Bertemu Para ”Malaikat” Penolong di Lokasi Gempa Mamuju
Muhaimin, Tabroni, Farhan, Pak Ustaz, dan Mama Waty adalah orang-orang yang membuka hati dan tangannya lebar-lebar saat bencana menghampiri. Mengingat ini, hati saya menjadi hangat. Merekalah para ”malaikat” penolong.
Selalu ada tangan-tangan terbuka yang dengan tulus menolong di hari-hari kelam bencana. Dalam peliputan gempa di Mamuju, Sulawesi Barat, hadir ”malaikat-malaikat” yang membantu kelancaran tugas saya.
Di bawah guyuran hujan, saya tiba di gerbang kota Mamuju, Sulawesi Barat, Jumat (15/1/2021) pukul 18.30 Wita. Tidak jauh dari situ, mobil berderet-deret terparkir sepanjang jalan.
Melihat banyaknya kendaraan plus beberapa tenda terpal yang bercahaya, saya menduga lokasi itu adalah pengungsian. Untuk memastikan, saya bertanya kepada seorang warga yang sedang duduk istirahat di bagian belakang mobilnya. Sorot lampu senter menemani.
Selalu ada tangan-tangan terbuka yang menolong di hari-hari kelam bencana.
Warga mengungsi ke lokasi itu menyusul gempa bermagnitudo 6,2 di dekat perbatasan Kabupaten Mamuju dan Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, Jumat (15/1/2021) pukul 02.28 Wita. Selang 16 jam kemudian, saya tiba di Mamuju setelah menempuh perjalanan darat dari Palu, basis daerah tugas saya.
Sebagian warga penyintas gempa kemudian mengungsi ke area ini karena berada di ketinggian. Mereka mengantisipasi kemungkinan terjadi tsunami. Lokasi ini disebut juga ”jalur dua” karena jalanan dibagi dua ruas, untuk arus kendaraan yang berlawanan.
Selain memastikan lokasi itu adalah pengungsian, saya juga menanyakan kondisi umum kota Mamuju kepada warga tersebut. Ia kemudian bercerita, sebagian besar Mamuju gelap gulita karena listrik padam akibat gempa. Mendengar itu, tiba-tiba saya merasa bingung harus pergi ke mana untuk mencari titik-titik yang terdampak gempa.
Di tengah kebingungan, seorang pengungsi lain menghampiri. Setelah mendengar maksud dan tujuan kedatangan saya, pria itu memanggil temannya dan berkata, ”Kami temani masuk Mamuju.” Seketika saya langsung merasa lega.
Sebenarnya saya pernah bertugas liputan ke Mamuju pada 2014 dan 2015, ditambah sekali singgah pada 2018. Namun, dalam kondisi bencana dan gelap gulita, tentu akan sulit bagi saya mencari lokasi yang rusak parah akibat gempa.
Muhaimin Faisal dan Ipul, begitu nama dua pengungsi yang mendampingi saya. Dalam perjalanan menuju Mamuju, saya bertanya tentang Maleo Town Square (Matos) yang fotonya beredar luas di jagat maya. Matos digambarkan dalam kondisi rusak parah. Faisal lantas mengarahkan rute perjalanan kepada Riko, sopir yang mengantar saya.
Baca juga : Gagal Bertemu Messi di Camp Nou
Namun, begitu tiba di Matos yang terletak di pinggir pantai, saya kesulitan memotret karena kondisi sangat gelap. Saya lalu meminta Riko mengarahkan sinar lampu mobil ke arah Matos, satu-satunya mal di Mamuju.
Hasil foto cukup menggambarkan adanya kerusakan di bagian tengah bangunan. Namun, saya belum merasa puas. Ditambah saya tidak bisa leluasa memotret karena petugas keamanan mondar-mandir dengan mobilnya. Ia juga melarang saya mengekspose hasil foto saya.
Karena merasa tidak bisa memperoleh gambar yang lebih bagus lagi, saya memutuskan mencari lokasi lain. Faisal lantas memberi tahu sebuah bangunan lain yang juga terdampak parah. ”Kalau begitu, kita ke RS Mitra Manakarra. Itu rumah sakit lima lantai yang ambruk total,” ujar Faisal.
Kami lantas kembali membelah kota Mamuju, masih dalam kondisi gelap dan hujan. Seingat saya saat itu, foto kerusakan bangunan RS Mitra Manakarra tak banyak beredar di media sosial ataupun aplikasi percakapan. Tidak begitu dengan foto Matos, Kantor Gubernur Sulbar, Kantor DPRD Sulbar, dan sejumlah rumah warga. Bangunan-bangunan ini semula menjadi sasaran saya sejak berangkat dari Palu.
Baca juga : Sakit Covid-19, Sedikit tetapi Nyelekit
Kami tiba di RS Mitra Manakarra menjelang pukul 19.00 Wita. Saat itu, dua alat berat tengah meraung-raung memindahkan bongkahan atau patahan beton dari reruntuhan bangunan rumah sakit swasta itu untuk mengevakuasi korban. Hujan makin lebat.
Begitu tiba di RS Mitra Manakarra, Faisal dan Ipul kemudian pamit kembali ke lokasi pengungsian. Faisal telah ditelepon keluarganya berkali-kali. Dalam perjalanan dari Matos ke RS Mitra Manakarra, kami sempat singgah sebentar di rumah Faisal untuk mengambil mobil bak terbuka.
Dengan mobil itulah, keduanya kembali ke pengungsian. Saya hanya bisa memberi bekal satu bungkus biskuit, sekadar ucapan terima kasih telah mengantarkan dan ”menemukan” RS Mitra Manakarra.
Baca juga : Penyintas Gempa Mamuju Dibayangi Hujan Lebat
Saya segera memotret dari berbagai sudut. Bersama kami, ada beberapa anggota keluarga korban dan sejumlah tenaga kesehatan yang turut menyaksikan. Saat itu, masih ada dua korban yang hendak dievakuasi dari reruntuhan. Sebelumnya, dua korban lainnya berhasil dievakuasi, tetapi saat ditemukan kondisinya telah meninggal.
Setelah merasa cukup mengambil foto dan mengumpulkan informasi dari warga sekitar, saya dan Riko mencari tempat yang sekiranya aman untuk mengirim berita. Kebetulan di dekat situ ada rumah toko dua lantai. Kami lantas menumpang di terasnya. Saya bekerja di tengah kegelapan dengan bantuan cahaya laptop dan sorot senter dari ponsel.
Baca juga : Foto Pemakaman Jenazah Pasien Covid-19 Berbuah Piala Adinegoro
”Malaikat” penolong berikutnya hadir hari Sabtu (16/1/2021). Saat bangun sekitar pukul 06.00 Wita, masuk pesan ke aplikasi percakapan saya. Pengirimnya bernama Farhan, komisioner KPU Sulbar yang juga mantan Sekretaris Aliansi Independen Majene.
Farhan juga menyebut dirinya adalah teman dari Mbak REN (Reni Sri Ayu), wartawan harian Kompas yang bertugas di Makassar, Sulawesi Selatan. Untuk peristiwa ini, saya dan Mbak REN berbagi wilayah liputan. Saya meliput wilayah Mamuju dan Mbak REN untuk wilayah Majene.
Karena masih mengantuk dan kelelahan, saya tidak langsung membalas pesan itu. Maklum, semalaman saya dan Riko tidur di mobil yang diparkir di pinggir Jalan Martadinata, jalan menuju kompleks Kantor Gubernur Sulbar.
Seusai kami membereskan barang-barang di mobil, seorang warga menghampiri. Pria bernama Tabroni (56) itu kemudian mengajak kami duduk-duduk di teras kecil rumah kontrakan semipermanennya yang berjarak sekitar 10 meter dari mobil. Ternyata kopi telah tersaji. Melihat itu, saya meminta Riko mengambil satu bungkus biskuit di mobil.
Baca juga : Bahagia Bersama Ikan-ikan Lokal di Waduk Jatiluhur
Tabroni dan istrinya serta para tetangga di rumah kontrakan yang sambung-menyambung itu seusai gempa mengungsi ke daerah yang lebih tinggi, sekitar 100 meter dari situ. Pagi itu mereka kembali ke rumah untuk memasak kebutuhan makan dan minum. Jadilah, di sela-sela kehebohan bencana, kami masih bisa menikmati kopi sambil bercerita soal gempa.
Ternyata, Tabroni dan istrinya penyintas gempa dua kali. Tabroni pernah mengalami gempa di Kota Palu, Sulawesi Tengah, 28 September 2018. Setelah peristiwa itu, ia pindah ke Mamuju dan menetap di kota yang terletak di pinggir laut dan dikelilingi pegunungan ini. Tabroni bersyukur, dirinya dan keluarga selamat dalam dua peristiwa gempa besar tersebut.
Ternyata, Tabroni dan istrinya adalah penyintas gempa dua kali.
Saya kemudian teringat dengan pesan masuk dari Farhan. Saat saya hubungi balik, ia menginformasikan beberapa lokasi pengungsian yang dihuni banyak warga. Selain ”jalur dua”, warga juga banyak mengungsi ke kompleks Stadion Manakarra.
Hari itu, saya hanya sempat bertukar pesan dengan Farhan. Baru pada hari Sabtu (16/1/2021) saya bisa menyambanginya di halaman kantor KPU Sulbar. Lokasi ini menjadi salah satu pengungsian yang ditinggali komisioner dan pegawai KPU beserta keluarga masing-masing.
Dalam kesempatan itu, saya sempat minta dicarikan rumah untuk saya tempati selama bertugas di Mamuju. Kriteria rumahnya, antara lain, listrik aman, air lancar, syukur-syukur ada Wi-Fi-nya. ”Tenang, ada rumah yang memenuhi semua kriteria itu,” ujar Farhan.
Rumah itu milik komisoner KPU Kabupaten Mamuju, Muhammad Rivai, yang biasa dipanggil Pak Ustaz. Berlantai dua dengan konstruksi lantai dua dari papan, rumah ini tak tampak sedikit pun terdampak gempa. Lokasinya juga berada di daerah yang tinggi, jauh dari pantai.
Pak Ustaz tinggal sendiri di rumahnya karena keluarganya mengungsi ke Makassar, Sulawesi Selatan, tak lama setelah gempa. Ia kemudian ditemani Farhan yang rumahnya retak-retak akibat gempa.
Bergabung dengan kami kemudian adalah fotografer Kompas, Agus Susanto, dan wartawan Kompas, Iksan Mahar, yang terbang dari Jakarta dan tiba di Mamuju, Sabtu malam.
Baca juga : Tak Hanya Logistik, Penyintas Gempa Sulbar Pun Berbagi ASI
Pada hari yang sama bergabung juga sejumlah wartawan dari Metro TV dan Kantor Berita Antara. Rekan saya, Saiful Rijal Yunus, wartawan Kompas yang datang beberapa hari kemudian untuk menggantikan saya, juga tinggal di rumah itu. Rumah tersebut akhirnya menjadi semacam posko wartawan.
Selama berada di rumah itu, saya merasakan kebaikan hati Farhan dan Pak Ustaz. Kami seperti satu keluarga baru. Bercanda, bercerita, di sela-sela tugas liputan bencana yang melelahkan jiwa.
Saking akrabnya, seorang teman wartawan mengira saya sudah lama mengenal Farhan dan Pak Ustaz. Ia kaget ketika saya mengungkapkan baru mengenal keduanya beberapa hari belakangan. ”Mungkin karena insting kita yang wartawan, begitu nyetel, semua jadi enteng,” kata saya.
Keberadaan rumah itu sangat mendukung peliputan selama di Mamuju. Kerja di tempat yang nyaman tentu mempermudah semua urusan.
”Malaikat” penolong lainnya adalah Trisnawati, pengelola warung Dapoer-NS by Mama Waty di Jalan Pengayoman atau di depan Lembaga Pemasyarakatan Mamuju.
Sejak awal, Trisnawati, atau yang lebih dikenal Mama Waty, menjadikan tempat usahanya sebagai dapur umum yang menyediakan makanan gratis untuk sukarelawan dan wartawan. Setiap jam makan, sukarelawan dan wartawan mampir ke tempat itu untuk mengisi perut.
Baca juga : Rupa-rupa Solidaritas Penyintas Gempa Sulawesi Barat
Makanan yang disajikan cukup lengkap. Ada telur rebus atau goreng, sayur, dan ada kalanya ayam goreng. Menu tersebut tentu sangat istimewa di daerah bencana. Berawal dari mengolah logistik milik sendiri dan segelintir orang di hari-hari awal gempa, Mama Waty kemudian menerima banyak sumbangan logistik dari berbagai pihak.
Kami selalu makan di situ, terutama pagi dan malam hari. Setiap kali selesai makan dan hendak meninggalkan tempat itu, Mama Waty dan rekan-rekan yang membantunya selalu bilang, ”Jangan lupa singgah lagi sebentar.” Kesukarelaan Mama Waty membuat kami tak pusing mencari makanan.
Muhaimin, Tabroni, Farhan, Pak Ustaz, dan Mama Waty adalah orang-orang yang membuka hati dan tangannya lebar-lebar saat bencana menghampiri. Mengingat ini, hati saya menjadi hangat. Melalui mereka, muncul secercah cahaya kebaikan yang menerangi kehidupan di daerah bencana. Merekalah para ”malaikat” penolong.