Antibodi alamiah yang dihasilkan sebagai respons alamiah terhadap Covid-19 hanya bertahan sekitar tiga bulan. Orang dapat kembali rentan setelah periode tersebut.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tiga bulan diyakini sebagai durasi antibodi manusia terhadap Covid-19 dapat bertahan setelah terinfeksi penyakit ini. Hal ini artinya, penyakit ini bisa terus menginfeksi manusia dari tahun ke tahun.
Ini adalah temuan dari sebuah studi yang dilakukan oleh King’s College London, Inggris, terhadap 96 pasien dan tenaga kesehatan di dua rumah sakit, Guy’s Hospital dan St Thomas’ Hospital di London. Penelitian ini sudah ditampilkan ke publik pada Sabtu (11/7/2020) dan kini menunggu proses peer-review.
Dari hasil tes darah ditemukan bahwa 60 persen partisipan berhasil membangun jumlah antibodi yang memadai melawan infeksi virus korona jenis baru (SARS-CoV-2). Bahkan, hanya 17 persen responden yang antibodinya tetap di tingkat yang sama selama tiga bulan berikutnya.
”Orang menghasilkan antibodi yang memadai untuk melawan virus, tetapi antibodi tersebut menurun dalam periode waktu yang pendek,” kata kepala peneliti studi tersebut, Katie Doores.
Doores mengatakan, selama ini antibodi alamiah hasil infeksi dapat dianggap sebagai best-case scenario atau skenario terbaik yang dapat menggambarkan kemampuan antibodi.
Oleh karena itu, vaksin yang dikembangkan kemungkinan memiliki karakteristik yang sama, yakni hanya beberapa bulan saja.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh sebuah tim peneliti dari Chongqing Medical University China, ditemukan juga bahwa antibodi hanya bertahan 2-3 bulan setelah infeksi terjadi.
Dalam studi yang sudah dipublikasikan dalam jurnal Nature Medicine pada 18 Juni lalu menunjukkan bahwa durasi keberadaan antibodi terhadap SARS-CoV-2 jauh lebih singkat dibandingkan varian virus korona lainnya, seperti SARS-CoV (SARS) dan MERS-CoV (MERS).
Kasus Covid-19 di Jakarta sejak awal April hingga 13 Juli 2020 yang diolah dengan menggunakan Datawrapper.
Antibodi terhadap SARS-CoV bertahan lebih dari dua tahun, sedangkan MERS-CoV bertahan setidaknya 34 bulan.
”Padahal, durasi dan kekuatan imunitas menjadi hal penting yang perlu diperhatikan untuk merancang kebijakan pelonggaran pembatasan fisik,” tulis Ai-Long Huang dan kawan-kawan.
Apabila durasi imunitas dapat diketahui dengan jelas, masyarakat yang kebal dianggap bisa beraktivitas biasa. Namun, dengan temuan ini, Huang berpendapat, kebijakan tersebut tidak bisa dilakukan.
”Herd immunity” tidak bisa tercapai
Kepala Departemen Epidemiologi Universitas Indonesia Tri Yunis Miko mengatakan, apabila vaksin Covid-19 yang sedang dikembangkan memiliki karakteristik seperti antibodi alami, vaksin tersebut mungkin harus diberikan kepada masyarakat lebih dari sekali dalam setahun.
”Seperti vaksin untuk influenza itu kurang dari setahun. Sekarang vaksin, tahun depan vaksin lagi. Mungkin dengan Covid-19, mungkin bisa-bisa dua kali dalam setahun,” kata Miko.
Sementara itu, virologis University of Cambridge, Prof Jonathan Heeney, mengatakan bahwa temuan ini memastikan konsep herd immunity atau kekebalan komunitas tidak bisa terjadi dan berbahaya bagi masyarakat.
Seperti diketahui, di awal pandemi, herd immunity sempat menjadi diskursus publik di masa pandemi ini. Herd immunity adalah konsep epidemiologi yang mengacu pada kekebalan yang terjadi pada sebuah komunitas terhadap suatu penyakit menular.
Hal ini tercapai apabila sebagian besar populasi telah terinfeksi dan pulih; membangun imunitas alamiah. Apabila sejumlah besar orang telah memiliki imunitas, mereka yang belum terinfeksi dan memiliki imunitas akan otomatis terlindungi.
Namun, konsep ini tentu tidak bisa berjalan apabila imunitas mereka yang sudah pulih hanya bertahan sebentar. Tidak lama setelah terinfeksi, mereka dapat menjadi rentan kembali.
”Sebagian masyarakat percaya bahwa kalau terinfeksi mereka akan berkontribusi membantu tercapainya herd immunity. Padahal tidak. Kalau pulih dari infeksi, mereka bisa terinfeksi lagi,” kata Heeney kepada Guardian.