Petugas kamar mayat berhenti pada lemari pendingin, dia menoleh padamu. Kau membetulkan letak maskermu yang sedikit melorot, menariknya kembali mendaki batang hidungmu. Suasana pandemik Covid-19 membuatmu tak leluasa untuk bergerak terlalu jauh, tersebab beberapa kota tetangga menerapkan aturan yang cukup ketat untuk pedatang. Di beberapa kota, kau bernasib baik, karena hanya dengan salinan laporan hilangnya istrimu di kepolisian, kau dapat leluasa untuk keluar masuk kota itu. Di beberapa kota lain yang termasuk wilayah zona merah, kau harus sedikit kesulitan karena harus melewati beberapa pemeriksaan, termasuk pemeriksaan kesehatan.
”Kondisi jenazah sudah membengkak,” ucap petugas kamar mayat tiba-tiba, kau menarik garis lurus lewat tatapan mata, ”Perkiraan kami, dia sudah meninggal lebih dari tiga hari sebelum ditemukan. Bisa lima atau enam hari. Jadi mungkin Anda akan sedikit kesulitan mengenalinya. Namun saya sangat yakin, Anda dapat mengenali istri Anda dengan baik, kan?” petugas itu tersenyum. Kau menelan ludah.
Dia sedikit tertawa dan mendengus, ”Siapa sih yang tidak mengenali istrinya dengan baik? Apalagi Anda sudah menikah lebih dari dua puluh tahun seperti yang Anda ceritakan tadi. Ohya, dua puluh lima tahun,” dia menyentuh pegangan pada lemari pendingin jenazah, ”Sudah pasti, Anda dapat mengenali setiap jengkal dan lekuk tubuh istri Anda. Dua puluh lima tahun bukan waktu yang sebentar.”
Kau tidak menggubris ucapan petugas kamar mayat itu, sebaliknya kau justru tengah menahan napas dan digerogoti pikiran sendiri.
Bagaimana bila aku tidak mengenalinya?
”Jenazahnya masih utuh,” ucap petugas itu lagi, ”Cukup utuh. Hanya beberapa bagian yang menghilang. Kemungkinan petugas tidak dapat membawa serpihan daging itu. Dagingnya sudah terlalu lembek, jadi begitu mudah lepas dan terjatuh, berserakan di semak-semak tempat mayat ditemukan. Saya rasa ada beberapa bagian yang sudah menjadi bubur dan mencair.”
Kau tak berkata-kata, hanya menunggu. Petugas kamar jenazah ini terlihat menyebalkan di matamu, dia seolah mengulur waktu dan berusaha menikmati ketegangan, kecemasan, ketakutan dan berbagai rasa yang berkecambah di wajahmu. Dia seolah seorang psikopat yang tengah merasakan sensasi luar biasa ketika korbannya didera rasa takut dan sakit yang tak terperih. Matanya membulat dan berbinar-binar.
”Maaf,” ucapmu dengan suara yang serak dan kering, ”Bisakah….”
”Oh,” dia seolah terkejut, kau tahu, dia pasti berpura-pura, ”Tentu saja,” ucapnya, cepat dan dia segera menarik penutup lemari pendingin jenazah. Terdengar derit yang sedikit menyayat, mungkin engselnya sudah berkarat. Uap dingin melayang-layang saat penutup itu ditarik, jenazah itu terbaring di sana. Diam. Pucat dan kehitaman. Kau, sekali lagi, menelan ludah. Tungkaimu sedikit berat saat melangkah, petugas kamar mayat itu menggeser kakinya, membiarkan dirimu untuk lebih leluasa melihat jezanah yang terbaring kaku itu.
Cukup utuh. Hanya beberapa bagian yang menghilang. Kemungkinan petugas tidak dapat membawa serpihan daging itu. Dagingnya sudah terlalu lembek, jadi begitu mudah lepas dan terjatuh, berserakan di semak-semak tempat mayat ditemukan. Saya rasa ada beberapa bagian yang sudah menjadi bubur dan mencair.
Bau formalin sedikit menyengat, menembus masker berwarna putih yang kau kenakan. Walau sayup, tetapi hidungmu masih bisa mengedus bau bacin mayat yang telah membusuk. Ingatan akan bau tubuh istrimu, seketika menguap, diterjang bau mayat yang mengobrak-abrik lubang hidungmu.
Hei, seperti apa baumu?
Kau tiba-tiba tak bisa mengingat dengan jelas dan pasti bau tubuh istrimu. Mungkinkah seperti bau minyak wangi favoritnya? Dia menyukai wangi mawar. Namun kau tak yakin, apakah istrimu menggunakan parfum dengan aroma mawar? Kepalamu berdenyut, kenapa banyak hal sepele yang tak bisa kau ingat tentang istrimu?
”Tak ada tanda spesifik pada jenazah,” tahu-tahu petugas kamar mayat itu sudah berdiri di sisi berseberangan denganmu, kau tak menyadari ketika dia berpindah, ”Tak ada tato, tak ada bekas luka yang bisa jadi ciri fisik, atau tanda lahir,” dia seolah tak peduli padamu yang tak menjawab sepatah kata pun.
Kau menggeleng, ”Bukan,” suaramu lirih, nyaris tak terdengar.
“Ya,” petugas itu menatapmu.
”Dia bukan istri saya,” ucapmu.
”Anda yakin?” petugas itu seakan sangsi, kau dapat merasakan nada kecewa dari suaranya. Mungkin dia bosan mengurus mayat tanpa identitas, jadi dia berharap mendengarmu berkata, ‘Ya, dia istri saya. Saya akan mengambil jenazahnya,’ dengan demikian tugasnya pastilah akan sedikit berkurang, sebelum mayat-mayat tanpa identitas lainnya datang menyerbu dan meminta perhatian, waktu dan tenaganya.
”Ya, saya yakin,” kau segera melengos dari jenazah.
”Tapi Anda belum melihat dengan saksama,” dia masih berharap.
”Seperti yang Anda bilang, saya tentu mengenali istri saya dengan baik.”
Dan mulutnya seketika terkunci. Dia mendorong jenazah kembali ke dalam lemari pendingin, sementara kau melontarkan tubuhmu yang penat ke arah pintu keluar.
***
Pernyataan demi pernyataan yang diguyurkan petugas kamar mayat itu telah menggerogoti isi kepalamu, menggiringmu pada sebuah pertanyaan yang dulu tak akan pernah melintas di benakmu, seberapa kenal aku dengan istriku?
Apakah dia punya tanda lahir? Kau merasa ini sangat memalukan. Setelah dua puluh lima tahun menikah, tidur seranjang dan berhubungan seks rutin, kau justru tak dapat mengingat dengan baik jengkal demi jengkal tubuh istrimu. Apa dia punya tanda lahir? Apa dia punya bekas luka yang dapat menjadi ciri khas?
Apa dia punya tahi lalat di suatu tempat yang kau ingat? Bagaimana bentuk pusarnya? Dalamkah atau justru menyembul keluar? Kemudian daun telinganya, lancip, lebar atau seperti apa? Bagaimana dengan payudaranya?
Tubuhmu menggigil. Kau tak dapat mengingatnya. Jadi, selama dua puluh lima tahun hidup bersama, apa yang kau ingat dan kenali dari istrimu?
Saat kau menyadari semua ini, kau merasa seperti tokoh dalam cerita pendek yang ditulis Pyun Hye-young di Potongan Tubuh. Laki-laki yang diminta mengenali istrinya yang tenggelam pada sebuah danau hanya dari sepotong kaki yang ditemukan. Kau ingat, sewaktu membaca cerita pendek itu di akhir pekan, kau hanya mendengus dan tak percaya, masak iya seorang laki-laki tidak dapat mengenali istri yang dia nikahi selama bertahun-tahun. Sekarang, kau termakan ketidak-percayaanmu sendiri. Jika tokoh cerita Hye-young tak dapat mengenali istrinya, pastilah wajar, karena hanya sepotong kaki yang disodorkan padanya, sementara dirimu tak dapat membedakan jenazah utuh di kamar mayat itu istrimu atau bukan. Kau tiba-tiba merasa, betapa menyedihkan semua ini.
***
”Apa Anda ingat ciri spesifik dari istri Anda?” petugas kamar mayat itu membuyarkan pikiranmu, kau meluruskan punggung, udara yang terhembus dari hidungmu terperangkap dalam masker, ”Jenazah perempuan ini kami perkirakan berumur sekitar lima puluh tahun. Ada cincin kawin di jari manisnya, tetapi cincin itu tanpa nama.”
Petugas itu menyodorkan sebuah cincin dalam bungkus plastik. Kau mengamati cincin itu. Jantungmu berdetak. Bentuknya mirip dengan cincin kawin di jarimu. Petugas itu sepertinya menyadari kesamaannya.
Baca juga: Saat Bertemu Suamiku
”Apa istri Anda punya tato kecil di salah satu pantatnya?”
”Apa?” kau terkejut.
”Jenazah ini punya sebuah tato di pantat kanannya. Sebuah nama.”
”Tato,” kau merasa kepalamu berputar lantaran usaha keras memeras ingatan.
Apa kau punya tato? Tanyamu pada cincin kawin yang ada dalam bungkus plastik di tanganmu. Tak ada jawaban. Kau memejamkan matamu, berusaha memanggil memori yang tercerai-berai, apakah pernah, sekali saja, dalam hidupmu kau melihat pantat istrimu sebelah kanan dan menemukan tato di sana. Tapi kau tak punya ingatan itu.
”Apa nama yang jadi tato itu?” suaramu serak.
”Jusawi,” suara petugas kamar mayat itu seperti sabetan pisau yang membelah kepalamu, isinya tumpah, berhamburan dan mengotori lantai. Ingatan akan istrimu berserakan di sana, tercerai-berai, seperti potongan-potongan puzzle yang meminta untuk disusun.
Siapa kau sebenarnya? tanyamu dan cincin kawin itu tetap membisu. []
Pali, Juni 2020
***
Guntur Alam, buku kumpulan cerpennya, Magi Perempuan dan Malam Kunang-kunang, Gramedia Pustaka Utama, 2015. Buku terbarunya yang akan segera terbit di Elex Media Komputindo, yakni Ritual (Juli, 2020) dan Tumbal (Agustus, 2020). Dia bermukim di rumah kicau @AlamGuntur dan rumah narsis @gunturalam_.