Baskoro, Penjaga Pusaka Kota Tua Lasem
Jika Anda jalan-jalan ke Lasem, Anda mungkin akan bertemu Baskoro alias Mas Pop. Dia yang rajin menemani pelancong dan dengan antusias menjelaskan semua kekayaan kota tua berjuluk ”Tiongkok Keci” itu.
Siapa yang pernah berkunjung ke Lasem di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, mungkin pernah bersua dengan Baskoro BD (44). Penulis dan aktivis gerakan pelestari pusaka yang biasa disapa Mas Pop ini sering membawa tamu menyusuri lorong-lorong bersejarah di kota lama Lasem untuk memperkenalkan semua kekayaan Lasem.
Lasem dikenal sebagai ”Tiongkok Kecil” karena merupakan kota awal kedatangan orang-orang Tionghoa di Pulau Jawa. Kota yang berada di pesisir pantai Laut Jawa ini juga dikenal sebagai kota santri, kota batik penghasil batik tertua di Indonesia, dan juga kota pusaka.
Kota yang dikelilingi bangunan-bangunan tua gaya pecinan ini dulu terasa sunyi dan jauh dari ingar bingar keramaian kota. Sekitar satu dekade lalu, kota ini ditinggalkan oleh banyak anak mudanya yang mencari kehidupan di kota lain.
Ketika banyak orang muda meninggalkan Lasem, Mas Pop justru pulang kampung. Ia tertarik ingin menyingkap misteri di balik bangunan dan ornamen-ornamen tua yang tersebar di sana. Rasa penasaran yang semakin dipupuk itu menumbuhkan rasa cinta dan menggerakkan Baskoro untuk terlibat aktif dalam gerakan pelestarian pusaka Lasem.
Apabila ditarik ke masa lalu, rasa penasaran Baskoro kepada Lasem tumbuh sejak ia masih duduk di bangku sekolah dasar. ”Ketika itu, aku diajak filatelis Indonesia, A Soesantio, untuk main ke rumahnya yang bergaya peranakan Tionghoa. Aku hanya duduk di teras saja. Tidak masuk ke rumah. Tetapi, saat itu, aku bertanya-tanya, apa ya isi rumah ini?” kata Baskoro.
Baskoro, yang lahir dan besar di Rembang, sempat mencicipi kuliah penyiaran (broadcasting) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Pada 2002, ia kembali ke Rembang dan mengisi hari-harinya dengan membaca buku dan menulis cerpen. Berangkat dari membaca buku pinjaman tetangga, yaitu Sejarah Kawitane Wong Jowo dan Wong Kanung (1996) serta kitab Lasem Badrasanti (1985), Baskoro mengenal pusaka Lasem.
”Ketika membaca cerita sejarah Lasem yang ada di dalam buku Badrasanti, kepala aku seperti mau meledak. Aku jadi penasaran,” kata Baskoro.
Buku-buku itu, menurut dia, cukup rinci membicarakan pusaka Lasem. Melalui studi literatur yang dibaca selama bertahun-tahun, ia memahami sejarah, pusaka alam dan budaya, serta keunikan situs-situs arkeologi dan arsitektur yang ada di Lasem. Studi literatur yang mendalam juga membuatnya memahami, semangat kerukunan dan toleransi yang ada di Lasem merupakan warisan turun-temurun dari leluhur.
”Setelah membaca buku-buku itu, aku jadi sadar bahwa kegiatan pelestarian merupakan kekuatan hidup masyarakat Lasem. Pusaka yang ada di Lasem itu merupakan pusaka kelas dunia. Pada satu titik, kegiatan pelestarian ini harus bisa dimanfaatkan masyarakat dalam berbagai bidang, termasuk kegiatan ekonomi dan kreatif,” katanya.
Pengetahuan literatur ditambah dengan pengalaman masa kecilnya menggerakkan Baskoro untuk terjun pada kegiatan-kegiatan pelestarian budaya. Pada 2011, ia mendirikan komunitas Rembang Heritage Society. Selanjutnya, pada 2012-2018, ia membuat kegiatan edukatif sekaligus rekreatif Jejak Warisan Lasem (Lasem Heritage Trail), yang kini namanya menjadi Discover Lasem. Kegiatan itu berada di bawah Yayasan Lasem Heritage yang juga didirikannya.
Ia mengundang para pencinta perjalanan untuk menyusuri lorong-lorong sempit di Lasem yang diapit bangunan-bangunan bersejarah. Ia mengajak tamu berkenalan dengan penduduk lokal yang terlahir dari berbagai macam etnis budaya dan agama. Baskoro juga menjelaskan perihal sejarah dan makna benda-benda peninggalan leluhur serta mencicipi kuliner.
Kegiatan ini dilakukan tidak hanya untuk memperkenalkan Lasem kepada dunia luar, tetapi juga sebagai langkah pelestarian informasi pusaka Lasem. Melalui kegiatan ini, masyarakat setempat diajak mengingat dan mengenal kembali warisan-warisan pusaka Lasem.
Cerita-cerita kunjungan wisatawan yang tersebar dalam berbagai platform digital mengundang semakin banyak tamu berkunjung ke Lasem. Baskoro selanjutnya mulai kebanjiran pekerjaan sebagai pemandu wisata. Orang-orang yang datang ke Lasem bukan hanya pelancong, melainkan juga peneliti, aktivis pelestari budaya, dan jurnalis dari berbagai media masa yang tertarik dengan potret keberagaman di kota itu.
Kehadiran tamu-tamu ini turut menggerakkan aktivitas pelestarian pusaka di Lasem. Pada 2015, misalnya, berdiri komunitas Kesengsem Lasem yang punya aktivitas dan gerakan untuk menjaga kelestarian warisan benda dan nonbenda di Lasem. Bersama anggotanya yang berasal dari berbagai macam profesi, Baskoro aktif terlibat dalam komunitas ini.
Baskoro menceritakan, semula hanya ada beberapa rumah tua yang bersedia membuka pintu menyambut kedatangan tamu. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak pemilik rumah yang senang untuk bertemu dengan pengunjung dari luar kota. Pemilik rumah mengizinkan Baskoro dan pendatang untuk melihat-lihat ornamen lama.
”Keramahan masyarakat itu muncul natural. Masyarakat senang bertemu orang baru, senang berbagi pengalaman masa lalu kepada para pendatang,” ujarnya. Sejarah panjang Lasem dengan bangunan khas dan industri tersebut menjadi daya tarik utama.
Penjelasan dari Baskoro serta interaksi antara pemilik rumah dan tamu kemudian menciptakan kesadaran terhadap pelestarian pusaka Lasem. Meski kesadaran untuk melestarikan pusaka sudah tumbuh, pengetahuan tentang pusaka masih menyisakan misteri. Contohnya, di salah satu rumah Tionghoa ada lukisan dinding yang usianya puluhan tahun. Selama bertahun-tahun tidak ada yang tahu arti gambar itu.
”Kemudian, ada satu tamu datang yang memberi tahu itu adalah gambar dua ekor bebek peking sebagai lambang kesetiaan. Lukisan dinding itu digunakan sebagai hadiah pernikahan atau bisa juga pemilik rumah membeli lukisan,” ujarnya.
Meskipun pemahaman mengenai detail pusaka belum lengkap, Baskoro bersyukur karena masyarakat kini mempunyai kesadaran pada pelestarian pusaka. Kegiatan pelestarian pusaka selanjutnya memunculkan banyak kegiatan ekonomi dan kreatif, seperti bertumbuhnya hotel dan penginapan serta munculnya kafe yang menonjolkan kekhasan Lasem dan kreativitas produk UMKM, seperti kopi lelet dan batik. Orang muda yang dulu meninggalkan Lasem kini mulai kembali menggerakkan roda perekonomian, seperti meneruskan usaha batik keluarga dan menjual batik tulis melalui platform digital.
Kegiatan pelestarian pusaka, lanjut Baskoro, harus terus dilakukan karena ini menjadi kekuatan masyarakat. Semangat toleransi dan keberagaman yang dahsyat di Lasem, misalnya, merupakan buah kerja pelestarian toleransi yang dilakukan dengan nuansa kekinian, misalnya oleh Pondok Pesantren Al Hidayat dan Pondok Pesantren Kauman melalui program Hikayat Toleransi Lasem.
Menurut Baskoro, pembangunan suatu negara memang sebaiknya dilakukan dengan mengutamakan semangat pelestarian pusaka masyarakat di suatu daerah. Dalam usaha dan kegiatan pelestarian pusaka ini terkandung harta karun untuk membangun masyarakat Indonesia lebih maju dan sejahtera.
Baskoro BD
Lahir: Rembang, 16 September 1976
Pendidikan: D-3 Komunikasi Fisipol UGM
Kegiatan:
- Rembang Heritage Society (Pendiri/co-founder)
- Yayasan Lasem Heritage (Pendiri)
- Kesengsem Lasem (Co-founder)