Sikap Sivitas Akademika soal RUU Cipta Kerja Berbeda-beda
Banyak pihak menilai pembahasan RUU Cipta Kerja sampai persetujuannya oleh DPR dan pemerintah berlangsung tidak transparan. Menyikapi hal ini, sikap sivitas akademika cenderung belum solid.
JAKARTA, KOMPAS — Sikap sivitas akademika dalam menyikapi Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja masih berbeda-beda. Belum ada sikap bersama dalam menyikapi rancangan undang-undang kontroversial ini.
Pada Jumat (9/10/2020), Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bahkan sempat mengeluarkan Surat Imbauan Pembelajaran Daring dan Sosialisasi Undang-Undang (UU) Cipta Kerja bernomor 1035/E/KM/2020. Surat ini ditujukan kepada semua pemimpin perguruan tinggi dan memiliki tujuh poin. Sebagai contoh, pimpinan perguruan tinggi dimohon menjaga ketenangan dan suasana pembelajaran yang kondusif.
Perguruan tinggi dimohon mengimbau para mahasiswa untuk tidak turut serta dalam kegiatan demonstrasi/unjuk rasa/penyampaian aspirasi yang dapat membahayakan keselamatan dan kesehatan para mahasiswa di masa pandemi ini.
Lalu, pimpinan perguruan tinggi dimohon menginstruksikan para dosen untuk senantiasa mendorong mahasiswa melakukan kegiatan intelektual dalam mengkritik UU Cipta Kerja ataupun produk kebijakan lainnya. Dosen diminta tidak memprovokasi mahasiswa untuk mengikuti/mengadakan kegiatan demonstrasi/unjuk rasa/penyampaian aspirasi yang dapat membahayakan keselamatan dan kesehatan para mahasiswa.
Pada Minggu (11/10/2020) malam, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah juga menggelar temu virtual dengan Forum Rektor Indonesia (FRI) mengenai RUU Cipta Kerja. Dalam siaran pers, dia mengatakan, pertemuan virtual itu dihadiri sekitar 24 rektor perguruan tinggi negeri dan swasta, seperti Universitas Telkom, Universitas Brawijaya, dan Universitas Pertamina. Ketua FRI sekaligus Rektor IPB University Arif Satria disebut hadir.
Ida menjelaskan empat urgensi RUU Cipta Kerja disahkan DPR, yakni perpindahan lapangan kerja, daya saing pencari kerja, kenaikan penduduk belum bekerja, dan potensi jebakan kelas menengah atas.
Dia juga mengeklaim, dialog dengan para rektor berjalan hangat dan solutif. FRI dan rektor yang hadir mengapresiasi langkah dirinya membuka pertemuan.
Baca juga: Ancaman Kapitalisasi Pendidikan di RUU Cipta Kerja
Sebelumnya, FRI telah mengeluarkan pernyataan sikap pada Minggu pagi. Ada tujuh poin disampaikan. Salah satunya adalah mengharapkan pemerintah dan DPR selalu membuka diri untuk menampung aspirasi dan masukan-masukan kritis dari para pihak yang sama-sama bergerak atas dasar rasa cinta kepada bangsa Indonesia.
”FRI akan memberikan masukan kepada pemerintah dan DPR setelah mencermati dan menyisir UU Cipta Kerja versi final, khususnya hal-hal krusial yang menjadi perhatian masyarakat sehingga pemerintah dapat mengambil langkah-langkah solusi alternatif yang dimungkinkan secara hukum,” ujar Arif.
Dalam pernyataan sikap itu, FRI juga memandang bahwa perbedaan pendapat dalam era demokrasi adalah hal yang biasa. Perbedaan pendapat dalam merespons RUU Cipta Kerja diharapkan dapat diselesaikan melalui saluran-saluran yang konstitusional.
FRI juga mengimbau semua pihak yang berbeda pendapat agar dapat menahan diri dan mengedepankan dialog secara jernih untuk mendapatkan solusi. Proses pengesahan RUU Cipta Kerja yang menimbulkan gejolak ini dapat menjadi bahan pelajaran untuk terus memperkuat modal sosial berupa rasa saling percaya semua komponen bangsa.
”FRI mengimbau kepada para pemimpin perguruan tinggi dan sivitas akademika untuk selalu menjaga kondusivitas kampus agar kegiatan akademik dan pembelajaran dapat berjalan dengan baik, khususnya pada masa pandemi Covid-19 ini,” kata Arif.
Kontraproduktif
Deputi Direktur Advokasi Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Andi Mutaqqien, Senin (12/10/2020), di Jakarta, memandang, surat imbauan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi bisa menjadi satu bentuk upaya pembungkaman gerakan demokrasi. Secara substansi surat, isinya cenderung mengarah ke langkah pelemahan fungsi kontrol mahasiswa atas kebijakan negara.
Surat imbauan itu menjadi kontraproduktif justru di tengah sejumlah mahasiswa dan dosen menolak adanya RUU Cipta Kerja.(Andi Mutaqqien)
”Surat imbauan itu menjadi kontraproduktif justru di tengah sejumlah mahasiswa dan dosen menolak adanya RUU Cipta Kerja,” ujarnya.
Menurut Andi, FRI seharusnya bisa menjadi jembatan perspektif kritis akademisi kepada pemerintah. Akan tetapi, dia mengamati keseluruhan poin sikap FRI menunjukkan sikap sebaliknya. Sebagai contoh, poin FRI mengimbau kepada para pemimpin perguruan tinggi dan sivitas akademika untuk selalu menjaga kondusivitas kampus. Dia memaknai pernyataan ”selalu menjaga kondusivitas” berarti ”melarang demonstrasi”.
Poin sikap itu, kata Andi, dapat pula dimaknai sebagai upaya pelan-pelan mematikan usaha kontra RUU Cipta Kerja dari sejumlah dosen ataupun mahasiswa.
”Jangan-jangan nanti diikuti dengan kerangka berpikir bahwa dosen tertentu adalah provokatif,” ujarnya.
Dosen Program Studi Sosiologi Universitas Negeri Jakarta, Abdil Mughis Mudhoffir, mempunyai pandangan senada. Pernyataan sikap FRI pekan lalu cenderung problematik. Di satu sisi, pernyataan FRI terkesan hendak berdiri di tengah. Namun, di sisi lain, saat ditelaah lebih jauh, pernyataan forum itu cenderung lebih berpihak mendukung narasi pemerintah.
Dia memandang, sejumlah perguruan tinggi cenderung tidak bisa bersikap kritis terhadap pemerintah. Salah satu penyebabnya adalah intervensi politik terhadap kampus, seperti pemilihan rektor.
”Saya tetap berpegang pada prinsip kebebasan akademis. Selama ini, akademisi dan organisasi nirlaba telah mengadakan diskusi untuk merumuskan masukan. Akan tetapi, kritik tersebut dianggap hoaks dan disinformasi,” ujar Abdil.
Guru Besar bidang Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti menduga telah terjadi perbedaan pandangan dan sikap di kalangan dosen. Ada sejumlah akademisi memilih diam, mempertanyakan, dan mengkritik.
Pasal 1 Ayat (14) UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menyebutkan, dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jika mengacu pada ketentuan hukum ini, Surat Imbauan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 1035/E/KM/2020 menyalahi.
”Realitasnya, surat edaran ditakuti sivitas akademika. Pendekatan birokratis seperti itu bukan hal baru, seperti saat pemerintah (melalui menteri) bisa ikut campur tangan dalam praktik pemilihan rektor. Rentan politisasi,” ujar Susi.
Surat imbauan itu menempatkan dosen pada posisi semakin sulit. Lingkungan birokrasi telah berkembang lama. Kondisi itu bertentangan dengan amanat pasal 58 UU No 12/2012. Pasal ini menyebutkan perguruan tinggi melaksanakan fungsi dan peran, antara lain wadah pembelajaran, pendidikan, serta pusat kebajikan dan kekuatan moral dan menemukan kebenaran.
Secara pribadi, Susi mengaku tetap ingin berpegang pada kebebasan mimbar akademis sesuai dengan amanat UU No 12/2012. Selain itu, dia memandang prosedur perumusan RUU Cipta Kerja sejak awal tidak transparan, padahal prosedur merupakan jantung produk hukum.
Baca juga: RUU Cipta Kerja Terlalu Mengomersialisasikan Pendidikan Tinggi
Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemendikbud Aris Junaidi, saat sesi peluncuran ”Panduan Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi di Era Industri 4.0 untuk Mendukung Merdeka Belajar-Kampus Merdeka”, Jumat (9/10), mengatakan, aksi mahasiswa menyangkut RUU Cipta Kerja tidak perlu anarkistis dan berlebihan. Belajar dari rumah harus tetap produktif.
”Pembelajaran jarak jauh metode daring bisa mengambil dari platform-platform pendidikan dan sistem pembelajaran berbasis kursus daring (MOOCS). Kami sudah mensosialisasikan platform atau MOOCS bisa dipakai,” ujarnya.