Menjadi perempuan kepala keluarga tidaklah mudah. Karena harus berperan sebagai tulang punggung ekonomi keluarga. Bahkan di masa pandemi Covid-19 mereka harus berjuang demi memenuhi kebutuhan keluarganya.
Sejumlah perempuan melewati beratnya hidup sebagai tulang punggung ekonomi keluarga, bahkan berperan sebagai kepala keluarga, pada masa sulit pandemi Covid-19.
Beberapa perempuan bahkan menjadi orangtua tunggal. Namun, mereka tetap berdaya dan mandiri di tengah stigma yang membayangi.
Rita Wati Sirait (47), misalnya. Meski sangat terpuruk ketika suaminya meninggal, ia tak menyerah. Bersama tiga anaknya, Rita yang tinggal di rumah kayu di kampung nelayan Kelurahan Sumber Sari, Kecamatan Sei Tualang Raso, Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara, berjuang melanjutkan hidup.
Selain membuka warung dengan berjualan gorengan di muara Sungai Asahan, dia juga menjadi buruh cuci pakaian. Setiap hari, dia bangun pukul 04.00 dan baru tidur menjelang tengah malam. ”Sudah delapan tahun saya memperjuangkan anak-anak saya. Sekarang, anak sulung sudah kelas X SMA,” kata Rita, Sabtu (1/8/2020). Dua anak lainnya duduk di bangku SMP dan SD.
Rita mulai bangkit setelah mendapat pendampingan dari Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka). Dari usaha warung itu, Rita memperoleh Rp 50.000 setiap hari. Namun, penghasilan tersebut jelas tak cukup sehingga ia juga bekerja sebagai buruh cuci dan setrika pakaian. Ketika warungnya merugi, ia terpaksa meminjam kepada rentenir untuk modal harian warungnya.
Sebagai perempuan kepala keluarga, Rita terus berjuang menghidupi keluarganya. Ia bertekad menyekolahkan anaknya agar tidak bernasib seperti dirinya yang hanya tamat SD. ”Saya tidak punya harta untuk diwariskan kepada anak-anak. Hanya pendidikan yang bisa saya berikan sebagai modal mereka menjalani hidupnya,” kata Rita.
Menangkap ikan
Perjuangan sebagai perempuan kepala keluarga juga dijalani Masdalina (40), warga Desa Teluk Mesjid, Kecamatan Sungai Pandan, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Sebelum pandemi, dia menjadi buruh tani di desanya. Masdalina biasanya menggarap sawah orang lain, dengan bekerja dari pukul 07.00 sampai pukul 11.00, dan mendapatkan upah harian Rp 35.000.
Selain menjadi buruh tani harian, dia juga menggarap lahan milik orang lain dengan sistem bagi hasil. Ia menanam padi dengan masa tanam selama 3 bulan 10 hari.
Saya tidak punya harta untuk diwariskan kepada anak-anak. Hanya pendidikan yang bisa saya berikan sebagai modal mereka menjalani hidupnya.
Malang tak kuasa ditolak, selama pandemi pemilik lahan menggarap sawahnya sendiri karena uang untuk mengupah orang lain sudah dipakai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tidak punya pekerjaan, Masdalina turun ke rawa-rawa menangkap ikan untuk lauk-pauk keluarganya.
”Wahini jarang ada yang mengupah begawi di huma. Jadi, ulun mencari iwak haja gasan makan (Saat ini, jarang ada yang bekerja di sawah. Jadi, saya mencari ikan saja untuk makan),” kata Masdalina yang menangkap ikan pada pagi hari, dan juga membuat pukat atau jaring penangkap ikan, yang dijual Rp 50.000 per lembar.
Pandemi Covid-19 juga membuat Masdalina tidak bisa membiayai pendidikan anaknya kuliah ke Banjarmasin. ”Tapi situasi kayak ini, semuanya serba ngalih (susah),” ujar Masdalina yang menjadi perempuan kepala keluarga setelah pernikahannya di usia 19 tahun gagal.
Berstatus ”janda” dalam usia relatif muda membuat Masdalina kadang dicibir. ”Memang harus pandai-pandai menjaga diri supaya jangan sampai jadi omongan orang,” ujar Masdalina yang juga bergabung dengan Pekka.
Bertahan di tengah pandangan negatif terhadap perempuan tak bersuami juga dialami Zaitun (48), warga Kelurahan Dalam Bugis, Pontianak Timur, Kalimantan Barat. Sejak ditinggalkan suaminya, perempuan dengan delapan anak dan tiga cucu ini berjualan kerupuk.
Ia menitipkan kerupuk di lebih dari 100 warung. Omzetnya bisa Rp 10 juta per bulan. ”Tiga bulan tak ada produksi kerupuk karena warung tempat ibu menitip kerupuk tutup dan sepi. Jadi, selama itu hampir tak ada pemasukan,” kata Zaitun.
Namun, Zaitun tak kehilangan akal. Dibantu anak-anaknya, dia mencoba memasarkan kerupuknya lewat media sosial. Tak hanya jualan kerupuk, ia juga mulai berdagang keripik singkong dan kacang goreng. Kalau ada yang pesan banyak, langsung diantar ke rumah.
Namun, karena tujuh anaknya masih sekolah, Zaitun berupaya mencari penghasilan tambahan. Ia pun bekerja mencuci dan setrika pakaian di rumah tetangga dengan upah Rp 200.000 per bulan. ”Dalam kondisi begini, apa saja dikerjakan, yang penting halal,” kata perempuan yang sudah 14 tahun ditinggalkan suaminya itu.