Dari Wawancara Transmigran di Pelosok hingga Presiden di Gedung Putih
Hari Minggu ini, 28 Juni 2020, harian ”Kompas” genap berusia 55 tahun. Selama 55 tahun, sudah tak terhitung jumlah wawancara yang dilakukan. Sudah tak terhitung pula berapa narasumber yang ditemui.
Hari Minggu ini, 28 Juni 2020, harian Kompas genap berusia 55 tahun. Perjalanan Kompas diawali pada 1965 oleh PK Ojong dan Jakob Oetama.
Sudah menjadi bagian dalam kerjanya, wartawan menggali fakta, melakukan konfirmasi, dengan menemui narasumber dan mewawancarainya. Tak terkecuali pula wartawan dan wartawati Kompas.
Selama 55 tahun, sudah tak terhitung jumlah wawancara yang dilakukan. Sudah tak terhitung pula berapa narasumber yang ditemui.
Narasumber Kompas sangat beragam, mulai dari orang biasa dari pelosok desa hingga tokoh dunia berpengaruh, yang keputusan-keputusan dan kata-katanya bisa mengubah arah dunia. Ada berbagai macam profesi, mulai dari petani, pedagang, pengusaha, politisi, sampai pejabat dari ketua RT hingga presiden. Baik orang miskin maupun orang kaya.
Tidak semua wawancara terdokumentasi dengan kamera karena berbagai sebab. Ada karena narasumber tidak bersedia difoto, alasan keamanan, karena sang wartawan yang tidak mau, karena tidak ada kamera untuk merekamnya, atau tidak ada orang lain yang mengambil foto. Terlebih, hingga beberapa tahun lalu, belum dikenal istilah selfie (swafoto).
Wawancara pun bisa dilakukan di berbagai tempat, seperti pekarangan rumah, hutan, atau di dalam gedung kantor mewah, dengan berbagai gaya mulai dari lesehan di tanah hingga duduk di kursi empuk.
Foto di awal tulisan ini memperlihatkan wartawan Kompas, Maruli Tobing, tengah mewawancarai transmigran di Riau pada tahun 1987. Dengan jongkok di tanah di depan sebuah rumah kayu, ia mewawancarai transmigran yang ditemani anak-anak kecil. Hasil wawancara tersebut dimuat di harian Kompas.
Dalam tulisan tentang kisah transmigran di Riau dengan judul ”Masyarakat Baru Itu Masih Jauh”, Maruli dan Zaili Asril menulis tentang kondisi transmigran waktu itu. Membangun masyarakat baru. Itulah tujuan besar transmigrasi. Suatu konsep yang sarat dengan cita-cita masa depan gemilang ini pastilah menuntut upaya ekstra keras dan pengorbanan yang tidak kecil. Akan tetapi, masyarakat transmigran di Kuala Cinaku, Kabupaten Indagiri Hulu, Riau, beberapa tahun lalu telah membuktikan bahwa seluruh upaya dan pengorbanan itu belum tentu bisa mewujudkan masyarakat baru.
Foto ini adalah saat wartawan Kompas, Markus Duan Allo, mewawancarai seorang warga, yakni pengurus masjid di daerah Kamal, Jakarta Utara, pada 1981. Sambil lesehan di lantai masjid, ia menyorongkan alat perekamnya. Mewawancarai masyarakat biasa menjadi tugas sehari-hari wartawan, misalnya yang bertugas di desk yang terkait dengan kehidupan perkotaan.
Wawancara dengan ilmuwan, novelis, dan tokoh juga tak luput dilakukan.
Foto di atas memperlihatkan wawancara wartawan Kompas, St Sularto, dengan antropolog terkenal Amerika Serikat, Prof Dr Clifford Geertz. Hasil wawancara ini dimuat di halaman satu Kompas edisi 7 April 1984 dengan judul ”Bertemu Ahli Jiwa, Clifford Geertz: Penampilan Positif Orang Jawa Tetap Tidak Berubah”.
Penampilan orang Jawa tetap tidak berubah. Sikap-sikap positif yang menonjol, seperti sungkan (enggan), roso (tahu diri), dan sopan santun, tetap tampak menonjol. Demikian pendapat antropolog Clifford Geertz dalam wawancara dengan Kompas di Jakarta.
Baca juga : 55 Tahun ”Kompas” Jadi Kawan dalam Perubahan
Membandingkan dengan penelitian yang dilakukannya sekitar tahun 1960, Geertz berkata, setiap kali bertemu dengan orang Jawa, sikap-sikap positif itu selalu tampak. Ia belum tahu apakah kesan itu benar. Sebab, mungkin saja setelah satu tahun penelitian ternyata ditemukan perubahan. Demikian kutipan sebagian artikel wawancara ini.
”Lebih Jauh dengan: Dr Onghokham”. Itu adalah judul tulisan hasil wawancara Kompas dengan Dr Onghokham.
Mau bicara apa lagi tentang Dr Onghokham? Hampir semua orang terpelajar kenal dia, paling tidak pernah dengar namanya. Ciri khasnya: kacamata tebal, ke mana pun pergi naik bus kota, rambut kepala hampir punah sehingga kulitnya selalu berkeringat, kalau tertawa terkekeh-kekeh berkepanjangan.
Di rumahnya, Kompleks Diskum AD Kebon Nanas, Jakarta Timur, yang berkesan ”setengah rampung” ada dua anjing, yang paling menarik si kecil manja bernama Tuyul. Sepanjang ada tamu, Tuyul selalu menggonggong, bukan karena sadar akan tugasnya, namun karena takut terinjak. Rumahnya serba terbuka: angin, burung, kelelawar, bahkan maling (semoga tidak terjadi) bebas keluar-masuk. Sejak berdiri hampir 18 tahun lalu, rumah gaya tropis desain arsitek anak Prof Selo Soemardjan itu belum pernah direnovasi, termasuk eternit kulit bambu yang mulai terkoyak-koyak. Itulah petikan dari tulisan wawancara ini.
Hasil wawancara ini terbit dengan judul ”Lebih Jauh dengan: Pramoedya Ananta Toer” di halaman dua Kompas edisi 4 April 1999.
Pramoedya Ananta Toer, pengarang kelahiran Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925, hari Senin (5/4) ini terjadwal berangkat ke Amerika Serikat untuk kunjungan ke berbagai tempat, termasuk Kanada, selama sekitar dua bulan. Ada acara penting Pramoedya selama di AS, antara lain ia akan menerima penghargaan dari Universitas Michigan bersama tiga penerima penghargaan lain, yakni Kofi Annan (Sekjen PBB), Aharon Barak (Jaksa Agung Pengadilan Tinggi Israel), dan Shirley M Malcom (Direktur Pendidikan dan Sumber daya Manusia di Asosiasi Amerika untuk Pengembangan Ilmu). Pram juga akan memberikan ceramah di sejumlah universitas, mengiringi terbitnya buku The Mute\'s Soliloquy (penerbit Hyperion East, New York), yang merupakan terjemahan bukunya, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu.
”Saya tidak menyiapkan apa-apa, ya kalau ditanya menjawab. Seperti gong, kalau dipukul berbunyi,” kata ayah dari delapan anak dan kakek dari 15 cucu ini ketika ditanya mengenai persiapannya ke AS.
Pengarang yang telah menghasilkan belasan buku baik kumpulan cerpen maupun novel ini kenyang dengan berbagai pengalaman berupa perampasan hak dan kebebasan. Di zaman revolusi kemerdekaan, ia dipenjara di Bukit Duri, Jakarta (1947-1949), dijebloskan lagi ke penjara di zaman pemerintahan Soekarno karena buku Hoakiau di Indonesia, dan dibuang ke Pulau Buru setelah peristiwa G30S. Pada peristiwa terakhir itu, ia kehilangan sebagian pendengarannya karena kepalanya dihajar popor bedil. Ia dilepas dari Pulau Buru tahun 1979 meski itu bukan berarti ”bebas”. Hak-hak sipilnya terus dibrangus dan banyak bukunya dilarang beredar, terutama di era Soeharto. Demikian beberapa paragraf artikel wawancara ini.
Wawancara dengan Ibu Negara Sinta Nuriyah Wahid ini terbit dengan judul ”Lebih Jauh dengan: Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid” di halaman dua Kompas edisi 7 November 1999.
Tak ada yang berubah dari sikapnya, baik sewaktu menjadi demonstran yang mengacungkan poster di Bundaran HI maupun kini sebagai Ibu Negara yang menyambut tamu-tamunya melalui protokoler resmi. Ia tetap ramah, lembut dalam bertutur kata, dan mengukuhi pandangan-pandangannya yang kritis selama ini.
Ny Sinta Nuriyah Wahid (51) yang lahir di Jombang, 8 Maret 1948, memandang posisi sebagai istri orang nomor satu di Indonesia bukanlah sebagai ”rezeki nomplok”. Ia justru melihat posisi tersebut akan memacunya lebih keras memperjuangkan apa yang selalu disuarakan dalam berbagai demonstrasi, yaitu menolak kekerasan terhadap perempuan. Itulah beberapa paragraf dari artikel tentang Ny Sinta Nuriyah Wahid.
Olahraga menjadi salah satu perhatian Kompas sehingga tak heran jika banyak tokoh, pelatih, ataupun atlet menjadi narasumber. Berikut ini sebagian kecil wawancara Kompas dengan olahragawan yang terdokumentasi.
Dalam wawancara dengan pelatih timnas Indonesia, Sumohadi Marsis menggali berbagai masalah yang dihadapi oleh pelatih asal Belanda itu dalam menyusun tim ”Merah Putih”. Tulisan wawancara yang dimuat pada Senin, 8 Desember 1975, berjudul ”Belum Ada Calon untuk Team Manager PSSI”, Coerver, di antaranya, menjawab bahwa masalah yang dihadapi adalah pertahanan.
Rata-rata pemain masih belum mantap dalam teknik menempel lawan. Beberapa pemain, seperti Oyong Liza, Suhatman, Henky Heipon, Sutan Harhara, dan Johanes Auri, memang cukup baik, tetapi dalam hal man marking, mereka belum meyakinkan. Pemain yang saya harapkan untuk itu adalah Eddy Subenan, sayang ia cedera. Kalau sembuh nanti saya mau memberinya hadiah 10.000 gulden (sekitar Rp 1,5 juta). Ia benar-benar bagus. Seperti gaya main Paul Breitner. Demikian penjelasan Coerver kepada Sumohadi Marsis.
Wawancara Brigita Isworo Laksmi dimuat di halaman satu harian Kompas edisi 5 Mei 1996 dengan judul ”Dennis: Saya Ingin Menjadi Idola”.
Pelari jarak pendek AS, Dennis Mitchell, membuktikan dirinya sebagai salah satu pelari terbaik di lintasan 100 meter. Dia berhasil mengungguli rekan yuniornya, Vincent Henderson, dengan mencatat 10,22 detik pada lomba atletik Bob Hasan Invitational Meet, Sabtu (4/5), di Stadion Madya, Senayan, Jakarta.
Walau hasil ini lebih lambat dari yang diharapkan, Dennis menyimpan tekad untuk memecahkan rekor dunia menjadi 9,83 detik, rekor Ben Johnson yang dibatalkan setelah ketahuan dia kena doping. Rekor dunia nomor 100 meter putra saat ini dipegang pelari AS, Leroy Burrel, dengan catatan waktu 9,85 detik.
Kapan rekor itu akan bisa dipecahkan? ”Saya berharap itu terjadi pada saat kualifikasi Olimpiade bulan depan. Saya pikir waktunya cukup karena sekarang saya bekerja keras mengarah ke sana,” ujarnya sambil melangkah keluar Stadion Madya.
Wawancara Yesayas Octavianus dengan Ronaldo yang waktu itu masih memperkuat Manchester United dilakukan di Hotel Ritz-Carlton, Jakarta. Hasil wawancara itu terbit di halaman satu Kompas edisi 13 Juni 2005 dengan judul ”Di Sini Kudapati Senyum Kebahagiaan”.
”Sambutan bagi saya sangat luar biasa. Dan, di sini, saya mendapat kebahagiaan itu. Masyarakat di sini sangat murah senyum dan itu membuat saya amat bahagia,” kata Ronaldo kepada Kompas dalam wawancara khusus itu.
Ronaldo lebih menonjolkan sosok remaja ABG yang sangat polos. Gambaran sebagai salah satu calon bintang besar sepak bola di masa mendatang praktis tidak terlalu menonjol.
Sesekali ditimpali senyum lepas, Ronaldo berusaha menjawab setiap pertanyaan dalam bahasa Portugis yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah Magdalena dari Kedutaan Besar Portugal di Jakarta.
Ketika Kompas menyerahkan karikatur dirinya sebagai cendera mata, Ronaldo sempat terpana, lalu memujinya. ”Ini karikatur terbaik yang pernah saya terima. Di sini, senyum saya lebih ditonjolkan, dan saya sangat menyukainya. Sekali lagi terima kasih..., terima kasih,” ucapnya.
Banyak pula wawancara Kompas dengan pejabat ataupun politisi, baik gubernur, menteri hingga presiden, maupun calon presiden. Berikut ini adalah sebagian kecil wawancara wartawan dan wartawati Kompas dengan pejabat dan politisi yang terdokumentasi.
Salah satu artikel setelah wawancara itu terbit pada 29 Juni 1977 di harian Kompas berjudul ”Bang Ali dan Olahraga: Saya Berhasil Men-Jakarta-kan Atlit Jakarta”. Tulisan ini menguak visi olahraga Bang Ali.
Prestasi Ali Sadikin sebagai kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya sudah banyak dibicarakan. Tentu tergantung dari sudut mana melihatnya. Olahraga sebagai salah satu dari berbagai bidang yang mendapat ”perlakuan” Ali Sadikin belum banyak diketengahkan. Baik tentang apa yang sudah dilakukannya maupun tentang apa yang terkandung di dalam kalbunya.
Wawancara ini turun dengan judul ”Lebih Jauh dengan: Megawati Soekarnoputri”. Pengantar tulisan ini: ”Ternyata tidak mudah menjadi ketua umum yang dipilih dari bawah”. Kata-kata bersayap itu diucapkan Dyah Permata Megawati Metyawati Soekarnoputri akhir 1993 begitu dirinya terpilih menjadi Ketua Umum DPP PDI 1993-1998 lewat sebuah perjalanan melelahkan. Walaupun sudah memperoleh suara terbanyak dalam Kongres Luar Biasa PDI di Surabaya, perempuan kelahiran Yogyakarta, 23 Januari 1947, itu baru dikukuhkan secara formal dalam Musyawarah Nasional PDI di Jakarta yang bertele-tele, juga penuh onak dan duri.
Megawati kemudian menjadi Presiden RI menggantikan Presiden Abdurrahman Wahid pada 2001. Saat putri Presiden Soekarno ini menjabat Presiden, Kompas kembali berkesempatan mewawancarai Megawati, di antaranya oleh Budiarto Shambazy.
Wawancara khusus dalam rangka satu tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo termuat di halaman satu Kompas edisi 20 Oktober 2015 dengan judul ”Presiden Joko Widodo: Inilah yang Harus Dilakukan”. Terbit dengan format tanya jawab, Joko Widodo menjawab pertanyaan ”Selama satu tahun ini, apa yang sudah dicapai, dan apa yang belum?”. Yang belum tercapai banyak karena baru setahun bekerja. Paling tidak, tahun pertama, kami mulai membangun fundamental ekonomi yang beda. Jika dahulu perekonomian kita terlalu bertumpu pada konsumsi, sekarang saya ingin membalikkan orientasi ekonomi nasional ke produksi dan investasi.
Memang sulit dan berat, banyak pahitnya mungkin, tetapi saya yakini inilah yang harus dilakukan. Saat ini, kita fokus pada pembangunan infrastruktur, seperti jalan trans-Sumatera, pelabuhan, dan kereta api. Bulan depan, kita mulai membangun kereta di Sulawesi. Tahun depan, di semester kedua, kita mulai di Papua. Dengan kesiapan infrastruktur, distribusi logistik dan mobilitas orang jadi lebih murah. Akhirnya harga barang kebutuhan juga lebih murah.
Apakah fundamen ekonomi nasional tahun pertama ini sudah terbangun cukup kuat?
Ini tahapan awal, mau tidak mau, jika ingin mengubah orientasi dari konsumsi ke produksi, dari konsumsi ke investasi, tahapan ini yang dilalui. Kami sampaikan ke masyarakat, kalau mau mengubah sesuatu, hal pahit harus dirasakan di awal. Kami yakin ini untuk perbaikan ke depan.
Harian Kompas juga banyak mewawancarai tokoh dunia berpengaruh, yang perkataan dan pernyataannya bisa mengubah arah atau nasib dunia.
”Tak Ada Soal dalam Penyelesaian HAM di RI”, demikian judul berita di halaman satu Kompas edisi 24 April 1995. Tulisan itu merupakan hasil wawancara wartawan Kompas, Budiarto Shambazy dan Rien Kuntari, dengan Sekretaris Jenderal PBB Boutros Boutros-Ghali, Minggu, 23 April 1995.
”Tidak ada soal dalam penyelesaian masalah hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Anda mempunyai Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang independen. Saya percaya Indonesia melaksanakannya dengan baik sekali. Indonesia merupakan contoh (keberhasilan) dalam pembangunan ekonomi. Ini sangat penting. Dapat menjadi unsur penting yang bisa mengembangkan demokratisasi hak asasi manusia," kata Boutros Boutros-Ghali dalam wawancara khusus yang berlangsung di Wisma Negara, tempatnya menginap.
”Anda mempunyai masalah yang tidak Anda tanyakan, yakni masalah Timor Timur,” sambung Boutros Boutros-Ghali, seraya meneruskan, ”Dua kali dalam setahun, saya menyelenggarakan perundingan bagi kawan saya yang Menlu RI Ali Alatas dengan Menlu Portugal. Pertemuan mendatang akan berlangsung di Geneva, bulan Juli. Perundingan itu tentu makan waktu.”
Hasil wawancara dengan Presiden Kolombia dimuat di halaman satu harian Kompas edisi Kamis, 3 Agustus 1995, dengan judul ”Kartel Kokain Harus Dilawan”. Ernesto Samper Pizano mengatakan, keberhasilan jangka panjang kampanye melawan kartel narkotika tergantung pula pada dukungan masyarakat internasional. Ia menekankan, kerja sama komunitas internasional sangat diperlukan untuk menekan negara-negara konsumen agar menghentikan penyalahgunaan obat terlarang dan mengakhiri perdagangan bahan kimia untuk pemrosesan kokain.
Sebagai persoalan global, kampanye pemberantasan narkotika perlu dilakukan secara terpadu. Tidak hanya pusat kartel harus dihancurkan, tetapi diperlukan pula tindakan penertiban terhadap pengedar dan penyalahgunaan obat terlarang. Selama ada permintaan, kartel narkotika akan tetap tertarik mengembangkan bisnis yang menggiurkan itu.
Dalam wawancara khusus itu, Presiden Samper menjawab berbagai persoalan menyangkut masalah kartel narkotika, gangguan gerilyawan, kebijaksanaan keterbukaan ekonomi (apertura economica) dan persiapan KTT Gerakan Nonblok di Cartagena, Kolombia. Wawancara dengan Presiden Samper dimungkinkan atas bantuan mantan Wapres Kolombia Louis Fernando Jarramillo yang kini menjadi Ketua Partai Liberal yang berkuasa.
Foto di atas memperlihatkan wartawati Kompas, Threes Nio, saat mewawancarai Presiden AS Ronald Reagan pada 24 April 1986. Reagan adalah presiden dari Partai Republik yang menjabat pada periode 1981-1989.
Hasil wawancara ini dimuat di harian Kompas pada edisi 28 April 1986 halaman 1 dengan judul ”Wawancara Presiden Reagan dengan Pers ASEAN: Bangsa Asia adalah Majikan dari Nasibnya Sendiri”.
Reagan, demikian Threes Nio menuliskan, menegaskan, AS tidak akan mencampuri urusan dalam negeri negara-negara Asia. Dalam wawancaranya yang pertama dengan pers dari negara-negara ASEAN, Reagan mengatakan bahwa bangsa-bangsa Asia adalah ”majikan diri nasibnya sendiri”. Mereka harus mencari penyelesaian sendiri untuk masalah-masalah yang dihadapi sesuai dengan keadaan, yang kerap kali unik, dari negara masing-masing.
”Akan tetapi, Presiden Reagan juga menegaskan, AS akan mendukung proses demokrasi yang didukung oleh rakyat, seperti yang terjadi di Filipina,” demikian tulis Threes Nio.
Foto-foto di atas hanyalah sebagian kecil dari wawancara yang dilakukan wartawan dan wartawati Kompas dari banyak generasi selama 55 tahun sejak pertama kali terbit pada 28 Juni 1965. Rahayu...!