Tempe kini menjadi makanan asli Indonesia yang mendunia. Tempe tidak hanya ditemukan dalam Serat Centhini yang menggambarkan kondisi masyarakat Jawa pada abad ke-16, kini tempe juga ada di dalam panganan taco Meksiko.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kata ”tape” artinya fermentasi, sedangkan wadah besar tempat produk fermentasi disebut tempayan. Dua istilah itu disebut Indonesianis asal Perancis, almarhum Denys Lombard, sebagai asal muasal kata ”tempe”.
Fermentasi memang menjadi ciri khas utama dari tempe selain bulir-bulir kacang kedelai yang menjadi bahan dasarnya. Bahkan, menurut Guru Besar Bidang Pangan, Gizi, dan Kesehatan Institut Pertanian Bogor (IPB), Made Astawan, proses fermentasi tempe cukup menarik.
Ini karena proses fermentasi dilakukakan secara poly-microbial bioconversion. Fermentasi berjalan dengan bantuan berbagai spesies kapang Rhizopus dan juga sejumlah bakteri serta khamir. Mikroba dan kapang yang beragam ini bekerja bersama menghasilkan produk bernama tempe.
”Ini mengajarkan kita bagaimana para mikroba ini bahu-membahu dalam 40 jam mengubah kedelai yang direbus menjadi tempe. Ini mungkin salah satu contoh dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika,” ujar Made Astawan, yang juga Ketua Forum Tempe Indonesia seminar virtual pada Sabtu (4/7/2020).
Turut hadir Ketua Komisi Ilmu Rekayasa Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Prof Aman Wirakartakusumah, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan pengusaha tempe dari Jepang, Rustono.
Seminar ini bertajuk ”Pelestarian Budaya Tempe dari Tanah Jawa Menuju Pengakuan UNESCO”. Seperti judulnya yang suduh cukup straightforward, ini adalah salah satu bentuk kampanye dalam usaha pengajuan tempe sebagai warisan budaya takbenda dunia.
Made Astawan berpendapat, ada banyak bukti kuat bahwa tempe benar-benar berasal dari Indonesia. Salah satunya adalah penyebutan tempe dan masakan olahan tempe pada Serat Centhini, kumpulan tulisan Raja Pakubuwono V yang menceritakan kondisi masyarakat jawa pada abad ke-16.
”Ada kata-kata seperti brambang jahe santen tempe di jilid ketiga Serat Centhini, kemudian kadhele tempe srundengan di jilid ke-12. Ini bukti otentik bahwa tempe sudah dikenal pada abad ke-16,” ujarnya.
”Dhele” dalam bahasa Jawa Kawi artinya hitam. Ini merujuk pada kacang kedelai hitam yang banyak ditanam di wilayah Kerajaan Mataram Jawa Tengah. Hal ini, kata Made Astawan, menunjukkan bahwa tempe sudah hadir sebelum kedelai kuning dari Manchukuo, China utara, banyak ditanam.
Made Astawan juga menunjukkan bahwa tempe juga menjadi komponen penting dalam proses ritual dan sosial masyarakat Indonesia. Tradisi tumpeng mensyaratkan tujuh lauk, yang termasuk tempe.
Karakteristik bahwa tempe sebagai salah satu elemen budaya Indonesia yang terus diturunkan dan senantiasa dilibatkan dalam praktik ritual kehidupan sehari memang menjadi syarat penting dalam pengakuan dunia.
Warisan kuliner pertama
Pengakuan dunia terhadap warisan budaya hidup ini diformalkan melalui protokol yang diciptakan dari hasil Konvensi UNESCO 2003 tentang pelindungan warisan budaya hidup atau tak benda (convention for the safeguarding of the intangible cultural heritage).
Dalam Artikel Dua konvensi tersebut, warisan budaya tak benda didefinisikan sebagai praktik, ekspresi, pengetahuan, dan skil—beserta obyek dan artefak terkait—yang berhubungan warisan budaya yang turun-temurun dari generasi ke generasi dalam suatu komunitas.
Sejak diratifikasi pada 2007, Indonesia sejauh ini sudah menikmati beberapa pengakuan dunia terhadap warisan budayanya.
UNESCO mengakui keris dan wayang pada 2008. Setahun kemudian, ini diikuti dengan pengakuan terhadap batik. Pada 2010-2012 secara berturut-turut angklung, tari saman, dan noken Papua. Kemudian UNESCO mengakui tari tradisional Bali pada 2015, kapal pinisi Sulawesi Selatan pada 2017, dan pencak silat pada 2019.
”Begitu banyak pengajuan yang sudah kita sampaikan tetapi belum ada satu pun yang produk kuliner. Tempe menjadi yang pertama, ini yang perlu kita perjuangkan,” kata Prof Aman Wirakartakusumah, Ketua Komisi Ilmu Rekayasa Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, dalam seminar tersebut.
Pemerintah Indonesia diharapkan pada tahun ini dapat mengajukan usulan tempe kepada UNESCO pada 2020 ini. Diharapkan pada 2023, UNESCO dapat menerima dan mengakui tempe sebagai salah satu warisan budaya takbenda dunia.
Ini mengajarkan kita bagaimana para mikroba ini bahu-membahu dalam 40 jam mengubah kedelai yang direbus menjadi tempe. Ini mungkin salah satu contoh dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Rustono, asal Grobokan, Jawa Tengah. yang sejak 22 tahun yang lalu menetap dan lalu merintis usaha tempe di Jepang kini telah membangun kerja sama dengan sejumlah pengusaha di berbagai negara lainnya.
Sekali produksi, dari 2 ton kedelai dapat dihasilkan 8.000 bungkus tempe oleh pabrik Rusto’s Tempeh di pinggiran Kyoto, Jepang.
Setelah sukses memperkenalkan tempe di Jepang—hingga masuk sebagai salah satu lauk makan siang di anak sekolah—Rustono juga telah memperkenalkan produknya di berbagai negara lainnya, antara lain China dan Meksiko.
Rustono mengatakan, menjadi impiannya untuk menduniakan tempe dan Indonesia. Untuk itu, ia memastikan bahwa setiap kemasan tempe di negara lain, selalu ada keterangan bahwa tempe berasal dari Indonesia.
“Di Meksiko, kami menuliskan ‘Un regalo de Indonesia para el mundo’. Tempe hadiah Indonesia untuk Indonesia,” kata Rustono. Kini, kata dia, berdasarkan cerita partnernya di Meksiko, sudah ada taco tempe.
Ekonomi
Selain memiliki signifikansi secara budaya, Made Astawan juga berpendapat bahwa tempe telah meningkatkan nilai ekonomi kerakyatan, apabila menilik besarnya usaha mikro, kecil, dan menengah yang terlibat dalam produksi tempe.
Ia mengatakan, ada kurang lebih 160.000 UMKM produsen tempe di Indonesia yang masing-masing mempekerjakan 3–4 orang.
Roda ekonomi yang berputar dalam usaha ini, telah berkontribusi pada nilai tambah industri tempe sebesar Rp 37 triliun per tahun pada 2012. Catatan Kompas pada 2015, nilai ekonomi tempe mencapai Rp 72 triliun.
Namun di sisi lain, memang ada problem mendasar pada ekonomi tempe dan kedelai di Indonesia. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menilai ketergantungan pada kedelai impor menjadi persoalan utama pemenuhan kebutuhan produksi tempe yang mandiri.
Selain itu, perkebunan kedelai secara bisnis memang tidak semenarik padi. Padahal, kedelai, bersama tebu, menjadi tanaman pangan yang produksi lokalnya kurang dari kebutuhan yang ada. “Tempenya buatan kita, tetapi kedelainya impor,” ujar Ganjar.
Pemrov Jawa Tengah menjadi promotor tempe saat diajukan sebagai warisan budaya tak benda Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2017.
Untuk itu, promosi dan pengakuan dunia mungkin dapat menignkatkan kepercayaan diri dari para petani dan pengusaha kedelai. “Arti kata mental tempe yang dulunya memalukan, sekarang bisa berarti (mental) yang lebih bergengsi,” kata Ganjar.