Penerimaan sebagian masyarakat terhadap vaksin Covid-19 rendah. Edukasi kepada masyarakat menjadi kunci keberhasilan imunisasi.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Survei menunjukkan, penerimaan masyarakat Indonesia terhadap vaksin Covid-19 relatif rendah. Karena itu, pemerintah perlu mengantisipasi penolakan terhadap vaksinasi tersebut melalui edukasi mengenai pentingnya pemberian vaksin tersebut untuk menangkal penularan virus korona tipe baru.
Dari 2.109 responden, hanya 31 persen yang menyatakan bersedia menerima vaksin Sinovac-Biofarma dan 44 persen yang bersedia menerima vaksin Merah Putih yang tengah dibuat konsorsium riset dipimpin Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Kementerian Riset dan Teknologi.
”Sebagian besar responden mengatakan ragu-ragu hingga tidak bersedia menerima vaksin,” kata Irma Hidayana, peneliti kesehatan publik dari Laporcovid19, Selasa (13/10/2020), di Jakarta.
Data tersebut merupakan hasil survei daring tentang pemahaman dan penerimaan masyarakat terhadap vaksin dan obat Covid-19. Survei dilakukan Laporcovid19 bekerja sama dengan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI), Magister Manajemen Bencana UPN Veteran Yogyakarta, dan Forum Perguruan Tinggi untuk Pengurangan Risiko Bencana (FPT PRB).
Pengambilan data dilakukan secara daring menggunakan aplikasi survei Qualtrics pada 22 September-3 Oktober 2020. ”Terdapat lebih dari 2.500 pengisi survei dari semua provinsi di Indonesia. Setelah melakukan pembersihan, ada 2.109 responden yang bisa diolah untuk kepentingan studi ini,” katanya.
Sekalipun ada responden dari 34 provinsi, sebagian besar berasal dari Jakarta dan Jawa Barat. Pendidikan responden mayoritas sarjana, yaitu 45,3 persen, magister 21,8 persen, sekolah menengah atas 20,2 persen, diploma 6,5 persen, dan sisanya berpendidikan sekolah menengah pertama serta sekolah dasar.
Sebagian besar responden menyatakan ragu-ragu hingga tidak bersedia menerima vaksin.
Irma mengatakan, sebanyak 67,6 persen responden mengaku pernah mendengar tentang vaksin Sinovac-Biofarma. Sementara responden yang mengaku pernah mendengar tentang vaksin Merah Putih hanya 47,8 persen. ”Namun, terkait penerimaan, yang mengaku mau menerima vaksin Merah Putih lebih tinggi walaupun tetap tidak sampai 50 persen,” ujarnya.
Dicky Pelupessy, pengajar Fakultas Psikologi UI, mengatakan, dari survei juga ditemukan mayoritas responden khawatir dan percaya bahwa pandemi Covid-19 berdampak buruk bagi kesehatan.
”Namun, sebagian besar justru masih ragu-ragu menerima vaksin dan obat Covid-19. Sebanyak 70 persen responden menyatakan ragu-ragu hingga tidak bersedia mengonsumsi obat hasil riset Unair (Universitas Airlangga),” katanya.
Sebanyak 69 persen responden menyatakan ragu-ragu hingga tidak bersedia menerima vaksin Biofarma-Sinovac apabila mereka terinfeksi Covid-19. Sementara 56 persen responden menyatakan ragu-ragu hingga tidak bersedia menerima vaksin Merah Putih dari Lembaga Eijkman.
Butuh evaluasi
Berdasarkan survei ini, peneliti merekomendasikan langkah evaluatif dalam pengembangan vaksin dan terhadap janji ketersediaan vaksin. Upaya meningkatkan keyakinan masyarakat harus berbasis kemantapan ilmiah (scientific robustness).
Menanggapi survei ini, Wakil Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Herawati Sudoyo mengatakan, vaksin Merah Putih saat ini masih dalam proses penelitian. ”Baru akhir bulan ini baru ada calon vaksinnya,” katanya.
Hasil survei ini diperlukan untuk melakukan edukasi publik mengenai pentingnya vaksin. ”Namun, kita tidak boleh memberikan harapan berlebihan. Jangan sampai semua bergantung pada vaksin. Tujuan kita kan menurunkan kasus, dan ini tidak bisa hanya dengan vaksin saja,” kata Herawati.
Sementara itu, Ketua Tim Riset Uji Klinis Fase 3 Vaksin Covid-19 dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Kusnandi Rusmil optimistis, masyarakat pada akhirnya akan menerima vaksin Covid-19.
”Masyarakat antivaksin dengan berjalannya waktu akan hilang sendiri. Mungkin masih terpengaruh masalah haram dan tidak haram. Mungkin yang jadi masalah vaksin ini tersedia atau tidak,” ungkapnya.
Uji klinis fase ketiga yang dilakukan tidak bisa dipercepat dan baru bisa selesai pada Januari 2021. ”Biasanya riset vaksin butuh waktu bertahun-tahun. Ini tidak bisa dipercepat lagi. Biofarma baru akan membikin paling cepat bulan Januari. Sampai sekarang belum ada bahannya,” kata Kusnandi.
”Kalau Presiden mengatakan akan mulai vaksinasi Desember 2020, itu bukan dari vaksin buatan Biofarma-Sinovac. Saya dengar akan membeli vaksin dari luar negeri. Kemungkinan akan beli Astra Zeneca, CanSino, dan lain-lain. Saat ini Pak Erick Tohir di luar negeri untuk mencari vaksin. Itu di luar tanggung jawab kami sebagai ilmuwan. Kami hanya bisa mengawal yang kami teliti,” ujarnya.
Epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono, mengatakan, pemerintah sebaiknya tidak buru-buru membeli dan memberikan vaksin kepada masyarakat sebelum ada pengujian secara ilmiah.
”Kenapa pemerintah membeli calon vaksin? Kenapa tidak menunggu sampai selesai uji klinik. Ini semacam ijon. Itu berbahaya. Jangan memberikan vaksin kepada masyarakat dengan alasan politis dan alasan darurat. Harus pakai alasan saintifik,” ucapnya.
Pandu mengingatkan, untuk mengendalikan pandemi tidak bisa mengandalkan dari vaksin. Harus ada upaya lain, seperti tes, lacak, dan isolasi, selain juga penerapan protokol kesehatan, seperti penggunaan masker, cuci tangan, dan jaga jarak.
”Bahkan, belajar dari upaya mengatasi berbagai penyakit lain, seperti TBC, sekalipun vaksin sudah ada, tetap tidak bisa mengakhiri penyakit ini. Pemerintah Australia saja membatalkan untuk mewajibkan pemberian vaksin,” ucapnya.
Juru bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, menyampaikan, kenaikan kasus mingguan pekan ini 5,9 persen. Pada Selasa (13/10), kasus positif Covid-19 di Indonesia bertambah 3.906 orang sehingga secara kumulatif jumlah kasus di Indonesia menjadi 340.622. Kasus aktif jadi 65.299 atau 19,2 persen.
Pasien Covid-19 yang sembuh bertambah 4.777 orang, jadi total 263.296 orang atau 77,3 persen, pasien meninggal bertambah 92 orang sehingga total 12.027 orang atau 3,5 persen. (INA/TAN)