Terbata-bata Membaca Bata Purba
Struktur bata kuno ditemukan di Sumbergayu. Temuan peninggalan kuno selalu menggelitik, seakan meninggalkan pesan agar kita menelisik. Darinya kita bisa memetik kearifan sebagai modal menghadapi peradaban sekarang.
Sebelum terkubur, tumpukan bata di penjuru Jawadwipa dulunya adalah penanda kejayaan peradaban. Kikisan waktu, bencana, konflik, atau salah kelola dapat melunturkan sivilisasi, sekaligus menimbun monumen kegemilangan peradaban itu.
Namun, sesuatu yang tersimpan dalam perut bumi belum tentu selamanya hilang. Suatu saat, cerita atau suara kehidupan negeri silam dapat terdengar kembali.
November 2019, sebuah pesan WhatsApp masuk dan mengusik hati. Isinya, ada temuan struktur bata kuno di Nganjuk, Jawa Timur, yang diikuti penggalian dan penelitian.
Tumpukan bata itu merupakan talud atau tanggul kuno yang berada di Dusun Sumbergayu, Desa Klurahan, Kecamatan Ngronggot.
Tinggalan itu diyakini lebih tua dari era Kerajaan Majapahit pada abad ke-13 sampai ke-16. Peninggalan siapa? Kahuripan atau Medang?
Sejarah, bagi saya, selalu menarik. Mengimajinasikan masa silam, bagaimana bentuk kotaraja, sistem, benteng, istana, busana, tradisi, seni, laskar, senjata, pusaka, penganan atau singkatnya perabadan, seolah mendidihkan darah dan rasa ingin tahu.
Apalagi novel-novel dan buku-buku berlatar tema kerajaan klasik dari Jawa Timur, mulai dari Kanjuruhan abad ke-7 sampai Majapahit abad ke-16, bertebaran di toko buku dan jagat maya yang mengundang selera membaca.
Seorang rekan jurnalis kemudian memberikan nomor kontak arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur, Wicaksono Dwi Nugroho. Saya segera menghubungi sang arkeolog dan mendapatkan informasi perkembangan temuan di Sumbergayu itu.
Sejak mengobrol melalui telepon seluler pada Kamis (21/11/2019) malam, setengah hari kemudian saya sudah tiba di lokasi yang berada sekitar 100 kilometer barat daya Surabaya. Waktu tempuh dengan roda empat dari kantor Kompas di Gubeng melewati tol mencapai 1 jam 45 menit.
Kuno
Di lokasi, saya menemui Wicaksono yang memimpin tim penggalian dan penelitian. Struktur bata itu ditemukan pada Agustus 2019 oleh pemilik lahan saat hendak membuat tangki septik.
Saat menggali sedalam 2 meter, alat-alat penggalian membentur susunan bata. Temuan itu kemudian dilaporkan lalu ditindaklanjuti dengan peninjauan dan penggalian oleh BPCB Jatim.
Singkat cerita, bata yang disusun-susun itu berdimensi panjang 42-45 sentimeter (cm), lebar 22-24 cm, tinggi atau tebal 8-12 cm. Ukuran ini jauh lebih besar daripada tinggalan Kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto.
Tinggalan monarki Majapahit yang juga disebut Wilwatikta itu susunan batanya mempunyai dimensi panjang 33-35 cm, lebar 18-20 cm, dan tebal 5-7 cm.
”Dimensi bata di sini (Sumbergayu) sezaman dengan tinggalan Medang sampai Singhasari atau pra-Majapahit,” kata Wicaksono.
Dari pengumpulan data BPCB selama ini, di sekitar Sumbergayu juga banyak ditemukan tinggalan kuno. Tinggalan itu antara lain reruntuhan benteng, candi, petirtaan, kesatrian, tempat pemeliharaan ternak, dan balai agung.
Kecamatan Ngronggot dan sebagian Kecamatan Tanjunganom serta Kecamatan Kertosono, tempat ditemukannya banyak tinggalan purbakala itu, berada di wilayah Brantas Kuno yang saat ini disebut Kali Balong dan Sungai Brantas.
Menurut Wicaksono, sebaran tinggalan di Ngronggot mencerminkan adanya pusat peradaban atau mungkin kotaraja di masa kuno. Temuan bekas keputren, taman sari, parit, benteng, kesatrian, pasar besar, dan balai agung memenuhi syarat-syarat bahwa lokasi itu adalah pusat kehidupan.
Dari sumber-sumber tertulis dalam prasasti dan hasil penelitian terdahulu, suatu daerah di timur Sungai Brantas (Kuno) menjadi lokasi pendirian Kerajaan Medang oleh Pu Sindok.
Inilah monarki penerus Mataram Kuno abad ke-8 di Jateng yang pada milenium pertama masehi pindah ke Jatim dan diyakini berlokasi di timur Brantas Kuno.
Namun, pada abad ke-11, Medang runtuh akibat mahapralaya, menurut Prasati Pucangan (Calcutta Stone). Dari prasasti itu ditafsirkan, terjadi serangan dari aliansi kerajaan di Jateng yang bersekutu dengan Sriwijaya, selain terjadi juga pagebluk atau bencana alam hebat, yakni banjir dari Brantas Kuno.
”Pusat peradaban Medang belum terkonfirmasi. Penelitian lanjutan dan pemindaian dengan Lidar (light, detection, and ranging) terhadap situs-situs tinggalan di Nganjuk bisa membantu mengungkapkannya,” ujar Wicaksono.
Brantas
Beberapa waktu kemudian, saya berangkat ke Kumitir, Mojokerto, untuk melihat tinggalan era Majapahit berupa tanggul sepanjang 200 meter, lebar 1,4 meter, dan tinggi 1,2 meter.
Tanggul itu tersusun dari bata yang masing-masing berdimensi panjang 32 cm, lebar 18 cm, dan tinggi 6 cm. Ukuran ini sama persis dengan susunan bata peninggalan Majapahit di Trowulan dan Jatirejo.
Temuan di Kumitir seakan mengonfirmasi besarnya kompleks kotaraja Majapahit. Sebab, Kumitir bisa dianggap sebagai batas timur yang berjarak sekitar 4 km dari situs kedaton atau sumur upas di Sidodadi, Trowulan, yang diduga merupakan lokasi keraton. Selain itu, Kumitir berjarak 2 km di sisi timur Candi Tikus yang merupakan petirtaan atau pemandian.
Seiring dengan penemuan dan penggalian di Sumbergayu dan Kumitir, BPCB Jatim juga meneruskan penggalian dan penelitian temuan petirtaan di Dusun Sumberbeji dan reruntuhan kompleks hunian di Dusun Kedaton.
Kedua dusun itu berada di Jombang yang berbatasan dengan Nganjuk dan Mojokerto, sekaligus dilewati Sungai Brantas. Inilah bukti bahwa peradaban monarki di Jatim kurun Medang-Majapahit seolah dibangun berkesinambungan di sekitar Brantas.
Sebaran candi-candi dari dataran rendah hingga pucuk gunung menandakan betapa luas dan hebatnya nenek moyang Nusantara membangun penanda peradaban.
Di Jombang, tim dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, dan Universitas Pertamina, Jakarta, meneliti dan memindai tinggalan struktur bata kuno memakai perangkat teknologi geolistrik, geomagnet, dan georadar. Pemindaian merupakan permintaan resmi BPCB Jatim kepada ITS dan Pertamina.
Pakar geofisika dan kebencanaan ITS, Amien Widodo, mengatakan, pemindaian dengan geolistrik, geomagnet, dan georadar akan menghasilkan data untuk mengungkap seperti apa bentuk struktur tinggalan itu di dalam tanah untuk lokasi situs Sumberbeji, Sugihwaras, dan Kedaton.
”Seperti apa jaringan strukturnya dapat diketahui tanpa harus menggali atau ekskavasi,” katanya.
Lapisan tanah di ketiga situs purbakala di Jombang menunjukkan adanya kandungan material bencana alam di masa silam. Ada endapan lumpur dan material vulkanik berupa lapisan abu dan batu-batu.
Menurut peta geologi, Jombang termasuk daerah yang terdampak letusan Gunung Kelud purba. Di daerah itu juga terdapat banyak sungai, termasuk Brantas.
”Hampir seluruh tinggalan purbakala terutama di Jatim ditemukan dalam kondisi terkubur dan jika digali tampak lapisan-lapisan material yang berbeda,” ujar Amien.
Dari sudut pandang kebencanaan, bencana alam terutama letusan gunung dan banjir besar, mungkin saja menjadi salah satu penyebab ditinggalkan atau runtuhnya suatu peradaban kuno.
Sampai kini, peradaban kuno di wilayah Sungai Brantas yang belum bisa dikonfirmasi lokasinya adalah Medang, Kahuripan, Pangjalu, dan Jenggala. Baru Majapahit dan Singhasari yang bekas lokasi kerajaannya terkonfirmasi, yakni di Trowulan, Mojokerto; dan Singosari, Kabupaten Malang.
Dosen Teknik Geofisika Pertamina, Soni Satiawan, menambahkan, pemindaian dapat mengungkap jenis tanah atau lapisan batuan yang mengubur peradaban kuno dimaksud. Ada material vulkanik, lumpur, dan batuan.
Peradaban terkubur paling tidak 3 meter dari permukaan tanah saat ini. Penelitian kepurbakalaan dari sisi sejarah kebencanaan bukan hal baru, dibutuhkan kerja sama lintas disiplin ilmu yang akan memberi spektrum pengetahuan lebih luas.
Suara
Dalam peliputan tinggalan purbakala, saya merasa selalu mendapatkan sesuatu yang baru dari masa silam. Salah satunya, kita seolah terbata-bata dalam membaca era lampau Nusantara.
Untuk itu, sejarah selalu terbuka terhadap temuan, analisis, hipotesis, interpretasi, dan penulisan kembali. Fakta kepurbakalaan tak pernah habis menjadi bahan bagi adonan karya sastra, mulai dari buku, cerpen, hingga novel, yang gurih dan bergizi bagi suasana hati.
Jurnalis foto Kompas, Bahana Patria Gupta, yang bersama saya mendatangi situs-situs purbakala tersebut punya pendapat yang unik. Bagi kami, temuan-temuan itu seolah mendekatkan manusia pada dimensi nonragawi, bahkan irasional, seperti memanggil-manggil untuk menelisik lebih jauh.
Bagi lelaki berambut gondrong dan nyentrik ini, temuan struktur bata itu seolah-olah ingin menyampaikan pesan. ”Mereka tidak mau dilupakan. Ya, enggak, Bro?” katanya yang kemudian saya aminkan dengan tulus.
Saya menanggapi, fakta atau hipotesis baru dari situs-situs purbakala seolah mengajak dan menuntun kita lebih jauh untuk memahami Nusantara masa silam dan mengambil hikmahnya bagi peradaban saat ini.
Misalnya, peradaban kuno yang terkubur atau ditinggalkan akibat bencana alam berupa letusan gunung, banjir, gempa bumi, atau paceklik iklim.
Saat ini, pagebluk atau kemalapetakaan juga terjadi. Kawasan hancur, nyawa manusia terenggut. Mungkin perbedaannya, di masa lalu populasi jelas tak sebanyak sekarang.
Suatu lokasi peradaban ditinggalkan lalu penerusnya merintis peradaban baru di lokasi lain, seperti terjadi pada Mataram Kuno ke Medang, Tumapel ke Singhasari, dan Majapahit dari lokasi awalnya di hutan Tarik ke Trowulan.
Bagaimana sekarang? Tidak banyak yang meninggalkan kampung halaman, tanah kelahiran, atau peradaban untuk berpindah ke lokasi yang jauh. Manusia lebih banyak memilih bertahan meski harus hidup berdampingan dengan ancaman bencana.
Nah, keterbata-bataan atau kegagapan dalam menghadapi situasi saat ini mungkin bisa terbantu lewat pencarian jejak kearifan di masa silam. Runtuhkanlah keterbata-bataan ini karena di hadapan telah tersaji bata-bata kuno menanti untuk dibaca.