Layanan Kesehatan Kritis, Saatnya Perketat Pembatasan
Sebanyak 102 dokter meninggal karena Covid-19 dan ribuan lainnya terinfeksi. Pemerintah diminta menggunakan rem darurat untuk memperketat kembali pembatasan sosial.
Oleh
Tim Kompas
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Data Ikatan Dokter Indonesia pada Senin (31/8/2020) menunjukkan, ada lagi dua dokter yang meninggal karena Covid-19, yaitu Elly Zaini dari Padang Sidimpuan, Sumatera Utara, dan Bawono Hasan dari Jakarta. Dengan penambahan ini, sedikitnya ada 102 dokter yang meninggal karena Covid-19. Sementara jumlah dokter gigi yang meninggal menjadi sembilan orang dan perawat sedikitnya 68 orang.
”Kami khawatir jumlah korban akan terus terjadi karena saat ini ada ribuan tenaga kesehatan yang terinfeksi dan sebagian dirawat,” kata Ketua Satuan Tugas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zubairi Djoerban.
Zubairi mengatakan, penyebaran wabah Covid-19 di masyarakat saat ini semakin tinggi dengan rasio kasus positif yang meningkat. Pasien yang datang ke rumah sakit juga semakin banyak sehingga rumah sakit rujukan telah penuh dan beban tenaga kesehatan meningkat.
Situasi (wabah) semakin gawat. Karena itu, kami mohon pemerintah menggunakan rem darurat.
”Situasi (wabah) semakin gawat. Karena itu, kami mohon pemerintah menggunakan rem darurat. Sudah saatnya pembatasan sosial diperketat dan kegiatan keramaian dikurangi. Jangan malah buka konser dan bioskop. Masyarakat juga kami harap taat protokol kesehatan,” katanya.
Menurut laporan Satgas Penanganan Covid-19, jumlah kasus kemarin bertambah 2.743 sehingga total menjadi 174.796 orang. Penambahan kasus harian didapatkan dengan memeriksa 14.566 orang sehingga rasio positifnya 18,83 persen.
Risiko meningkat
Eva Sri Diana, dokter spesialis paru di Jakarta, mengatakan, banyaknya tenaga kesehatan yang terinfeksi dan terus meningkatnya pasien Covid-19 membuat beban kerja tenaga kesehatan, khususnya dokter spesialis paru, semakin berat.
”Di Jakarta saja kekurangan dokter spesialis paru. Sudah berbulan-bulan saya menjadi satu-satunya spesialis paru di salah satu rumah sakit swasta, selain masih harus kerja di rumah sakit negeri. Dalam sehari, saya bisa menangani lebih dari 80 pasien Covid-19,” katanya.
Beban kerja yang tinggi dan waktu istirahat yang kurang, menurut Eva, menjadi faktor terbesar risiko penularan di kalangan tenaga kesehatan (nakes) yang menangani pasien Covid-19. ”Ini dialami misalnya salah satu sahabat saya, almarhum dokter spesialis paru Andhika Kesuma dari Medan, yang meninggal setelah berjibaku merawat pasien Covid-19. Sebagai dokter spesialis paru, kami ini paling disiplin memakai APD (alat pelindung diri). Jadi, kalau dikatakan tidak disiplin, itu tidak benar,” tutur Eva.
Tri Maharini, dokter spesialis emergensi dari Kediri, Jawa Timur, juga menolak jika dikatakan banyaknya tenaga kesehatan yang meninggal karena tidak disiplin memakai APD. ”Saya termasuk paling ketat memakai APD, sekalipun rumah sakit tidak menyediakan pun akan mengusahakan sendiri. Tetapi, saya akhirnya tertular saat menangani pasien,” kata Tri.
Selain faktor beban kerja, risiko penularan juga bisa terjadi karena tidak semua rumah sakit memiliki infrastruktur yang standar. ”Tidak semua rumah sakit, khususnya yang di daerah, memiliki ruangan bertekanan negatif. Padahal, tanpa itu, risiko penularan virus yang sudah airborne tetap tinggi sekalipun memakai APD lengkap,” ujarnya.
Risiko penularan juga bisa terjadi dari lingkungan tempat tinggal. Ini, misalnya, terjadi di Surabaya dan Madura, yang menyebabkan satu keluarga tertular dan meninggal. ”Kalau melihat di Wuhan, untuk tenaga kesehatan memang disediakan tempat karantina sendiri. Ini akan sangat membantu mencegah penularan dari komunitas,” kata Tri.
Dengan risiko keterpaparan yang sangat tinggi, tenaga kesehatan seharusnya mendapat pemeriksaan yang rutin. ”Ini dulu saya dapatkan saat menjadi sukarelawan di Rumah Sakit Sulianti Saroso. Namun, begitu kembali bertugas di daerah, tidak ada. Jangankan tes rutin, banyak nakes yang memiliki riwayat kontak dengan pasien positif kesulitan mendapat tes. Banyak rekan nakes yang meninggal karena terlambat didiagnosis dan mendapat perawatan. Ini tragis,” ucapnya.
Layanan terpaksa berhenti
Kasus penularan Covid-19 terhadap tenaga kesehatan terjadi di sejumlah daerah. Di Puskesmas Ciasem, Kabupaten Subang, Jawa Barat, sebanyak 41 tenaga kesehatan terkonfirmasi Covid-19. Akibatnya, pelayanan kesehatan dihentikan hingga pekan depan.
Adapun di Kota Jayapura, Papua, terdapat 17 tenaga kesehatan yang terpapar Covid-19. ”Kasus nakes positif Covid-19 hampir terjadi di semua puskesmas di Kota Jayapura,” ujar Kepala Dinas Kesehatan Kota Jayapura Ni Nyoman Sri Antari.
Sementara itu, di Medan, Sumatera Utara, dua dokter yang bertugas menangani Covid-19 meninggal karena penyakit tersebut. ”Mari kita ringankan beban nakes dengan lebih disiplin menerapkan protokol kesehatan,” kata juru bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Sumut, Aris Yudhariansyah, Senin.
Juru bicara Satgas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, mengatakan, salah satu faktor yang menyebabkan tingginya penularan pada tenaga kesehatan adalah beban kerja yang terlalu berat. Pihak manajemen rumah sakit harus bisa membagi jam kerja yang baik agar setiap tenaga kesehatan tidak terlalu lelah.
Kepala Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kesehatan Kementerian Kesehatan Abdul Kadir menambahkan, Kementerian Kesehatan menekan angka kematian tenaga kesehtan dengan mencegah dan mengendalikan infeksi di rumah sakit, meningkatkan penerapan protokol kesehatan internal dan eksternal rumah sakit, serta selalu memberikan dukungan psikologis bagi tenaga kesehatan. (AIK/TAN/FLO/MEL/NSA)