Warga masih kesulitan jika ingin mendapatkan pelayanan tes PCR di sejumlah daerah. Sebab, Puskesmas tidak melayani pengambilan sampel PCR. Warga dapat menjalani tes PCR ke RSUD jika hasil tes cepat antibodi reaktif.
Oleh
HARRY SUSILO/KURNIA YUNITA RAHAYU/DHANANG DAVID ARITONANG/IRENE SARWINDANINGRUM/BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·6 menit baca
Tiga hari setelah kematian anaknya, Tati (46) merasa sedih bercampur takut. Pikirannya berkecamuk. Belum habis air mata berlinang karena ditinggal anaknya, Tati kini khawatir terjangkit Covid-19.
Dugaan tersebut muncul seiring dengan batuk parah yang diderita Tati selama hampir sepekan, pada Juli lalu. Meski sudah berobat ke Puskesmas Banjarnegara 1, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, ia belum juga sembuh. Kondisi warga Kelurahan Argasoka, Banjarnegara, itu justru kian mengkhawatirkan karena disertai demam.
“Waktu kedua kali berobat ke Puskesmas, saya diminta untuk tes swab PCR (tes usap dengan metode reaksi berantai polimerase) di RSUD (rumah sakit umum daerah),” ujar Tati saat ditemui di rumahnya, Sabtu (7/11/2020).
Permintaan dokter sontak membuatnya bingung. Sebab, pedagang kelapa muda dan mi ayam itu harus memeriksakan diri pada hari yang sama, tanpa rujukan resmi serta petunjuk detil dari Puskesmas. “Langsung disuruh ke RSUD aja. (Menjadi pasien) mandiri,” kata Tati.
Padahal, pengetahuannya tentang penyakit dan ragam pengujian Covid-19 minim. Kebingungan Tati kian berat karena bercampur kesedihan karena anak bungsunya meninggal akibat penyakit paru-paru dan gagal ginjal.
Bungsu dari tiga bersaudara itu awalnya dicurigai menderita Covid-19. Ia ditangani di Puskemas Banjarnegara 1, lalu RSUD Hj Anna Lasmanah, Banjarnegara, hingga ke rumah sakit di Cilacap, sebagai pasien dalam pengawasan. Almarhum juga sempat dites PCR meski hasilnya baru keluar setelah ia meninggal dunia. “Hasil tes anak saya negatif,” ucap Tati.
Sambil menangis terisak-isak, Tati akhirnya berangkat ke RSUD Hj Anna Lasmanah ditemani suami. Di sana, mereka tidak membutuhkan waktu lama untuk menemukan tempat pendaftaran dan pengambilan spesimen dari tenggorokan dan hidung. Tidak ada pula ada antrean yang menghambat.
Dipungut biaya
Namun, tes usap PCR belum bisa didapatkan secara gratis. Setiap warga harus membayar Rp 700.000. Pemeriksaan spesimen Tati pun tuntas dalam dua hari, ia tidak terinfeksi virus SARS Cov-2.
Menurut Tati, tarif itu sudah lebih murah ketimbang pada bulan-bulan awal pandemi terjadi. Ia menyayangkan, pengetesan tidak bisa dibayar melalui kepesertaan di Jaminan Kesehatan Nasional Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). “Iya, katanya pakai BPJS (Badan Pengelola Jaminan Kesehatan) enggak bisa,” kata Tati.
Tes PCR yang masih berbayar menyebabkan warga lain juga enggan berinisiatif untuk melakukan tes. Narti (46), misalnya, meski setiap hari berisiko tertular karena bekerja mengantar jemput pegawai dan pasien Puskesmas tetap tidak mau memeriksakan diri. Tarif tes dirasa terlalu mahal bagi pengojek seperti Tati.
Kesulitan warga mendapatkan tes usap PCR bermula dari ketiadaan layanan di Puskesmas. Ketika Kompas mendatangi Puskesmas Banjarnegara 1 pada awal November, tidak ada ruang khusus untuk mengambil sampel spesimen PCR. Sejumlah petugas Puskesmas membenarkan bahwa pasien yang bergejala covid-19 atau ingin mengetes usap PCR akan diminta untuk langsung ke RSUD Hj Anna Lasmanah. Tidak ada alat pengambilan sampel, apalagi mesin PCR.
Tidak hanya di Banjarnegara, di sejumlah daerah lain, warga juga merasa kesulitan saat ingin melakukan tes PCR. Seperti dirasakan Lukman (46), warga Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Ia awalnya ingin tes PCR secara mandiri di RSUD Cibinong, namun tidak bisa karena hasil tes cepat (rapid test) non-reaktif.
"Saya baru tahu, kalau di RSUD Cibinong ini warga baru bisa ikut tes PCR jika telah mengikuti rapid-test terlebih dahulu. Kalau hasil rapid testnya non-reaktif, tidak bisa ikut test PCR," ucapnya saat ditemui di RSUD Cibinong, Bogor.
Lukman menyayangkan prosedur tersebut karena ia merasa perlu untuk mengikuti tes PCR setelah bepergian dari luar kota. Menurut ia, seharusnya RSUD dan Puskesmas di tiap daerah bisa memberikan layanan tes PCR secara mandiri.
Hal senada juga diungkapkan Siti (43), warga Kabupaten Bogor yang tidak bisa mengikuti tes PCR di RSUD Cibinong. Menurut ia, hasil rapid test tidak akurat dan ia perlu mengikuti tes PCR mandiri.
"Saudara saya ada yang positif Covid-19. Karena saya khawatir tertular, saya ingin tes PCR. Tapi, di RSUD Cibinong, saya malah diminta untuk ikut rapid test dahulu. Kalau hasilnya reaktif baru bisa ikut tes PCR," ucap Siti kecewa.
Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor Achmad Zaenudin mengakui, Pemkab Bogor tidak lagi memfokuskan anggaran untuk pelaksanaan tes PCR yang masif, melainkan untuk membantu pasien positif Covid-19 untuk isolasi mandiri.
"Penanganan Covid itu seharusnya berupa peran aktif masyarakat dengan cara-cara preventif. Ini kan sudah masuk kluster keluarga. Kalau yang kita siapkan hanya alat-alat PCR menurut saya akan terjadi penghamburan biaya," kata Achmad.
Jumlah tes rendah
Adapun di Banjarnegara, pemeriksaan PCR secara masif tidak menjadi prioritas pemerintah daerah dalam penanganan pandemi. Realokasi anggaran penanganan Covid, di bidang kesehatan pun hanya Rp 13,7 miliar atau 0,6 persen dari total anggaran Banjarnegara.
Merujuk data Pemerintah Provinsi Jateng, jumlah tes di Banjarnegara masih jauh dari standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menetapkan rasio tes PCR 1 per 1.000 penduduk setiap pekan. Pada akhir Oktober 2020, ada 151 orang yang dites per pekan. Padahal, semestinya 928 orang yang dites per minggu.
Minimnya realokasi anggaran kesehatan penanganan Covid-19 di Banjarnegara juga bukan karena faktor ketersediaan anggaran. Sebab, di lain sisi, Pemkab Banjarnegara tetap menggenjot proyek infrastruktur di tengah pandemi. Bupati Banjarnegara Budhi Sarwono memastikan, anggaran pembangunan jalan sebesar Rp 300 miliar pada APBD 2020 tidak akan dipangkas meskipun daerah terdampak Covid-19.
“Covid apa..? Tetap pembangunan infrastruktur itu harus karena itu adalah fasilitas untuk rakyat. Orang kecil banyak yang kerja. Kunci kepala daerah ya infrastruktur aja. Enggak usah mikirin pendidikan, mikirin kesehatan, enggak perlu. Akses yang perlu,” kata Budhi Sarwono yang juga berlatar belakang pengusaha bidang konstruksi jalan, di rumah dinasnya, awal November.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Na Endi Jaweng menilai, salah satu indikator lemahnya komitmen kepala daerah dalam penanganan Covid-19 adalah minimnya realokasi anggaran Covid-19 di bidang kesehatan. Padahal, anggaran pemerintah daerah sebenarnya memadai. “Jadi ironi kalau ada pemda yang membangun infrastruktur gede-gedean tapi anggaran penanganan Covid-nya rendah. Berarti kepala daerahnya tidak menganut prinsip bahwa keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi,” kata Robert.
Rendahnya tes PCR sebagai bagian dari pelacakan kasus Covid-19 di Banjarnegara memang sebuah paradoks saat menyaksikan spanduk besar dengan foto Bupati Budhi Sarwono yang terpampang di Pendopo Rumah Dinas Bupati Banjarnegara bertuliskan “Keselamatan Rakyat Merupakan Hukum Tertinggi”.
Adagium dari bahasa latin Salus populi suprema lex esto tersebut diungkapkan pertama kali oleh filsuf Romawi Marcus Tullius Cicero lebih dari 2 abad silam. Semoga saja bukan menjadi slogan kosong di Banjarnegara maupun daerah lain yang diterpa pandemi.