Bergulat dengan Bau Menyengat di Pesisir Karawang
Terjadi kebocoran pada anjungan lepas pantai Pertamina di pesisir Karawang. Cemaran minyak di laut menimbulkan bau menyengat yang membuat pusing, mual, hingga sesak napas. Bagaimana wartawan Melati Mewangi menghadapinya?
Tiga bulan setelah saya bertugas di Karawang, terjadi musibah tumpahan minyak di pesisir utara daerah lumbung padi ini. Hari-hari saya pun kemudian diwarnai bau limbah menyengat dan puluhan kilometer perjalanan di bawah cuaca terik.
Namun, pengalaman meliput peristiwa ini memberikan pelajaran tentang tekad untuk berkonsentrasi dan bertahan dalam situasi yang tidak mengenakkan.
Kabar adanya tumpahan minyak saya terima akhir bulan Juli. Kasus ini terjadi akibat kebocoran pada anjungan lepas pantai YYA-1 area Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Saat mendengar kabar itu, saya masih meliput kekeringan di Purwakarta bagian barat.
Sebelum berangkat ke pesisir utara Karawang, Kepala Biro Kompas Jawa Barat Cornelius Helmy memberikan arahan kepada saya. Maklum, jarak base camp saya di Purwakarta menuju lokasi sekitar 80 kilometer. Perjalanan tanpa persiapan matang bisa memicu kepanikan di lokasi dan berpotensi membuat hasil liputan tidak maksimal.
Saya kemudian berangkat selepas subuh. Seluruh perlengkapan saya masukkan ke dalam bagasi motor. Berdasarkan info dari kawan media lokal, ceceran tumpahan paling banyak ditemukan di Pantai Cemarajaya, Desa Cemarajaya, Kecamatan Cibuaya. Butuh waktu lebih kurang tiga jam untuk sampai ke sana.
Dalam perjalanan, saya sempat berhenti beberapa kali di SPBU untuk sekadar beristirahat, meregangkan tangan dan kaki agar tidak kaku.
Memasuki daerah pesisir, ceceran tumpahan minyak yang berwarna hitam tersebar meluas di pesisir pantai. Bentuknya ada yang cair, ada yang mulai memadat. Bau tajam pun tercium dari tumpahan minyak itu. Terlebih saat tak ada angin, baunya kian menyengat.
Dari kejauhan, tampak puluhan orang yang tengah mengumpulkan ceceran tumpahan minyak ke dalam karung. Mereka adalah warga setempat yang dilengkapi pakaian khusus berwarna putih, sepatu bot karet, masker, dan sarung tangan. Namun, ada pula sebagian lainnya yang hanya mengenakan kaus dan celana panjang biasa.
Sejak pukul 08.00, warga berdatangan untuk membersihkan ceceran tumpahan minyak. Mereka lalu sibuk menggali pasir yang tercemar tumpahan minyak untuk dimasukkan ke dalam kantong plastik dan karung. Upah yang didapat setiap orang Rp 100.000 per hari ditambah makan siang dan air mineral.
Sambil memotret aktivitas pembersihan pantai, saya berinteraksi dengan mereka. Obrolan pun berlangsung renyah seperti sahabat sendiri yang sedang curhat. Namun, di tengah-tengah pembicaraan, kepala rasanya lieur (pusing). Bau limbah yang begitu menusuk hidung membuat dada terasa sesak.
Yang membuat saya heran, tidak semua warga mengenakan atribut lengkap, terutama masker khusus. Namun, mereka tampak baik-baik saja dan tidak terganggu. ”Punteun, ibu-ibu apa tidak merasakan pusing atau sesak napas?” tanya saya kepada mereka.
”Itu mah karena Neng (sapaan untuk perempuan) belum terbiasa di sini. Awalnya kami juga pusing dan mual. Sekarang, ya, mau bagaimana lagi, kalau tidak kerja, teu aya (tidak ada) uang,” ujar salah seorang istri nelayan.
Saat makan siang, mereka berbagi bekal makanan yang mereka bawa dari rumah. Wajah mereka tetap ceria di tengah musibah ini. ”Sedih itu mah pasti karena suami tidak bisa melaut. Belum lagi rumah bau limbah, tapi apa iya mau diam saja Neng,” lanjutnya.
Bau menyengat juga merasuk hingga ke rumah-rumah warga. Seperti saat saya singgah ke rumah Antesih (37), warga Desa Cemarajaya. Bau limbah tumpahan minyak juga menyebar hingga ke setiap sudut rumahnya.
Jarak rumahnya dari bibir pantai hanya sekitar 7 meter. Dari belakang rumahnya, ceceran tumpahan minyak itu terlihat jelas. Begitu tajamnya bau limbah itu, hingga embusan kipas angin tak mampu mengusir bau tersebut. Terlalu pekat. Antesih sampai harus mengungsikan putranya, Aji Irawan (3), ke rumah kerabat.
Bukan sekadar bau yang sangat tajam, rata-rata warga juga mengeluh mengalami mual, pusing, batuk, hingga sesak napas. Keluhan itu baru mereda setelah mereka mengonsumsi obat dari klinik.
Oleh karena tidak bisa melaut, warga tak punya pilihan. Mereka menerima pekerjaan membersihkan limbah agar asap dapur tetap mengebul. Meskipun penghasilannya sebenarnya tidak banyak, bahkan lebih kecil dari biasanya.
Saya jadi merasa malu. Baru beberapa menit di lokasi tetapi sudah tak tahan karena mual dan pusing. Tidak terbayangkan kalau saya harus menjadi mereka sebentar saja. Setiap hari harus hidup berkalang limbah. Lalu, bagaimana dengan dampak panjang yang ditimbulkan bila menghirup bau itu terus-menerus?
Peristiwa kebocoran yang menyebabkan tumpahan minyak itu sebenarnya terjadi pada 12 Juli 2019. Namun, dampaknya baru dirasakan para petambak udang dan bandeng di area budidaya seminggu kemudian. Para petambak pun harus panen dini karena khawatir kematian udang dan bandeng kian meluas.
Kondisi ini pula yang membuat saya enggan membeli makanan di sekitar lokasi kejadian. Saya takut lauk pauk itu turut tercemar. Rupanya, pikiran itu pula yang menjalari banyak konsumen. Para pedagang ikan di pusat pelelangan terpaksa menghentikan pengiriman ikan ke kota, karena para pelanggan khawatir tangkapan laut dari Karawang tercemar limbah.
Selama sepekan liputan, saya bertemu dengan warga dan nelayan yang berbeda. Tentu saja di lokasi yang juga berbeda-beda. Namun, ke mana pun saya melangkah, bau menyengat tak sedap tetap saja ada.
Setiap pulang ke penginapan, satu tabung oksigen 500 ml bakal habis saya hirup untuk menghindari sesak napas. Selama di lapangan, saya beberapa kali merasa sesak. Sayangnya, bekas ceceran limbah yang menempel di sepatu favorit saya tidak bisa hilang meski sudah dicuci berkali-kali. Yah, anggap saja kenang-kenangan liputan.
Menantang
Saat di lapangan, untuk berpindah dari satu desa ke desa lainnya, terkadang saya harus melewati jalan yang hanya selebar 50 sentimeter. Di kanan kirinya terdapat tambak bandeng.
Lengah sedikit saja, bisa ”habis” saya, tercebur. Bukannya meliput malah diliput. Untungnya, selama liputan tidak pernah ada insiden wartawan jatuh ke tambak.
Jalanan yang cukup menantang lainnya adalah ketika harus melewati pasir pantai. Bukan main susahnya mengondisikan setir motor. Apalagi pasir pantai tidak bersahabat dengan motor matik.
Berulang kali saya terjatuh ketika melintasinya. Sakitnya sih tidak membekas, tapi malunya itu lho kalau terlihat orang lain. Untung saja insiden ini terjadi di lokasi yang sepi. Tetapi, mau tidak mau, ya, harus bangun sendiri.
Seminggu mondar-mandir di lokasi membuat warga dan nelayan hafal dengan keberadaan saya. Terlebih para anggota TNI. Mungkin karena saya lebih sering terlihat liputan sendirian, tidak bersama rekan wartawan dari media lain. Selesai bertugas di sana, ada kerinduan yang muncul.
Jodoh memang tak akan ke mana. Acara nadran laut pada September lalu membawa saya kembali ke sana. Tradisi ini rupanya menjadi momentum bagi mereka untuk bangkit dari keterpurukan. Harapan dan doa dipanjatkan agar tahun depan hasil tangkapan berlimpah.
Jika sebelumnya saya melihat perahu digunakan untuk menjaring limbah tumpahan minyak, kali ini perahu dihias apik dengan berbagai hasil bumi yang bergantungan.
Kalau dulu saya tak berhasil ikut nelayan menjaring limbah ke tengah laut, kali ini keinginan untuk berlayar ke tengah laut akhirnya terwujud.
Namun, rupanya nyali saya tidak sebesar tekad. Baru setengah perjalanan, saya sudah dilanda mabuk laut. Pusing, mual, hingga muntah bercampur jadi satu. Saya hanya bisa diam mematung dan memejamkan mata.
Istri nelayan terlihat iba melihat saya yang lemas. Ia kemudian mengangsurkan dua buah jeruk yang diambil dari hiasan perahu. Kata dia, kecut dan aroma jeruk ampuh untuk mengusir mual.
Saya menuruti dengan memakan jeruk itu. Namun, rupanya cara itu tidak cukup ampuh untuk meredakan pusing dan mual. Saya kembali terdiam diguncang ombak yang makin tak karuan.
Di sela-sela perjalanan melaut, sesekali saya berusaha melontarkan pertanyaan yang dijawab panjang lebar. Mengingat-ingat ekspresi wajah dan jawaban mereka rupanya tidak mudah dalam keadaan mabuk. Sesampainya di daratan, saya segera mencatat hasil wawancara di buku catatan.
Untungnya, sebelum perahu melewati muara menuju lautan, saya sempat mengobrol dengan beberapa nelayan. Jadi, semua bahan tulisan yang diperlukan sudah aman.
Pengalaman meliput peristiwa-peristiwa ini pada akhirnya meninggalkan banyak pelajaran tentang makna kesabaran dan keikhlasan lewat sikap warga.
Terutama sikap sabar mereka saat membersihkan limbah, menunggu uang kompensasi yang tak kunjung turun, hingga menanti pulihnya ekosistem laut.
Melihat warga yang tampak semeleh (berserah) saat menghadapi musibah, mengajarkan saya bahwa segala sesuatu tetap perlu disyukuri.