Masnah Jafar, ”Koki” Andal di Tenda Pengungsian
Masnah Jafar tak mengenal lelah membantu para pengungsi di daerah bencana dengan memasak makanan paling enak. Ribuan pengungsi pernah mencicipi masakannya.
Masnah Jafar (51) menjelma menjadi juru masak utama di dapur tenda pengungsian saat terjadi bencana alam. Dari musibah di Balikpapan, gempa dan tsunami Palu, hingga gempa Mamuju, masakannya tersedia untuk menjamu ribuan pengungsi.
Berbekal sebilah pisau dan celemek yang menutupi dasternya, Masnah memotong tipis daging kambing di atas tempayan. Urat daging dicek dulu sebelum diiris. Tenda biru menjadi atap sekaligus penghalang dengan panas matahari pagi yang mulai terik di Posko Muhammadiyah yang berada di Rimuku, Mamuju, Sulawesi Barat, Sabtu (30/1/2021).
Di sebelahnya, tujuh ibu-ibu melakukan hal serupa. Tiga kambing baru saja dipotong tim sukarelawan di Posko Muhammadiyah untuk penyintas gempa Sulawesi Barat. Posko ini merupakan kerja sama Muhammadiyah Disaster Management Center, Lazismu, dan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
Setelah tuntas, ibu satu anak ini beranjak ke jejeran kompor yang berjarak beberapa langkah di sebelah kanan. Kuali seukuran meja bundar oshin diletakkan di atas kompor. Air bersih dimasukkan ke kuali. Setelah panas, daging kambing yang telah dipotong kecil dimasak. Sesudah mendidih, air masakan daging dibuang.
”Biar dagingnya tidak keras dan baunya tidak nempel. Sama kayak tetelan dan yang ada lemaknya itu juga sudah kita masak lebih dulu dan buang airnya. Biar tidak banyak lemak. Kami juga tidak kasih pedas karena yang makan bukan cuma orang dewasa, tetapi anak-anak juga. Kasihan, kan, kalau kepedasan, terus kolesterol tinggi,” ujar Masnah sembari menyiapkan wajan dan perlengkapan tempur dapur lainnya.
Lalu, bumbu diaduk dan gulai kambing mulai diolah. Satu jam setelahnya, pukul 12.00 lebih beberapa menit, gulai kambing disajikan untuk sukarelawan dan dibagikan kepada pengungsi yang telah mengantre. Pengungsi ini dari sejumlah daerah di Mamuju.
Harum gulai menguar dan memanggil untuk dinikmati. Rasa gulai daging kambing ini menempel di lidah. Bumbu gulai menempel di potongan daging kambing yang serasa daging sapi. Entah karena lapar, atau memang rasanya yang dahsyat. ”Masak untuk pengungsi itu harus kita samain masak untuk sendiri. Jangan karena untuk pengungsi, dikurang-kurangin. Malah mereka ini harus makan enak karena sudah tertimpa bencana,” ujarnya.
Dibantu rekan-rekannya, ia adalah juru masak utama di posko yang bisa melayani hingga 6.000 orang dalam sehari. Tugas utamanya ialah mulai dari meracik bumbu, mengolah masakan, hingga mengusulkan menu.
Masnah seperti tak mengenal lelah, pekerjaannya belum berhenti selepas memasak. Ia bergabung dengan sukarelawan lainnya membungkus gulai. Padahal, di tangan kanannya, dua perban kecil masih menempel. Perban itu menutupi bekas jarum untuk transfusi darah dan infus. Di lengan kirinya ada bekas transfusi.
Pada Kamis (28/1/2021) pagi, cerita Masnah, ia merasa sedikit pusing. Tim kesehatan sukarelawan Muhammadiyah memeriksa Masnah. Hasilnya, tekanan darah normal, tetapi hemoglobin (Hb) dalam darah rendah.
Ia lalu dirujuk ke RS Bhayangkara Mamuju untuk mendapatkan perawatan. Di sana ia diinfus sebanyak lima kantong dan ditransfusi dua kantong darah. Karena kondisinya yang lemah, ia dirawat semalam di rumah sakit.
Beberapa jam beristirahat, ia bangun pukul 02.00. Setelah shalat, ia mulai menuju dapur umum untuk memasak hingga jelang pagi hari. Mandi pagi dilakukan setelah menunaikan shalat Subuh.
”Lumayan sehat sudah dirawat. Yang penting bisa masak lagi karena sarapan itu harus kelar sebelum jam 06.00. Biar sukarelawan dan pengungsi langsung makan setelah bangun,” ucap perempuan yang berasal dari Balikpapan ini. Sarapan yang dibuat bisa mencapai 1.000 hingga 2.000 porsi setiap hari.
Setelah sarapan, tugas Masnah tidak kunjung usai. Pekerjaan di dapur umum masih menunggu. Menu makan siang harus disiapkan. Ia pun kembali dengan aktivitas memasak, seperti memotong sayur dan mengolah bumbu.
Setelah selesai, baru ia menuju kamar yang disiapkan untuk ibadah beberapa menit. Sebab, bahan untuk makan malam juga harus disiapkan. Begitulah rutinitas yang dilakoninya selama lebih dari sepekan di Mamuju.
Menu sarapan, makan siang, juga malam, berbeda setiap hari. ”Biar pengungsi tidak bosan makannya. Masak tiap hari telur. Yang penting itu lauknya gantian, kalau hari ini ayam, besok daging,” katanya.
Daerah bencana
Setelah gempa berkekuatan M 6,2 mengguncang Majene hingga Mamuju, Jumat (15/1), Masnah yang juga Bendahara Divisi Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana Pengurus Daerah Aisyiah Balikpapan mulai bergerak. Bersama rekan-rekannya, mereka menggalang dana dan donasi. Ia juga berkoordinasi dengan pengurus lain di beberapa wilayah.
Setelah dana terkumpul dan ia dipastikan berangkat ke Mamuju, Masnah membeli sejumlah bumbu masakan. Ia khawatir dengan kondisi gempa, berupa-rupa bumbu akan sulit didapatkan. Rabu (20/1), ia tiba di Mamuju bersama lima ibu-ibu lainnya. Mereka adalah tim tempur di dapur umum. Menurut rencana, mereka tinggal selama dua pekan di Mamuju untuk mengurus makanan pengungsi.
Setelah izin kepada anak semata wayangnya yang saat ini telah remaja, ia berangkat. ”Anak saya tinggal sama sepupunya. Suami saya sudah meninggal sembilan bulan lalu. Kena diabetes, sakit, dan meninggal,” tuturnya ringan.
Tidak hanya kali ini Masnah dan rekan-rekannya memasak saat bencana. Pada gempa Palu tahun 2018, sekitar satu pekan setelah gempa dahsyat tersebut, ia dan ibu-ibu lainnya telah tiba di posko pengungsian Muhammadiyah.
”Kami tiga Minggu di sana masak. Masih lihat, tuh, korban di pinggir jalan. Prihatin sekali liatnya,” tuturnya.
Meski demikian, ia mengaku tidak takut melihat jenazah. ”Saya kerjaannya juga mandiin jenazah dari tahun 90-an. Kalau takut tidak, hanya sedih lihatnya dalam satu waktu banyak yang meninggal.”
Masak untuk pengungsi itu harus kita samain masak untuk sendiri. Jangan karena untuk pengungsi, dikurang-kurangin. Malah mereka ini harus makan enak karena sudah tertimpa bencana.
Sejak beberapa tahun lalu, ia menceritakan, terlibat dalam dapur umum telah ia lakukan. Salah satunya, saat kebakaran di permukiman di Balikpapan yang membuat ratusan warga mengungsi. Bersama rekan-rekannya, ia juga turut membuka posko dapur umum.
Saat pandemi, mereka berinisiatif berbagi makanan setiap Jumat. Beramai-ramai mereka menumpang mobil, mencari warga yang kesulitan untuk makan. Kegiatan rutin dilakukan sejak pertengahan tahun lalu.
Setiap ada musibah atau bencana, hati Masnah langsung tergerak. Dengan menggunakan dana pribadi atau dana organisasi, ia berupaya memberi bantuan. Memasak adalah keahliannya, maka ia membuat makanan untuk pengungsi atau mereka yang tertimpa musibah.
Memasak untuk orang yang tertimpa musibah membuat Masnah merasa bahagia. Ia sudah sangat senang ketika melihat orang memakan masakannya dengan lahap.
Kemampuan memasak Masnah, ia menceritakan, turun dari ibunya yang memang dikenal tukang masak kampung. Mengikuti jejak sang ibu, ia kini menjadi tukang masak untuk pesta, seperti pernikahan atau khitanan. Ia menerima panggilan ke rumah orang atau membuatkan masakan di rumah, lalu mengantarnya.
Ia mulai belajar memasak sejak remaja. Selain ibunya, ia belajar dari seorang tetangganya yang bernama Endang yang berprofesi sebagai chef. Dari situ, kemampuan mengolah berbagai jenis masakan semakin bertambah.
”Waktu nikahan itu saya masak sendiri. Masa lagi di-make up, ditanyain sama orang dapur, apa lagi bumbunya, tambah garam tidak?” ucapnya sembari tertawa.
Baca juga: Perjuangan Penyintas Gempa Mamuju Majene
Memasak bagi Masnah memang sebuah panggilan hidup. Namun, ada hal yang bisa membuatnya melempar celemek dan meninggalkan dapur, yaitu ketika ada panggilan untuk memandikan jenazah.
Menurut Masnah, memasak masih bisa dikerjakan oleh orang lain. Sementara memandikan jenazah itu hanya sedikit orang yang tahu. ”Pernah juga pas masak acara kawinan ada panggilan orang meninggal. Ya saya tinggalin. Rezeki, umur, jodoh itu rahasia Allah. Kita berbuat saja sebaiknya,” ucapnya.
Ia akan terus turun membantu saat ada musibah di sekitarnya. Namun, ia juga berharap tidak terjadi bencana lagi yang menghilangkan nyawa banyak orang.
Masnah Jafar
Lahir: Balikpapan, 30 Juni 1969
Suami: Faizal Fanani (almarhum)
Anak: 1
Pekerjaan: Juru masak acara pernikahan dan memandikan jenazah
Organisasi:
- Wakil Ketua Aisyiah Cabang Balikpapan Barat, Balikpapan, Kalimantan Timur
- Bendahara Divisi Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana Pimpinan Daerah Aisyiah Balikpapan, Kalimantan Timur