Terharu Saat Berbuka Puasa Bersama Korban Gempa
Perasaan saya langsung terharu. Pak Giman dengan tulus mengajak saya ikut berbuka puasa di tenda depan rumahnya yang rusak akibat gempa. Padahal, mereka lebih membutuhkan setiap gram makanan yang ada saat itu.
Saat gempa mengguncang Malang dan sekitarnya pada 10 April 2021, saya sedang cuti. Saya baru bisa bergabung dengan rekan-rekan wartawan Kompas yang meliput gempa, Senin (12/4/2021).
Saya memulainya dengan menyisir lokasi gempa di Malang selatan, mulai dari Dampit hingga Ampelgading yang berjarak sekitar 25 kilometer. Setelah itu, saya langsung bergeser ke Kabupaten Lumajang, yang juga terdampak gempa cukup besar.
Mengirimkan foto-foto sengaja saya lakukan setelah tiba di Lumajang. Saya ingin tidak terlalu malam tiba di kabupaten yang juga terdampak gempa cukup parah ini.
Penyesalan itu bukan tanpa alasan. Selain jalannya sempit dan berkelok-kelok, gelapnya juga minta ampun.
Seusai mengirim gambar, saya bergerak ke Desa Kaliuling, Kecamatan Tempursari, yang disebut-sebut sebagai lokasi yang paling parah terdampak gempa. Dari papan penunjuk arah, lokasi tujuan saya masih berjarak 10 kilometer lagi.
Di perjalanan, timbul penyesalan mengapa saya tidak mengusahakan pergi ke lokasi sejak tadi-tadi. Penyesalan itu bukan tanpa alasan. Selain jalannya sempit dan berkelok-kelok, gelapnya juga minta ampun.
Jalan yang saya lewati sebagian besar merupakan wilayah perbukitan dengan kanan kiri berupa areal perkebunan pisang, cengkeh, dan kopi. Sambil melaju di atas motor buatan tahun 2008, pikiran saya terganggu dengan kemungkinan terjadi gempa susulan.
Jika terjadi apa-apa dengan saya yang ”nekat” menembus gelap demi menuju lokasi, tidak akan ada yang tahu. Sebelumnya, dua warga meninggal tertimpa batu besar saat gempa terjadi.
Sepanjang jalan terlihat rambu-rambu berwarna kuning bertuliskan rawan longsor. Rambu-rambu itu serasa meneror saya agar terus bergegas. Saya berharap bisa segera tiba di daerah yang banyak penduduk.
Setelah hampir 30 menit berkendara, akhirnya tiba juga di Desa Kaliuling. Namun, tidak terlihat dampak kerusakan. Saya mulai curiga, jangan-jangan ini bukan lokasi yang seharusnya saya tuju.
Baca juga: Gempa Malang Memberiku Pelajaran tentang Ketakutan dan Kehidupan
Ketika bertemu dengan beberapa personel TNI, saya menanyakan lokasi posko bencana. Ternyata saya berhenti lebih cepat dari seharusnya. Posko yang berada di balai desa itu masih berjarak 300 meter di depan. Namun, waktu sudah sedemikian larut. Seorang warga menyarankan agar melanjutkan liputan esok pagi.
Saya kemudian bertemu seorang rekan jurnalis TV yang menyewa kamar di rumah penduduk untuk menginap. Ia menawarkan saya bergabung. Kesempatan itu saya ambil. Selain agar bisa mengisi catu daya alat kerja, juga untuk membersihkan badan. Dari teman ini pula saya mendapat informasi tentang lokasi yang paling terdampak gempa.
Pagi-pagi setelah sahur di dapur umum, saya mulai liputan dan mendapati banyaknya rumah yang hancur. Lokasi tersebut ialah Dusun Iburojo, posisinya lebih tinggi dari balai desa. Berada di perbukitan.
Baca juga: Curhat Pemulung Dorong Wartawan Bikin Gerakan #PonselPintaruntukPelajar
Tak terbayang beratnya beban para korban gempa. Selain harus merelakan diri tidur di tenda-tenda sederhana karena rumahnya rusak, mereka juga harus menjalani puasa. Ya, hari itu (Rabu, 13/5/2021), bertepatan dengan hari pertama puasa Ramadhan 2021.
Meliput bencana bagi saya bukan sekadar menyelesaikan tugas peliputan dari kantor, melainkan juga kesempatan untuk belajar tentang hidup. Tidak jarang saya meletakkan dulu kamera lalu mengajak para korban berbincang. Pelajaran utama yang saya ambil adalah keikhlasan dan perjuangan untuk bertahan hidup.
Berpuasa di bawah cuaca terik dalam suasana duka kehilangan rumah dan ketidakpastian akan kelanjutan hidup ke depan menjadi beban ganda yang mengimpit para korban gempa.
Baca juga: Tinggal di Tenda Darurat, Warga Lumajang Berharap Bantuan Pembangunan Rumah
Namun, hebatnya, bukannya menyerah pada keadaan, mereka justru sangat tabah. Mereka tidak menunggu alat berat tiba untuk membersihkan reruntuhan rumahnya, tetapi segera bergotong royong membersihkan sendiri puing-puing rumah dengan alat seadanya.
Menjelang sore, saya bertemu dengan Pak Giman Siono, salah seorang penyintas gempa. Ia sedang menyiapkan makanan berbuka puasa untuk keluarga di tenda yang didirikan di depan rumahnya yang rusak.
Baca juga: Terisolasi dan Dievakuasi Saat Banjir
”Saya hampir tidak kuat, Mas,” kata Pak Giman tentang puasanya. Ia hampir saja batal puasa karena harus memperbaiki genteng rumah yang rusak di bawah sengatan terik matahari.
Saat tiba waktu buka puasa, Pak Giman yang berhasil mempertahankan puasanya ini terlihat cerah. Di hadapan, tertata beberapa bungkus nasi dengan lauk rendang dan sayur kacang panjang.
Saat itu, saya meminta izin memotret suasana berbuka puasa keluarga ini di tengah suasana pascagempa. Pak Giman mengizinkan dengan syarat, saya harus ikut buka puasa bersama. Perasaan saya langsung terharu. Bukan karena diajak makan, melainkan karena Pak Giman yang sedang kesusahan masih sempat memikirkan orang lain.
Perasaan saya langsung terharu. Bukan karena diajak makan, melainkan karena Pak Giman yang sedang kesusahan masih sempat memikirkan orang lain.
Sebenarnya saya merasa sangat tidak enak untuk turut bersantap. Saya yakin mereka lebih membutuhkan setiap gram makanan yang ada saat itu. Namun, Pak Giman mencegah saya yang berusaha menolak secara halus dan memilih hanya minum saja. ”Seadanya Mas. Adanya ini, ya kita santap bersama,” kata Pak Giman.
Sesaat kemudian suara azan terdengar. Menepati janji, saya pun ikut berbuka puasa dan menyantap makanan yang dibuat di dapur umum itu. Rasanya lega bisa membatalkan puasa meski berada dalam suasana dan tempat yang tidak pernah saya duga.
Kesempatan menyantap makanan bersama para korban gempa menjadi momen istimewa bagi saya. Kebersamaan saya dengan keluarga Pak Giman juga menjadi kado indah bagi saya.
Baca juga: Gempa yang Menyatukan Cinta dan Kepedulian
Tidak saja karena terinspirasi oleh ketabahan dan kebaikan hati mereka. Namun, juga karena foto keluarga Pak Giman menjadi foto halaman depan koran Kompas terbitan 14 April 2021.
Saat perjalanan pulang, dalam bekapan udara dingin yang menusuk tulang, pikiran saya mengembara. Gempa Malang, Lumajang, dan sekitarnya telah mengajarkan banyak hal. Salah satunya, masyarakat kita tidak kekurangan orang-orang baik.