Malam itu aku membantu ibumu lahiran. Saat semua orang memaksa bapakmu membawa Dewi Sri ke bidan desa atau rumah sakit, ibumu justru ngotot lebih percaya padaku, dukun bayi yang selama ini hanya punya bekal titen.
Kalau tidak salah ingat, kamu itu anak kelima yang lahir dari rahim Dewi. Meski dalam hitungannya sekarang, orang-orang lebih familiar dengan empat serangkai. Tapi lupakan soal itu. Hari ini aku ingin membayar utang cerita yang sempat tersendat tempo hari.
Sore itu, bapakmu menggedor-gedor pagar rumahku. Ia minta aku segera bersiap-siap. Aku hanya diberi waktu kurang dari 10 menit untuk mengambil beberapa jarik dan setelah aku keluar dan mengunci pintu rumah, buru-buru bapakmu menarik lenganku, seperti melesat.
Jam lima sore, ibumu sudah buka tiga. Tak ada yang aneh, selain ibumu juga mengeluarkan banyak darah, seperti orang haid saja. Darah yang bergumpal-gumpal, merah-hitam dan pekat.
Waktu maghrib yang kala itu tiba pukul enam lebih sedikit, aku membantumu keluar dari perut Dewi. Memang tidak sulit, tapi yang membuat orang-orang di sekeliling bapakmu takut karena kamu keluar bersama darah pekat itu, baunya anyir segar dan sangat banyak.
”Apa yang bapak lakukan waktu sadar banyak darah yang dikeluarkan ibu, Mbok?”
Aku tidak sempat memperhatikan ekspresi bapakmu. Tapi aku yakin dia orang yang paling tidak siap dengan semua itu. Tidak siap dengan kelahiranmu dan tidak siap menerima rasa sakit yang dialami ibumu.
”Sebentar, Mbok. Bagaimana orang-orang tahu kalau aku lahir bersama banyak darah?”
Aku yang membantu ibumu berbaring di lantai ubin kamar tengah, tanpa alas apa pun. Lantai ubin dingin yang posisinya lebih tinggi itu mendorong darah yang keluar dari liang ibumu mengalir ke segala arah, ke tempat paling rendah, ke luar dari pintu kamar tengah.
Oh iya, kamu sengaja dilahirkan di sentong tengah sesuai permintaan ibumu. Sebab, sentong itu jadi tempat ibumu menghabiskan waktu sembahyang dan bertemu dengan Sanghyang Asri, Dewi yang dihormatinya sepanjang hayat.
Aku salut saat pertama kali mendapat cerita dari mbah putrimu, soal ibumu yang di zaman modern seperti ini masih menaruh setia pada biangnya kesuburan, Dewi Sri, yang dianggap sebagai pengendali kehidupan, mengatur rezekimu yang selalu cukup.
Jadi wajar jika kemudian seluruh isi rumahmu menaruh hormat pada ibumu, Dewi Sri. Sebab berkat kesetiannya itu, keluarga besarmu tidak pernah satu kali pun mengalami gagal panen, apalagi sampai kelaparan.
”Apa itu juga sebabnya namaku sama seperti nama ibu?”
Begitulah. Ibumu dan kelahiranmu adalah dua simbol yang tidak bisa kami maknai secara utuh. Jauh sebelum ibumu mengandung anak pertama, mbah putri sempat mendatangiku, beberapa kali hanya untuk menceritakan mimpinya yang sama. Tahu kamu apa yang dimimpikan mbah putri? Dia memimpikan kelahiranmu.
Benar, Nduk. Jadi apa yang kulakukan saat menolong kelahiranmu, semacam sudah diramalkan oleh mbah putrimu sendiri. Dan selang sepersekian menit setelah aku membersihkan bekas darah di tubuhmu, semilir angin memberi bisikan bahwa Dewi Sri telah melahirkan Dewi Sri. Ibumu telah melahirkanmu, Dewi Sri yang baru.
”Tapi kenapa beberapa orang menyebutku sudah melenyapkan ibu?”
Orang-orang yang melihat aliran darah pekat keluar dari kamarmu pasti ketakutan. Aku saja ngeri jika tidak melihat sorot mata ibumu yang menandakan semuanya baik-baik saja. Kukira wajar jika perkara darah yang membersamaimu dianggap sebagai pertanda buruk.
Jadi wajar jika kemudian seluruh isi rumahmu menaruh hormat pada ibumu, Dewi Sri. Sebab berkat kesetiannya itu, keluarga besarmu tidak pernah satu kali pun mengalami gagal panen, apalagi sampai kelaparan.
Tapi percayalah, Nduk. Anggapan itu akan berangsur lepas pesat sampai nantinya kamu tidak akan mendengarnya lagi. Seperti yang kukatakan berulang kali, kamu bukan penyebab dari apa-apa yang tidak kamu lakukan. Termasuk perkara hidup mati ibumu. Bukankah tiap-tiap kita memang sudah semestinya berawal dan berakhir? Begitu juga ibumu, dan aku atau kamu juga akan berakhir nanti, suatu hari.
Baca juga : Kuburan Kopi
Dewi Sri itu, selain dimaknai sebagai penguasa kelahiran dan kesuburan, ia juga mengendalikan kemiskinan dan bencana, memengaruhi kematian. Semua tergantung pemaknaan. Jadi kuingatkan lagi. Kelahiranmu mesti bisa kamu maknai sendiri. Titenono! Kabeh perkoro mesti biso dititeni. Ada pola yang suatu saat bisa kamu baca dan pahami. Dan karena itu, Nduk… berhentilah menyalahkan kehadiranmu di bumi Tuhan ini.
Rizka Hidayatul Umami: Lahir di Tulungagung, 28 Juni 1996. Saat ini, dia sedang menyukai sastra dan isu-isu perempuan dan anak. Bisa disapa via IG: @morfo_biru, Twitter: @morfo_biru, Facebook: Tacin.