Setelah merayakan ulang tahun ke-80 empat bulan lalu, Sapardi Djoko Damono menapaki tahap baru yang diistilahkannya sebagai “menyeberang”. Kemarin, ia benar-benar ”menyeberang” dari kehidupan ragawi dalam suasana sepi.
Oleh
Tim Kompas
·4 menit baca
Lahir di Solo pada 20 Maret 1940, Prof Dr Sapardi Djoko Damono baru saja memasuki fase, yang diistilahkannya sebagai ”menyeberang” ke usia 80 tahun. Pada umurnya yang ke-80 pula, Sapardi meninggal dengan tenang, di EKA Hospital, Serpong, Tangerang Selatan, Minggu (19/7/2020) pukul 09.17 WIB.
Sapardi pun lantas diantar menapaki tahap baru yang diistilahkannya sebagai ”menyeberang” dalam suasana tanpa keriuhan. Tanpa dihadiri banyak orang, sama seperti ketika dia berulang tahun pada Maret lalu. Pesta ulang tahun besar-besaran yang direncanakan akan digelar di Taman Ismail Marzuki urung dilaksanakan akibat pandemi Covid-19.
Ketika dihubungi di hari perayaan ulang tahunnya, Sapardi sudah mengeluhkan tubuhnya yang sering sakit-sakitan. Ia bahkan mengaku memiliki empat sampai lima dokter yang rutin memeriksa kesehatannya.
Heran, kok, umur saya bisa 80 tahun. Saya merasa justru sekarang ini, saya harus meneruskan yang saya sukai, yaitu menulis. Setiap hari saya ngetik.
”Heran, kok, umur saya bisa 80 tahun. Saya merasa justru sekarang ini, saya harus meneruskan yang saya sukai, yaitu menulis. Setiap hari saya ngetik,” ujar sastrawan sekaligus akademisi yang telah menerbitkan lebih dari 50 buku berbagai jenis: puisi, cerpen, dan teori sastra itu.
Demi memuaskan keinginan penggemarnya yang hendak mengucapkan selamat ulang tahun kala itu, Sapardi merayakan datangnya usia 80 tahun dengan tayangan langsung di Instagram tepat tengah malam pada Jumat (20/3/2020). Kala itu, Sapardi siaran langsung diiringi pembacaan karyanya di laman Instagram ditemani salah satu mantan mahasiswa yang sudah dianggap anak sendiri, Tatyana Soebianto.
”Masalah orangtua seperti saya ini, kan, punya hobi baru: hobinya keluar masuk rumah sakit. Hobi mahal. Enggak apa-apa. Memang harus begitu. Hb saya rendah, jadi kadang harus transfusi darah, tapi enggak apa-apa,” kata Sapardi.
Menurut Tatyana, kondisi Sapardi memburuk sejak 9 Juli lalu akibat komplikasi beragam penyakit. Ia meninggalkan satu istri dan dua putri. ”Saya bahagia pernah menjadi salah satu ’anak’ bapak. Saya dan beberapa teman tetap berupaya memopulerkan sastra di kalangan anak muda lewat musikalisasi puisi,” ujar Tatyana.
Tatyana dan ”anak-anak” Sapardi lainnya, seperti Reda Gaudiamo dan Umar Muslim, sampai kini senantiasa menjalankan pesan Sapardi untuk terus memopulerkan sastra, khususnya puisi di kalangan generasi muda.
”Paling tidak biar anak-anak muda tidak merasa seram dengan sastra, khususnya dengan puisi. Dari 1988, kami semua terus melakukan itu sejak masih menjadi mahasiswanya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI),” tambahnya.
Kesehatan Sapardi, menurut Tatyana, memang sudah menurun sejak dua tahun terakhir. Hingga hari terakhir, ia tetap mencintai sastra. ”Tapi di sela sakitnya, ia tetap berkarya menulis, membuat puisi baru, dan berbagai rencana. Mencintai sastra sudah ada di DNA Sapardi. Orang boleh menaruhnya di peta budayawan Indonesia. Sastra dan kebudayaan menjadi perhatian beliau sampai usia 80 tahun,” katanya.
Meminta teh
Sonya Indriati Sondakh, istri yang selama ini mendampingi Sapardi di rumah sakit, Minggu di ruang duka mengatakan, pukul 08.00 suaminya masih bisa berkomunikasi dengan baik. Bahkan Sapardi meminta minum teh meski susah menggunakan sedotan.
Sejak Sabtu (18/7/2020), kata Sonya, Sapardi mengalami perdarahan hebat. ”Hb-nya turun sampai 5,” kata Sonya. Setelah intervensi untuk mengeluarkan sisa dahak dari paru-parunya, Sapardi tak memberi respons sampai akhirnya dinyatakan terminal pada pukul 09.17 WIB.
Menurut Sonya, suaminya tak pernah mengeluh sakit. ”Bapak tetap kerja walau sebulan terakhir agak jarang,” katanya.
Mendengar kepergian Sapardi, penyair Joko Pinurbo merasa sangat berduka dan kehilangan. Karya-karya Sapardi banyak menginspirasi dirinya dalam menulis puisi, cerpen, dan novel.
Begitu sedihnya, Jokpin, sapaan Joko Pinurbo, sampai kehilangan kata-kata dan belum siap mengenang Sapardi. ”Beliau bukan hanya seorang maestro seni kata. Beliau pribadi yang hangat dan rendah hati,” ujarnya.
Sementara itu, menurut penyair muda Aan Mansyur, karya-karya Sapardi disukai lintas generasi. Dia meyakini banyak penulis sastra generasi muda terinspirasi dari karya-karya Sapardi. Pembawaannya yang sederhana membuat penulis muda tidak segan untuk belajar.
Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI Adrianus Laurens Gerung Waworuntu juga menyampaikan ucapan duka atas kepergian almarhum. FIB UI kehilangan guru besar. Indonesia juga harus melepas salah satu anak bangsa yang turut berperan mengangkat harkat bangsanya melalui karya dan pengabdiannya pada seni budaya Indonesia.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid yang melayat ke rumah sakit mengatakan, Sapardi tipe pekerja keras. ”Beliau benar-benar memilih jalan sastra buat hidupnya,” kata Hilmar.
Sebagai Ketua Umum Ikatan Alumni Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (Iluni FIB UI) Hilmar baru saja merampungkan Festival Hujan Bulan Juni bersama Sapardi. ”Begitu rampung, beliau pergi,” katanya.
Di tengah perjuangannya melawan sakit, Sapardi sempat menyiapkan kumpulan puisi yang direncanakan akan diterbitkan bulan depan sebagai hadiah atas ulang tahunnya ke-80 empat bulan lalu. ”Sudah diserahkan kepada penerbit, tapi terus sakit,” ujar Sonya terbata-bata.