Prasangka dan kebencian atas dasar perbedaan bak virus yang terus menyebar dan menjangkiti banyak orang di mana saja, termasuk negara maju sekalipun. Kita mesti melawan virus itu dengan membangun dialog antarkelompok.
Oleh
CAECILIA MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS--Dialog antarkelompok beragam diyakini mampu mengikis prasangka dan kebencian atas dasar perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan atau SARA. Ruang dialog semestinya dirintis secara berkelanjutkan oleh keluarga dan sekolah.
Demikian benang merah Festival Toleransi Convey Day 2020 "Be Inspiring, Be Tolerant" di Djakarta Teater, Jakarta, Senin (17/2/2020). Acara digelar Convey, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Hadir sebagai pembicara, peneliti PPIM Fikri Fahrul Faiz, akuntan Syaifa Rodiyah, dosen Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Ambon, Yamres Pakniany, Co-Founder and Director Peace Generation Irfan Amalee, dan Country Director di Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) untuk Indonesia, Christophe Bahuet.
Kebencian bak virus
Irfan Amalee berpendapat, kebencian bisa terjadi di negara dengan ekonomi maju. Mengutip laman hategroup.com, dia menyebutkan, sekitar 954 titik lokasi di Amerika Serikat dikenal sebagai asal kelompok penebar prasangka terhadap suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). "Kebencian itu bak virus, bisa mengenai siapa saja," katanya.
Menurut Irfan, mencegah prasangka SARA harus dimulai sejak usia anak. Salah satu caranya, dengan mengembangkan dialog anak-anak dari berbagai latar belakang SARA. Dia pernah menjembatani belajar toleransi antara SMP Kristen Yahya Bandung dengan SMP Muhammadiyah 8 Bandung.
Guru dan orangtua diharapkan terbuka mendengar kisah anak-anaknya, termasuk pengalaman prasangka terhadap SARA dan perundungan. Dengan upaya ini, anak akan bisa tumbuh semakin toleran.
Fikri Fahrul Faiz bercerita, dia tumbuh di keluarga Muslim dan menempuh pendidikan dasar sampai kuliah di institusi Islam. Berkesempatan melanjutkan studi ke luar negeri, dia pernah mendapat serangan dari kelompok fobia Islam dan membuatnya ketakutan.
"Saya keluar dari ketakutan itu usai berdialog dengan grup pertemanan yang mengutamakan toleransi antarumat beragama," ujarnya.
Yamres Pakniany pernah memiliki prasangka terhadap agama tertentu akibat pengalamannya sebagai korban konflik sektarian di Maluku tahun 1999-2002. Tahun 2010, dia menginap di rumah teman berbeda agama. "Saya tidak bisa tidur, takut dibunuh. Pagi hari, tuan rumah menyediakan sarapan dan mengajak dialog, saya rasakan indahnya menghargai perbedaan," ujarnya.
Syaifa Rodiyah lulus dari program studi ekonomi di universitas berlatar belakang agama, lalu bekerja di bank. Dia mengenal kelompok yang menyebarkan ayat-ayat tentang riba yang ditafsirkan secara tekstual. Dia mundur dari bank.
Ketika kemudian bekerja di Convey, Syaifa terlibat dialog mengenai toleransi antarumat beragama. "Cara berpikir tekstual saya terkikis," katanya.
Christophe Bahuet, menyebut Indonesia sebagai negara yang baik dalam toleransi keberagaman karena mempunyai dasar negara Pancasila dan semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Country Director di Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) untuk Indonesia, Christophe Bahuet, menyebut Indonesia sebagai contoh negara yang baik untuk urusan melaksanakan toleransi keberagaman. Hal ini dikarenakan Indonesia mempunyai dasar negara Pancasila dan semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Dalam beberapa tahun terakhir, kasus intoleransi dan diskriminasi meningkat sehingga menjadi ancaman kerukunan. Kaum muda memegang peranan kunci, tak hanya menyebarluaskan konten memantik prasanka melainkan juga pencegahan.
"Keberagaman adalah kekayaan yang perlu dilindungi dan dipertahankan," kata Christophe.