Selalu Ada Berita Seharga Bersepeda
Wartawan ”Kompas” Biro Surabaya memanfaatkan sepeda sebagai kendaraan alternatif untuk liputan sekaligus mengikuti tren bersepeda yang belakangan marak. Berbagai kisah unik lahir dari hasil liputan dengan bersepeda.
Kebanyakan jurnalis menyetujui ungkapan ”tiada berita seharga nyawa”, termasuk kami. Terkadang jurnalis dihadapkan pada liputan yang membahayakan keselamatan dirinya. Tuntutan harus mendapatkan suatu berita tidak jarang mendorong jurnalis mengabaikan keselamatan.
Akan tetapi, sebenarnya tindakan itu justru akan menggagalkan upaya pewartaan kepada publik. Keran itu, dalam setiap liputan, jurnalis perlu menjaga kehati-hatiannya agar tidak berakhir fatal.
Apalagi sejak pertengahan Maret 2020, eksistensi kehidupan terancam oleh serangan wabah Covid-19. Jurnalis termasuk profesi yang rentan tertular karena pekerjaan yang menuntut dirinya pergi ke banyak tempat dan bertemu banyak orang.
Tuntutan harus mendapatkan suatu berita tidak jarang mendorong jurnalis mengabaikan keselamatan.
Di sisi lain, seperti halnya falsafah keseimbangan yin dan yang dari China, wabah penyakit ini kemudian diimbangi munculnya ”demam” olahraga bersepeda untuk menjaga stamina tubuh sekaligus rekreasi.
Kami yang bertugas di Surabaya, Jawa Timur, tak luput terkena terpaan demam bersepeda, seperti pernah melanda negeri ini saat kereta angin diperkenalkan di Nusantara pada abad ke-20. Sepeda pernah meledak sebagai kendaraan yang digemari rakyat pada periode 1920-an, 1970-an, 1980-an, dan 2010-an yang kemudian berkembang menjadi sarana olahraga.
Penulis sendiri sudah punya dua sepeda, yakni tipe pelesiran dan hybrid atau kombinasi sepeda gunung dan sepeda balap. Namun, rupanya di masa wabah ini, sepeda lipat menjadi yang paling banyak diuber masyarakat, termasuk di Surabaya. Untunglah, sebelum harga menggila dan stok di toko ludes, penulis membeli sepeda lipat dengan harga terjangkau di kisaran Rp 2 juta-Rp 4 juta.
Karena sudah punya sepeda, ya harus dikayuh. Sebelum ada wabah Covid-19 dan demam sepeda, kami di Redaksi Kompas Biro Surabaya biasanya mengisi sore dengan menenggelamkan diri dalam pembuatan laporan jurnalistik sampai larut malam. Karena mengamini olahraga, termasuk bersepeda penting untuk kebugaran dan kesehatan tubuh, tentu ada sebagian waktu yang harus dialokasikan untuk bersepeda.
Liputan yang biasanya naik sepeda motor kini kami lakukan dengan bersepeda jika lokasinya dekat dengan rumah. Dengan begitu, adagium ”tiada berita seharga nyawa” tanpa mengurangi rasa hormat kami pelesetkan menjadi ”selalu bisa ada berita seharga bersepeda”. Ya sepedaan, ya liputan. Kalau setelah itu tidak ada laporan jurnalistiknya, bisa dijewer sama senior dan editor, bukan?
Oleh sebab itu, bisa dilihat di laman berita berlangganan Kompas.id, bertebaran berita, feature, galeri foto, dan interaktif tentang demam bersepeda di masa wabah Covid-19. Dari Surabaya sendiri, telah dihasilkan beberapa artikel tentang ”virus kayuh kereta angin” itu.
Rutin
Kini, hampir setiap minggu lima jurnalis Kompas Biro Surabaya bersepeda bersama yang dilakukan pada hari Minggu pagi atau hari-hari lain menjelang petang. Rute yang ditempuh sepanjang 10 kilometer sampai 18 kilometer dalam areal Surabaya.
Saat bersepeda, biasanya ada waktu berhenti untuk jajan makanan dan minuman. Seperti pesepeda lain, kami juga kerap menyempatkan diri berfoto di lokasi-lokasi menarik untuk diunggah di media sosial. Tidak jarang, unggahan itu menjadi bahan berita. Seperti pada artikel ”Pesepeda, Ayo Dipakai Maskernya” yang terbit di harian Kompas edisi Senin, 29 Juni 2020.
Pada Minggu (28/6/2020) pagi, kami bersepeda dengan salah satu rute melewati Jalan Tunjungan, jalan legendaris yang menjadi pusat bisnis Surabaya pada awal abad ke-20 ini. Di sepanjang jalan masih banyak bangunan pertokoan yang berarsitektur kolonial.
Baca juga: Pengalaman Menjadi Putera Jawa Keluyuran di Sumatera
Saat tengah asyik bersepeda sambil menikmati pemandangan, tiba-tiba terdengar suara Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini lewat pelantang suara. Namun, meski kepala sudah tengak-tengok ke semua arah mencari sumber suara, Risma tetap tidak terlihat.
Sempat menduga suara berasal dari layanan informasi di tempat penyeberangan (pelican crossing). Sejak pandemi muncul, memang dipasang rekaman suara imbauan kewaspadaan terhadap Covid-19 di jalur-jalur penyeberangan.
Lambat laun teriakan ”Ayo dipakai maskernya, jaga jarak. Itu yang punya sepeda, tolong sepedanya jangan ditaruh di trotoar” terdengar semakin dekat. Sejurus kemudian, melintas mobil dinas sang wali kota yang kemudian diketahui ditumpanginya beserta beberapa staf. Sepanjang perjalanan, lewat pelantang suara di tangan, Risma berulang kali mengingatkan warga untuk mematuhi protokol kesehatan.
Salah satu dari kami kemudian berinisiatif mendekat dengan mempercepat laju sepeda lipat. Setelah berhasil mendekat, ternyata diteriaki dari dalam mobil ”Hei, dipakai maskernya!” tegur Risma. Sang wartawan lalu tersadar, masker yang dikenakan sempat diturunkan ketika ingin menyapa Risma. Rasain kena tegur Wali Kota Surabaya!
Namanya juga wartawan, insting kemudian menuntunnya mengambil gawai di dalam tas yang ditaruh di belakang sadel. Setelah itu merekam aktivitas Risma yang mengingatkan pesepeda untuk tetap mematuhi protokol kesehatan. Jalan Tunjungan dan Jalan Basuki Rahmat pagi itu dipenuhi ribuan pesepeda. Sebuah bahan penulisan yang ciamik.
Baca juga: Membongkar Kasus Penyelundupan Beras
Video rekaman itu kemudian diunggah di laman Kompas.id. Video juga diunggah di Instagram pribadi penulis. Tidak lama, video itu di-repost atau diunggah ulang oleh suatu akun komunitas dengan 1 juta pengikut. Video itu kemudian viral. Hingga Jumat (14/8/2020), video telah dilihat oleh 159.447 akun dan mendapat 449 komentar.
Laporan jurnalistik kadang-kadang tercipta di luar rencana, seperti artikel berjudul ”Menjelajah Atmosfer Asia, Timur Tengah, hingga Eropa di Kota Tua Surabaya” yang muncul di Kompas.id dan kemudian terbit juga di e-paper Kompas dengan judul ”Nuansa Asia, Timur Tengah, dan Eropa di Kota Tua Surabaya”, Sabtu (8/8/2020).
Laporan jurnalistik ini dibuat dari hasil kami bersepeda melewati kawasan kota tua Surabaya. Suasana dan pemandangan yang kami nikmati teramat sayang jika tidak dilaporkan.
Nah, foto-foto yang digunakan dalam kedua artikel tadi, mau tidak mau modelnya kami sendiri karena rencana awal hanya ingin bersepeda bukan sengaja liputan. Saat hendak mengunggah tulisan dan mencari foto-foto pendukung, ternyata kebanyakan foto berhias kemunculan kami. Apa boleh buat, kan?
Mobilitas
Ada lagi cerita lain. Pertengahan Mei lalu, digelar tes cepat atau rapid test di kantor Kecamatan Gunung Anyar. Penulis memilih mengayuh dengan santai sepeda lipat yang telah berusia sepuluh tahun karena jarak dari rumah ke lokasi hanya 7 kilometer. Niat awal sebenarnya ingin ”menyelam sambil minum air”: ikut tes sekalian meliput.
Perjalanan sempat tiga kali memutari kawasan yang melewati Politeknik Perkapalan di Gunung Anyar melalui MERR (Jalan Ir Soekarno) yang berbatasan dengan Sidoarjo. Berangkat mengayuh sepeda dari rumah pukul 06.30 dan tiba di lokasi satu jam kemudian.
Sekitar 100 meter mendekati kantor kecamatan, tampak antrean yang sudah sampai di depan Pasar Gunung Anyar. Padahal, tes belum juga dimulai. Penulis kemudian masuk barisan antrean yang saat itu sudah sepanjang 500 meter setelah mengikat sepeda ke salah satu pohon di pinggir jalan.
Tes cepat digelar oleh Badan Intelijen Negara (BIN) dan berjalan sangat tertib, mulai dari pendaftaran hingga keluar tempat tes. Lokasinya di tenda yang didirikan di halaman kecamatan.
”Ibu usianya berapa?” kata seorang petugas yang mengenakan alat pelindung diri (APD) lengkap. ”Ya sudah lansia, sih,” jawab saya.
Baca juga: Bertemu Keluarga Pilot Dakota yang Ditembak Jatuh Belanda
Mendengar itu, petugas langsung mengarahkan penulis masuk ke jalur lansia sehingga proses tes berlangsung cepat. Namun, sehabis tes ternyata masih harus menunggu panggilan.
”Bapak dan Ibu yang sudah tes, silakan menunggu namanya dipanggil. Setelah itu, langsung menuju pintu keluar dan segera pergi dari tempat ini pulang ke rumah, ya,” begitu informasi itu diulang-ulang terus melalui pelantang suara.
Hati sempat kecut karena lama tak juga dipanggil. Padahal, keinginan untuk ke toilet mulai terasa mendesak. Sempat hendak masuk ke toilet bertuliskan VIP, tetapi dilarang petugas dengan alasan toilet khusus untuk petugas.
Bukan wartawan kalau tidak banyak akal. Penulis akhirnya berhasil pipis di toilet kantor kecamatan lalu segera berlari ke tenda tempat tes. Sekitar 10 meter mendekati tenda, terdengar nama penulis dipanggil-panggil. Akhirnya, terpaksa dari kejauhan teriak-teriak berusaha menyahut,”Saya, saya.”
”Ibu dari mana? Mbok sabar dulu baru ke toilet,” kata petugas.
Tanpa merespons pertanyaan itu, langsung saya ambil hasil tes yang bertuliskan nonreaktif dan menuju pintu keluar. Begitu kembali ke tempat sepeda terikat, badan langsung lemas karena ”kereta angin” tak tampak lagi. Rupanya, sepeda lipat itu terselip bahkan tertindih di antara sepeda motor warga.
Baca juga: Dalam Kepungan Awan Putih Bukit Barisan
”Pak, tolong ambilkan sepedaku, tadi saya ikat di pohon,” pinta saya sambil pasang mimik memelas kepada kerumunan pria yang sedang antre ikut tes cepat.
Beberapa orang langsung membantu sehingga tidak perlu lama terjebak dalam situasi itu. Penulis segera putar arah kembali ke rumah. Pengalaman mengikuti tes cepat tadi kemudian menjadi bahan laporan jurnalistik.
Jadi, tidak berlebihan kan kalau kami memelesetkan ungkapan ”tiada berita seharga nyawa” menjadi ”selalu ada berita seharga bersepeda”?