Kebijakan Pelarangan Ekspor Mineral Mentah Terbukti Efektif
Sudah bukan masanya lagi mengekspor mineral mentah tanpa meningkatkan nilai tambahnya di dalam negeri. Industri pengolahan dan pemurnian mineral terbukti efektif bagi ekonomi daerah dan nasional.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pemerintah yang melarang ekspor mineral mentah terbukti efektif berdampak terhadap perekonomian nasional. Mineral mentah wajib diolah dan dimurnikan di dalam negeri lewat pembangunan smelter. Namun, ada kendala pasokan listrik dalam pembangunan smelter yang tumbuh pesat di Indonesia.
Demikian poin yang mengemuka dalam web seminar yang bertajuk ”Perkembangan Teknologi dan Industri Smelter Indonesia”, Sabtu (4/7/2020). Ketua Asosiasi Metalurgi dan Mineral Indonesia Ryad Chairil, Direktur PT Indonesia Weda Bay Industrial Park Scott Ye, dan Direktur Center of Material Processing and Failure Analysis pada Fakultas Teknik Universitas Indonesia Deni Ferdian menjadi narasumber dalam seminar tersebut.
Menurut Ryad, dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 yang merupakan hasil revisi UU Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara diatur kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri. Tujuan utama kebijakan tersebut adalah meningkatkan nilai tambah mineral yang akan menciptakan dampak ganda bagi perekonomian nasional. Kebijakan ini juga dapat menyerap banyak tenaga kerja baru.
”Dari hasil kajian Bank Indonesia, kebijakan hilirisasi mineral telah mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah penghasil mineral. Hal itu dibuktikan dengan tumbuhnya kawasan industri pengolahan nikel di Sulawesi,” ucap Ryad.
Kebijakan hilirisasi mineral telah mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah penghasil mineral.
Ryad mencontohkan, sejak 2016, pertumbuhan industri smelter di Indonesia meningkat signifikan. Sampai tahun 2021 nanti diperkirakan akan ada 58 smelter yang beroperasi di Indonesia. Dari jumlah tersebut, sebagian besar di antaranya merupakan smelter nikel yang mencapai 33 unit.
Sementara itu, Scott menambahkan, potensi industri turunan mineral jenis nikel di Indonesia sangat besar. Hal itu lantaran Indonesia sebagai negara yang cadangan nikelnya terbesar di dunia, yaitu 1 miliar ton. Mineral nikel sangat strategis di masa mendatang sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik.
”Ekspor produk turunan nikel dari Indonesia dalam dua tahun ke depan akan meningkat pesat. Dampaknya adalah butuh penyerapan tenaga kerja baru yang cukup signifikan. Diperkirakan akan ada kebutuhan 200.000 tenaga kerja baru pada industri ini,” ujar Scott.
Meski demikian, lanjut Scott, terdapat kendala dalam mendorong tumbuhnya industri smelter di Indonesia. Salah satu kendala utama adalah terbatasnya pasokan listrik. Pasalnya, lokasi industri smelter berdekatan dengan lokasi tambang mineral yang rata-rata ada di daerah yang belum terhubung dengan jaringan listrik.
”Salah satu solusinya adalah membangun pembangkit listrik sendiri, misalnya dengan pembangkit listrik tenaga diesel. Namun, biaya produksi listriknya menjadi mahal,” kata Scott.
Salah satu kendala utama adalah terbatasnya pasokan listrik. Pasalnya, lokasi industri smelter berdekatan dengan lokasi tambang mineral yang rata-rata ada di daerah yang belum terhubung dengan jaringan listrik.
Adapun industri smelter di Indonesia, menurut Deni, saat ini tercatat ada 47 perusahaan yang terlibat. Nilai investasi industri smelter yang sedang beroperasi mencapai 12,27 miliar dollar AS, sedangkan nilai investasi smelter yang masih dalam tahap perencanaan dan konstruksi mencapai 40,92 miliar dollar AS. Tenaga kerja yang sedang diserap saat ini mencapai 64.000 orang.
”Sebagai contoh mineral nikel, sektor industri yang membutuhkan mineral jenis ini adalah industri pembuatan mobil, peralatan rumah tangga, dan alat-alat kesehatan. Semua pertumbuhannya di atas 10 persen atau cukup baik prospeknya,” ucap Deni.
Sebelumnya, mengenai pasokan listrik untuk smelter, pemerintah memperkirakan ada kebutuhan pasokan listrik sebanyak 4.200 megawatt sampai 2022. PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) ditantang untuk memenuhi pasokan listrik tersebut sebagai dukungan terhadap program hilirisasi yang digalakkan pemerintah.
Berdasarkan data PLN, tarif listrik untuk golongan industri menengah di Indonesia masih lebih mahal dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Tarif listrik golongan industri menengah di Indonesia adalah Rp 1.115 per kWh, sedangkan di Malaysia Rp 1.052 per kWh. Adapun tarif di Thailand Rp 1.077 per kWh dan di Vietnam Rp 1.090 per kWh. Besaran tegangan listrik untuk golongan industri menengah di atas 200 kilovolt ampere.