Selain itu, juga manajemen protokol untuk pengguna sepeda, termasuk jalur dan parkir sepeda.
Sementara itu, Direktur Transportasi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasioanl/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Ikhwan Hakim mengatakan, pandemi Covid-19 memberi pelajaran dalam keselamatan di jalan. Pergerakan transportasi umum berkurang ketika terjadi penurunan aktivitas.
”Selain itu, ada juga potensi mobilisasi warga menggunakan kendaraan bermotor pribadi. Ada juga peluang untuk mendorong penggunaan kendaraan tidak bermotor, seperti sepeda,” katanya.