Di awal pandemi Covid-19, cuaca disebut-sebut berpengaruh pada penyebaran penyakit tersebut. Namun, waktu dan riset menunjukkan, penyebaran penyakit disebabkan perilaku dan mobilitas manusia, bukan cuaca.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
Musim telah berganti, dari hujan menjadi kemarau, dan kini hujan kembali tiba, tetapi pandemi Covid-19 tidak menunjukkan tanda-tanda mereda. Penelitian terbaru memberikan kejelasan tentang peran cuaca dalam infeksi penyakit Covid-19 bahwa suhu dan kelembaban tidak memainkan peran penting dalam penyebaran virus korona baru ini.
Di awal pandemi Covid-19 pada Januari-Maret, ada harapan besar bahwa suhu musim panas yang terik dapat mengurangi penyebarannya. Kajian pustaka yang dilakukan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) termasuk yang memberi harapan ini.
Mengacu sejumlah penelitian di luar negeri, dalam keterangan tertulis, Kepala BMKG Dwikorita mengatakan, hasil kajian menunjukkan adanya indikasi pengaruh cuaca dan iklim dalam mendukung penyebaran wabah Covid-19. Sejumlah penelitian yang diacu di Araujo dan Naimi (2020), Chen et. al. (2020), Luo et al (2020), Poirier et al (2020), Sajadi et al (2020), Tyrrell et al (2020), dan Wang et al (2020).
”Hasil analisis Sajadi et al (2020) serta Araujo dan Naimi (2020) juga menunjukkan sebaran kasus Covid-19 pada saat outbreak gelombang pertama berada pada zona iklim yang sama, yaitu pada posisi lintang tinggi wilayah subtropis dan temparate,” sebut Dwikorita.
Sekalipun memberikan tambahan pernyataan bahwa faktor mobilitas juga menentukan, harapan soal musim Covid-19 yang akan meluruh di musim kemarau ini sempat menjadi rujukan pemerintah.
Bahkan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam jumpa pers 4 Maret 2020 menyatakan, virus korona tak kuat bertahan di cuaca Indonesia yang cenderung panas. ”Dari hasil modelling (pemodelan) kita yang ada, cuaca Indonesia, ekuator ini yang panas dan juga itu untuk Covid-19 ini enggak kuat,” kata Luhut.
Saat itu, kasus Covid-19 di Indonesia baru ditemukan walaupun sejumlah negara tetangga sudah menghadapi lonjakan kasus. Sekalipun Indonesia banyak dikritik terlambat menemukan kasus karena persoalan tes, wacana dominan oleh pemerintah saat itu adalah kasus Covid-19 di Indonesia relatif aman, salah satunya karena faktor cuaca.
Ini dikuatkan oleh penelitian Ramadhan Tosepu dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Halu Oleo, Kendari dan tim di jurnal Science of The Total Environment pada Juli 2020. Dalam kesimpulannya, peneliti menyebutkan, ”Cuaca menjadi faktor penting dalam menentukan angka kejadian Covid-19 di Jakarta. Suhu rata-rata secara signifikan berkorelasi dengan Covid-19. Temuan kami bisa dijadikan masukan untuk menekan penyakit Covid-19 di Indonesia.”
Dipengaruhi perilaku
Seiring dengan waktu, fakta menunjukkan, Covid-19 tidak terhambat oleh cuaca. Tidak juga oleh kelembaban dan suhu panas luar ruangan. Bahkan, sebaliknya, selama kemarau Covid-19 menghebat.
Kini, musim kemarau di Indonesia hampir berakhir dan gelombang pandemi Covid-19 tidak menunjukkan tanda-tanda mereda dengan jumlah total kasus di Indonesia pada Rabu (4/11/2020) sebanyak 421.731 dan menewaskan 14.259 orang.
Penelitian oleh para peneliti dari The University of Texas di Austin yang diterbitkan di International Journal of Environmental Research and Public Health pada 26 Oktober 2020 ini memberikan beberapa kejelasan tentang peran cuaca dalam infeksi Covid-19. Kesimpulannya, suhu dan kelembaban tidak memainkan peran penting dalam penyebaran SARS-CoV-2. Penularan Covid-19 dari satu orang ke orang lain hampir seluruhnya bergantung pada perilaku manusia.
Mobilitas memiliki dampak yang lebih dominan daripada cuaca. (Dev Niyogi)
”Mobilitas memiliki dampak yang lebih dominan daripada cuaca,” kata Dev Niyogi, profesor di Sekolah Geosains Jackson UT Austin dan Sekolah Teknik Cockrell yang memimpin penelitian. Anggota peneliti lain adalah Sajad Jamshidi, asisten peneliti di Purdue University, dan Maryam Baniasad, kandidat doktor di Ohio State University.
Studi tersebut mendefinisikan cuaca sebagai ”suhu udara ekivalen” yang menggabungkan suhu dan kelembaban menjadi satu nilai. Para ilmuwan kemudian menganalisis bagaimana nilai ini dilacak dengan penyebaran virus korona di banyak wilayah dari Maret hingga Juli 2020 dengan skala mereka, mulai dari negara bagian hingga wilayah lebih kecil.
Pada skala distrik dan negara bagian, para peneliti juga menyelidiki hubungan antara infeksi virus korona dan perilaku manusia, menggunakan data telepon seluler atau ponsel untuk mempelajari kebiasaan bepergian.
Hasilnya, para peneliti menemukan bahwa cuaca hampir tidak berpengaruh dalam penyebaran wabah ini. Jika dibandingkan dengan faktor lain menggunakan metrik statistik yang menguraikan kontribusi relatif dari setiap faktor terhadap hasil tertentu, kepentingan relatif cuaca di skala distrik kurang dari 3 persen, tanpa indikasi bahwa jenis cuaca tertentu mendorong penyebaran di atas yang lain.
Sebaliknya, data menunjukkan pengaruh yang jelas dari perilaku komunitas dan individu. Melakukan perjalanan dan menghabiskan waktu di luar rumah adalah dua faktor utama yang berkontribusi terhadap penularan Covid-19, yaitu masing-masing sekitar 34 persen dan 26 persen. Dua faktor penting berikutnya adalah populasi dan kepadatan perkotaan, masing-masing sekitar 23 persen dan 13 persen.
”Kita seharusnya tidak menganggap masalah Covid-19 ini sebagai sesuatu yang didorong oleh cuaca dan iklim,” kata Jamshidi. Covid-19, menurut dia, tidak ada hubungannya dengan cuaca dingin atau panas. Namun, perilaku manusia selama musim dingin atau panas tersebut yang bisa berpengaruh terhadap penyebaran.
Baniasad, ahli biokimia mengatakan, asumsi tentang bagaimana virus korona akan merespons cuaca sebagian besar disampaikan oleh penelitian dari data sekunder atau eksperimen di laboratorium. Padahal, untuk memahami penyebaran penyakit menular, kita harus lebih lebih fokus pada komunitas manusia yang bisa membawa virus ini.
”Ketika Anda mempelajari sesuatu di laboratorium, itu merupakan lingkungan yang diawasi. Sulit untuk membandingkan dengan skala masyarakat,” katanya.
Salah satu pelajaran penting dari pandemi Covid-19 adalah pentingnya menganalisis fenomena pada ”skala manusia”, skala di mana manusia menjalani kehidupan sehari-hari. Dalam skala ini, penyebaran penyakit tersebut lebih ditentukan oleh perilaku kita dibandingkan oleh cuaca.
Alih-alih berharap pada musim yang akan meredakan sendiri wabah ini, kita kini mesti mengantisipasi ancaman ganda dari bencana hidrometeorologi atau bencana alam selama pandemi. Bencana alam yang diikuti pengungsian bakal mempersulit upaya menjaga jarak sosial dan pada akhirnya berisiko meningkatkan penularan Covid-19.