Kasus Perkantoran Meningkat, Bekerja dari Rumah agar Kembali Diutamakan
Saat PSBB, jumlah kasus positif di perkantoran sebanyak 43 orang. Setelah masa transisi, pada 4 Juni-28 Juli 2020, terdapat penambahan 416 kasus positif. Bekerja dari rumah agar kembali diprioritaskan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tingginya penularan Covid-19 di kluster perkantoran menjadi peringatan bagi masyarakat untuk lebih disiplin menjalankan protokol kesehatan. Penerapan bekerja dari rumah pun perlu diutamakan untuk mencegah risiko penularan yang semakin meluas pada pekerja.
Data Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta menunjukkan, masa transisi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang mendorong kembali aktivitas di perkantoran berdampak pada meningkatnya penularan Covid-19 di wilayah tersebut. Pada saat masa PSBB, jumlah kasus positif yang dilaporkan terjadi di perkantoran sebanyak 43 orang. Namun, setelah masa transisi, pada 4 Juni sampai 28 Juli 2020, tercatat ada penambahan sebanyak 416 kasus positif.
Dengan begitu, total kasus positif Covid-19 yang terjadi di kluster perkantoran sebanyak 459 orang di 90 kantor. Rinciannya, sebanyak 34 kluster di kantor pemda DKI dengan 141 kasus, 20 kluster di kantor kementerian dengan 139 kasus, 14 kluster di kantor swasta dengan 92 kasus, 10 kluster di kantor badan/lembaga pemerintahan dengan 25 kasus, 8 kluster di badan usaha milik negara dengan 35 kasus, dan 1 kluster di kepolisian dengan 4 kasus.
Dewi Nur Aisyah dari Tim Pakar Satuan Tugas Penanganan Covid-19 di Jakarta, Rabu (29/7/2020), mengatakan, risiko penularan pada pekerja bisa terjadi di dalam wilayah kantor ataupun selama perjalanan dari rumah ke kantor. Risiko ini semakin tinggi pada pekerja yang menggunakan transportasi umum.
”Melihat kondisi saat ini, untuk perusahaan yang masih bisa menjalankan sistem kerja dari rumah atau WFH (work from home) lebih baik tetap WFH. Jikapun harus masuk ke kantor, pastikan protokol kesehatan yang ketat dijalankan, antara lain pekerja yang masuk maksimal 50 persen dari kapasitas,” tuturnya.
Selain itu, upaya yang harus dijalankan untuk mencegah penularan di perkantoran adalah mencegah adanya penumpukan orang di kantin ketika jam makan siang, memastikan sirkulasi udara di ruang berjalan lancar, serta menugaskan tim keselamatan dan kesehatan kerja (K3) untuk memastikan protokol kesehatan dijalankan semua pekerja.
Setiap kantor diminta transparan dalam menyampaikan kondisi perkantorannya. Apabila ditemukan kasus positif, pihak perkantoran harus melaporkan ke dinas kesehatan setempat agar bisa segera dilakukan pelacakan kontak dengan baik.
Kewaspadaan terhadap penularan Covid-19 perlu semakin ditingkatkan seiring dengan pertambahan kasus baru yang semakin tinggi. Pada 29 Juli 2020 dilaporkan ada 2.381 kasus baru yang terkonfirmasi positif Covid-19. Wilayah dengan kasus baru tertinggi adalah DKI Jakarta (577 kasus), Jawa Timur (359 kasus), Jawa Tengah (313 kasus), Sumatera Utara (241 kasus), dan Sulawesi Selatan (128 kasus).
Sementara itu, jumlah spesimen yang selesai diperiksa selama satu hari hingga Rabu (29/7/2020) pukul 12.00 sebanyak 30.261 spesimen dari 17.859 orang. Adapun kasus suspek masih terdata kini sebanyak 57.393 orang dengan total kasus sembuh 62.138 orang dan kasus meninggal 4.975 orang. Seluruh kasus ini dilaporkan dari 473 kabupaten/kota yang terdampak.
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dalam keterangan resmi mengatakan, tempat kerja berkontribusi besar dalam memutus rantai penularan Covid-19. Besarnya jumlah pekerja serta tingginya mobilitas dan interaksi dalam aktivitas pekerja membutuhkan upaya mitigasi yang baik.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 328 Tahun 2020 pun telah diterbitkan sebagai bentuk kesiapsiagaan dalam upaya pencegahan dan pengendalian Covid-19 di perkantoran. Setidaknya ada 23 protokol kesehatan yang diatur, di antaranya mengoptimalkan bekerja dari rumah dengan penyesuaian hari dan pembagian waktu kerja, melakukan disinfeksi secara berkala di lingkungan kerja, dan mewajibkan pekerja menggunakan masker selama berada di kantor.
”Jangan sampai (penularan) ini menimbulkan kekhawatiran baru di tengah masyarakat. Kuncinya protokol kesehatan. Disiplin menerapkan panduan tersebut diharapkan dapat meminimalkan risiko penularan di perkantoran akibat dari berkumpulnya banyak orang dalam satu lokasi,” kata Terawan.
Pengembangan obat
Secara terpisah, Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto menyampaikan, pedoman tata laksana penanganan pasien Covid-19 akan diperbarui sesuai dengan perkembangan yang terjadi di tingkat global. Pada pedoman yang baru tidak akan ada perubahan yang signifikan untuk tata laksana pasien dengan kondisi ringan dan sedang.
Namun, penanganan kasus akan lebih fokus pada kondisi pasien dengan gejala berat dan kritis. Hal ini dinilai penting karena risiko kematian lebih besar terjadi pada pasien Covid-19 dengan kondisi tersebut. ”Pada kasus berat dan kritis akan direkomendasikan sesuai hasil riset terbaru yang dapat menurunkan risiko kematian,” ujarnya.
Sebelumnya, lima organisasi profesi kedokteran telah mengeluarkan panduan terkait standar perawatan pada pasien Covid-19. Berdasarkan data yang dilaporkan, pasien dengan kondisi ringan dan sedang mampu bertahan dengan baik dengan standar yang ditetapkan tersebut. Obat yang digunakan tersebut salah satunya kombinasi dari azitromisi atau levofloksasin, klorokuin atau hidroksiklorokuin, oseltamivir, dan vitamin.
Agus menyampaikan, penggunaan hidroksiklorokuin tetap direkomendasikan untuk tata laksana pasien Covid-19 di Indonesia meskipun Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) Amerika Serikat sempat mencabut izin darurat penggunaan obat tersebut. Ini dilakukan karena dari pemantauan pada pasien di Indonesia, penggunaan hidroksiklorokuin memberikan hasil yang baik.
Targetnya buku panduan tata laksana yang baru akan diterbitkan pekan depan. Pengobatan dengan plasma konvalensen, stem cell (sel punca), redensifir, deksametason, dan obat antikoagulan yang belum diatur dalam buku panduan sebelumnya akan ada dalam buku panduan ini.
”Pengobatan yang diberikan terutama untuk mencegah mortalitas pada pasien dengan kondisi berat dan kritis. Angka mortalitas di Indonesia kini sekitar 4,9 persen. Meski sudah menurun, tata laksana yang agresif tetap kami upayakan untuk terus menurunkan risiko tersebut,” tutur Agus.